Salam

Salam

Sabtu, 28 Desember 2013

ABDULLAH BIN ZUBAIR


ABDULLAH BIN ZUBAIR
SEORANG TOKOH DAN SYAHID YANG LUAR BIASA

Ketika menempuh padang pasir yang panas bagai menyala dalam perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah yang terkenal itu, ia masih merupakan janin dalam rahim ibunya. Demikianlah telah menjadi taqdir bagi Abdullah bin Zubeir melakukan hijrah bersama Kaum Muhajirin selagi belum muncul ke alam dunia, masih tersimpan dalam perut ibunya ….
Ibunya Asma,  semoga Allah ridla kepadanya dan ia jadi ridla kepada Allah  setibanya di Quba, suatu dusun di luar kota Madinah, datanglah saat melahirkan, dan jabang bayi yang muhajir itu pun masuklah ke bumi Madinah bersamaan waktunya dengan masuknya muhajirin lainnya dari shahabat- shahabat Rasulullah . . . !
Bayi yang pertama kali lahir pada saat hijrah itu, dibawa kepada Rasulullah saw. di rumahnya di Madinah, maka dicium­nya kedua pipinya dan dikecupnya mulutnya, hingga yang  pertama masuk ke rongga perut Abdullah bin Zubeir itu ialah air selera Rasulullah yang mulia.
Kaum Muslimin berkumpul dan beramai-ramai membawa bayi yang dalam gendongan itu berkeliling kota sambil membaca tahlil dan takbir. Latar belakangnya ialah karena tatkala Rasulullah dan para shahabatnya tinggal menetap di Madinah, orang­orang Yahudi merasa terpukul dan iri hati, lalu melakukan perang urat saraf terhadap Kaum Muslimin. Mereka sebarkan berita bahwa dukun-dukun mereka telah menyihir Kaum Muslimin dan membuat mereka jadi mandul, hingga di Madinah tak seorang pun akan mempunyai bayi dari kalangan mereka . . . !
Maka tatkala Abdullah bin Zubeir muncul dari alam gaib, hal itu merupakan suatu kenyataan yang digunakan taqdir untuk menolak kebohongan orang-orang Yahudi di Madinah dan mematahkan tipu muslihat mereka … !
Di masa hidup Rasulullah, Abdullah belum mencapai usia dewasa. Tetapi lingkungan hidup dan hubungannya yang akrab dengan Rasulullah, telah membentuk kerangka kepahlawanan dan prinsip hidupnya, sehingga darma baktinya dalam menempuh kehidupan di dunia ini menjadi buah bibir orang dan tercatat dalam sejarah dunia.
Anak kecil itu tumbuh dengan amat cepatnya dan menunjuk­kan hal-hal yang luar biasa dalam kegairahan, kecerdasan dan keteguhan pendirian. Masa mudanya dilaluinya tanpa noda, seorang yang suci, tekun beribadat, hidup sederhana dan perwira tidak terkira ….
Demikianlah hari-hari dan peruntungan itu dijalaninya dengan tabi’atnya yang tidak berubah dan semangat yang tak pernah kendor. la benar-benar seorang laki-laki yang mengenal tujuannya dan menempuhnya dengan kemauan yang keras membaja dan keimanan teguh luar biasa ….
Sewaktu pembebasan Afrika, Andalusia dan Konstantinopel, ia yang waktu itu belum melebihi usia tujuh belas tahun, tampil sebagai salah seorang pahlawan yang namanya terlukia sepanjang masa . . .
Dalam pertempuran di Afrika sendiri, Kaum Muslimin yang jumlahnya hanya duapuluh ribu oang tentara, pernah meng­hadapi musuh yang berkekuatan sebanyak seratus duapuluh ribu orang.
Pertempuran berkecamuk, dan pihak Ialam terancam bahaya besar! Abdullah bin Zubeir melayangkan pandangannya meninjau kekuatan musuh hingga segeralah diketahuinya di mana letak kekuatan mereka. Sumber kekuatan itu tidak lain dari raja Barbar yang menjadi panglima tentaranya sendiri. Tak putus putusnya raja itu berseru terhadap tentaranya dan membangkit­kan semangat mereka dengan cara iatimewa yang mendorong mereka untuk menerjuni maut tanpa rasa takut ….
Abdullah maklum bahwa pasukan yang gagah perkasa ini tak mungkin ditaklukkan kecuali dengan jatuhnya panglima yang menakutkan ini. Tetapi bagaimana caranya untuk menemuinya, padahal untuk sampai kepadanya terhalang oleh tembok kukuh dari tentara musuh yang bertempur laksana angin puyuh . . .  !
Tetapi semangat dan keberanian Ibnu Zubeir tak perlu diragukan lagi untuk selama-lamanya … ! Dipanggilnya sebagian kawan-kawannya, lalu katanya:  ”Lindungi punggungku dan mari menyerbu bersamaku . . . !” Dan tak ubah bagai anak panah lepas dari busurnya, dibelahnya bariaan yang berlapia itu menuju raja musuh, dan demi sampai di hadapannya, dipukulnya sekali pukul, hingga raja itu jatuh tersungkur. Kemudian secepatnya bersama kawan-kawannya ia mengepung tentara yang berada di sekeliling raja dan menghancurkan mereka …. lalu dikuman­dangkannya Allahu Akbar . . . !
Demi Kaum Muslimin melihat bendera mereka berkibar di sana, yakni di tempat panglima Barbar berdiri menyampaikan perintah dan mengatur siasat, tahulah mereka bahwa kemenangan telah tercapai. Maka seolah-olah satu orang jua, mereka me­nyerbu ke muka, dan segala sesuatu pun berakhir dengan keuntungan di pihak Muslimin … !
Abdullah bin Abi Sarah, panglima tentara Ialam, mengetahui peranan penting yang telah dilakukan oleh Ibnu Zubeir. Maka sebagai imbalannya diauruhnya ia menyampaikan sendiri berita kemenangan itu ke Madinah terutama kepada khalifah Utsman bin Affan ….
Hanya kepahlawanannya dalam medan perang bagaimana juga unggul dan luar biasanya, tetapi itu tersembunyi di balik ketekunannya dalam beribadah . . .. Maka orang yang mempunyai tidak hanya satu dua alasan untuk berbangga dan menyombongkan dirinya ini akan menakjubkan kita karena selalu ditemukan dalam lingkungan orang-orang shaleh dan rajin beribadat.
Maka baik derajat maupun kemudaannya, kedudukan atau harta bendanya, keberanian atau kekuatannya, semua itu tidak mampu untuk menghalangi Abdullah bin Zubeir untuk menjadi seorang laki-laki ‘abid yang berpuasa di siang hari, bangun malam beribadat kepada Allah dengan hati yang khusuk niat yang suci.
Pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz mengatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah:  ”Cobalah ceritakan kepada kami kepri­badian Abdullah bin Zubeir!” Maka ujarnya:  ”Demi Allah! Tak pernah kulihat jiwa yang tersusun dalam rongga tubuhnya itu seperti jiwanya! Ia tekun melakukan shalat, dan mengakhiri segala sesuatu dengannya . . . . Ia ruku’ dan sujud sedemikian rupa, hingga karena amat lamanya, maka burung-burung gereja yang bertengger di atas bahunya atau punggungnya, menyangka­nya dinding tembok atau kain yang tergantung. Dan pernah peluru meriam batu lewat antara janggut dan dadanya sementara ia shalat, tetapi demi Allah, ia tidak peduli dan tidak goncang, tidak pula memutus bacaan atau mempercepat waktu rukuk nya . . . !”
Memang, berita-berita sebenarnya yang diceritakan orang tentang ibadat Ibnu Zubeir, hampir merupakan dongeng. Maka di dalam shaum dan shalat, dalam menunaikan haji dan serta zakat, ketinggian cita serta kemuliaan diri . . . , dalam berteng­gang di waktu malam  sepanjang hidupnya  untuk bersujud dan beribadat …. dalam menahan lapar di waktu siang,  juga sepanjang usianya untuk shaum dan jihadun nafs . . . , dan dalam keimanannya yang teguh kepada Allah … dalam semua itu ia adalah tokoh satu-satunya tak ada duanya . . . !
Pada suatu kali, Ibnu Abbas ditanyai orang mengenai Ibnu Zubeir. Maka walaupun di antara kedua orang ini terdapat per­seliaihan paham, Ibnu Abbas berkata:  ”Ia adalah seorang pembaca Kitabullah, dan pengikut sunnah Rasul-Nya, tekun beribadat kepada-Nya dan shaum di siang hari karena takut kepada-Nya . . . . Seorang putera dari pembela Rasulullah, dan ibunya ialah Asma puteri Shiddiq, sementara bibinya ialah Khadijah iatri dari Rasulullah . . . . Maka tak ada seorang pun yang tak mengakui keutamaannya, kecuali orang yang dibutakan matanya oleh Allah … !”
Dalam keteguhan dan kekuatan wataknya, Abdullah bin Zubeir seolah-olah menandingi gunung layaknya . . . ! Terbuka jelas . . . . mulia . . . , tangguh .. , dan siap sedia selalu untuk
mengurbankan nyawanya sebagai tebusan keterusterangan dan lurusnya jalan yang akan ditempuhnya ….
Sewaktu perseliaihan dan peperangannya dengan Mu’awiyah, ia dikunjungi oleh Hushain bin Numeir, yakni panglima tentara yang dikirim oleh Yazid untuk memadamkan pemberontakan Ibnu Zubeir.
Hushain berkunjung kepadanya tidak lama setelah sampainya berita ke Mekah tentang Kematian Yazid. Ia menawarkan kepada Ibnu Zubeir untuk ikut pergi bersamanya ke Syria, dan ia akan menggunakan pengaruhnya yang besar di sana agar bai’at dapat diberikan kepadanya … !
Abdullah menolak kesempatan emas ini karena menurut keyakinannya terhadap Syria harus dijalankan hukum qiahash sebagai balasan atas dosa-dosanya dan kekejaman mereka ter­hadap kota Madinah, kota Rasulullah saw. demi memenuhi kehendak orang-orang Bani Umaiyah ….
Sungguh, kita berbeda pendapat dengan Abdullah mengenai pendiriannya ini, dan kita berharap kiranya ia lebih mementing­kan perdamaian dan ketenteraman, serta menggunakan kesempatan langka yang ditawarkan Hushain, panglima Yazid ini… !
Tetapi pendirian seorang laki-laki, laki-laki mana juga yang berdasarkan keyakinan dan kepercayaannya, dan penolak­annya untuk bersifat bohong dan munafiq, merupakan suatu hal yang patut mendapat penghargaan dan kekaguman … !
Dan tatkala ia diaerang oleh Hajjaj dengan bala tentaranya yang diiringi kepungan ketat terhadap dirinya dan anak buahnya, maka di antara anak buahnya itu terdapat segolongan besar orang-orang Habsyi yang selalu hidup di medan perang dan para pemanah yang mahir.
Ibnu Zubeir mendengar mereka sedang membicarakan khalifah yang telah pergi berlalu bernama Utsman bin Affan r.a., tanpa mengindahkan tata-tertib kesopan­an dan tidak didasari oleh kesadaran, mereka dicelanya, katanya: “Demi Allah, aku tak sudi meminta bantuan dalam menghadapi musuhku kepada orang-orang yang membenci Utsman  !” Pada saat itu ia sangat memerlukan bantuan, tak ubah bagai seorang yang tenggelam membutuhkan pertolongan, tetap uluran tangan orang tersebut ditolaknya … !
Keterbukaannya terhadap diri pribadi serta kesetiaannya terhadap aqidah dan prinsipnya, menyebabkannya tidak peduli kehilangan duaratus orang pemanah termahir yang Agama mereka tidak dipercayai dan berkenan di hatinya! Padahal waktu itu ia sedang berada dalam peperangan yang akan menentukan hidup matinya, dan kemungkinan besar akan berubah arah, seandainya pemanah-pemanah ahli itu tetap berada di sam­pingnya
Kemudian pembangkangannya terhadap Mu’awiyah dan puteranya Yazid sungguh-sungguh merupakan kepahlawanan! Menurut pandangannya, Yazid bin Mu’awiyah bin Abi Sufyan itu adalah laki-laki yang terakhir kali dapat menjadi khalifah Muslimin, seandainya memang dapat . . . ! Pandangannya ini memang beralasan, karena dalam soal apa pun juga,
Yazid tidak becus! Tidak satu pun kebaikan dapat menghapus dosa-dosanya yang diceritakan sejarah kepada kita, maka bagaimana Ibnu Zubeir akan mau bai’at kepadanya … ?
Kata-kata penolakannya terhadap Mu’awiyah selagi ia masih hidup amat keras dan tegas. Dan apa pula katanya kepada Yazid yang telah naik menjadi khalifah dan mengirim utusannya kepada Ibnu Zubeir mengancamnya dengan nasib jelek apabila ia tidak mau bai’at pada Yazid … ? Ketika itu Ibnu Zubeir memberikan jawabannya:
“Kapan pun, aku tidak akan bai’at kepada si pemabok … kemudian katanya berpantun :         ”Terhadap hal bathil tiada tempat berlunak lembut kecuali bila geraham, dapat mengunyah batu menjadi lembut “.
Ibnu Zubeir tetap menjadi Amirul Mu’minin dengan meng­ambil. Mekah al-Mukarramah sebagai ibu kota pemerintahan dan membentangkan kekuasaannya terhadap Hejaz, Yaman, Bashrah, Kufah, Khurasan dan seluruh Syria kecuali Damsyik, setelah ia mendapat bai’at dari seluruh warga kota-kota daerah tersebut di atas.
Tetapi orang-orang Banu Umaiyah tidak senang diam dan berhati puas sebelum menjatuhkannya, maka mereka melancar­kan serangan yang bertubi-tubi, yang sebagian besar di antaranya berakhir dengan kekalahan dan kegagalan.
Hingga akhirnya datanglah masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan yang untuk menyerang Abdullah di Mekah itu memilih salah seorang anak manusia yang paling celaka dan paling merajalela dengan kekejaman dan kebuasannya … ! Itulah dia Hajjaj ats-Tsaqafi, yang mengenai pribadinya Umar bin Abdul Aziz, Imam yang adil itu pernah berkata:  ”Andainya setiap ummat datang dengan membawa kesalahan masing-masing, sedang kami hanya datang dengan kesalahan Hajjaj seorang saja, maka akan lebih berat lagi kesalahan kami dari mereka semua … ! “
Dengan mengerahkan anak buah dan orang-orang upahannya, Hajjaj datang memerangi Mekah ibukota Ibnu Zubeir. Dikepung­nya kota itu serta penduduknya, selama lebih kurang enam bulan dan dihalanginya mereka mendapat makanan dan air, dengan harapan agar mereka meninggalkan Ibnu Zubeir sebatang kara, tanpa tentara dan sanak saudara.
Dan karena tekanan bahaya kelaparan itu banyaklah yang menyerahkan diri, hingga Ibnu Zubeir mendapatkan dirinya tidak berteman atau kira-kira demikian . . . . Dan walaupun kesempatan untuk meloloskan diri dan menyelamatkan nyawa­nya masih terbuka, tetapi Ibnu Zubeir memutuskan akan me­mikul tanggung jawabnya sampai titik terakhir. Maka ia tterus menghadapi serangan tentara Hajjaj itu dengan keberanian yang tak dapat dilukiakan, padahal ketika itu usianya telah mencapai tujuh puluh tahun … !
Dan tidaklah dapat kita melihat gambaran sesungguhnya dari pendirian yang luar biasa ini, kecuali jika kita mendengar percakapan yang berlangsung antara Abdullah dengan ibunya yang agung dan mulia itu, Asma’ binti Abu Bakar, yakni di saat­-saat yang akhir dari kehidupannya.
Ditemuinya ibunya itu dan dipaparkannya di hadapannya suasana ketika itu secara terperinci, begitupun mengenai akhir kesudahan yang sudah nyata tak dapat dielakkan lagi ….
Kata ‘Asma’ kepadanya:
“Anakku, engkau tentu lebih tabu tentang dirimu! Apabila menurut keyakinanmu, engkau berada di jalan yang benar dan berseru untuk mencapai kebenaran itu, shabar dan tawakallah dalam melaksanakan tugas itu sampai titik darah penghabiaan. Tiada kata menyerah dalam kamus perjuangan melawan kebuasan budak-budak Bani Umaiyah … ! Tetapi kalau menurut pikiranmu, engkau hanya mengharapkan dunia, maka engkau adalah seburuk-buruk hamba, engkau celakakan dirimu sendiri serta orang-orang yang tewas ber­samamu!”
Ujar Abdullah:
“Derni Allah, wahai bunda! Tidaklah ananda mengharapkan dunia atau ingin hendak mendapatkannya … ! Dan sekali­kali tidaklah anakanda berlaku aniaya dalam hukum Allah, berbuat curang atau melanggar batas …
Kata Asma’ Pula:
Aku memohon kepada Allah semoga ketabahan hatiku menjadi kebaikan bagi dirimu, baik engkau mendahuluiku menghadap Allah maupun aku. Ya Allah, semoga ibadahnya sepanjang malam, shaum sepanjang siang dan bakti kepada kedua orang tuanya, Engkau terima diaertai cucuran Rahmat-Mu. Ya Allah, aku serahkan segala sesuatu tentang dirinya kepada kekuasaan­Mu, dan aku rela menerima keputusan-Mu. Ya Allah berilah aku pahala atas segala perbuatan Abdullah bin Zubeir ini, pahalanya orang-orang yang shabar dan bersyukur …
Kemudian mereka pun berpelukan menyatakan perpiaahan dan selamat tinggal.
Dan beberapa kemudian, Abdullah bin Zubeir terlibat dalam pertempuran sengit yang tak seimbang, hingga syahid agung itu akhirnya menerima pukulan maut yang menewaskannya. Peria­tiwa itu menjadikan Hajjaj kuasa Abdulmalik bin Marwan ber­kesempatan melaksanakan kebuasan dan dendam kesumatriya, hingga tak ada jenia kebiadaban yang lebih keji kecuali dengan menyalib tubuh syahid suci yang telah beku dan kaku itu.
Bundanya, wanita tua yang ketika itu telah berusia Sembilan ­puluh tujuh tahun, berdiri memperhatikan puteranya yang diaalib. Dan bagaikan sebuah gunung yang tinggi, ia tegak meng­hadap ke arahnya tanpa bergerak. Sementara itu Hajjaj datang menghampirinya dengan lemah lembut dan berhina diri, katanya: “Wahai ibu, Amirul Mu’minin Abdulmalik bin Marwan memberiku wasiat agar memperlakukan ibu dengan baik … !” “Maka adakah kiranya keperluan ibu … ?’
Bagaikan berteriak dengan suara berwibawa wanita itu berkata: “Aku ini bukanlah ibumu . . . ! Aku adalah ibu dari orang yang disalib pada tiang karapan … !
Tiada sesuatu pun yang kuperlukan daripadamu. Hanya aku akan menyampaikan kepadamu sebuah Hadits yang kudengar dari Rasulullah saw. sabdanya:
“Akan muncul dari Tsaqif seorang pembohong dan seorang durjana   Adapun si pembohong telah sama-sama kita hetahui f Adapun si durjana, sepengetahuanku hanyalah kamu … ! “
Abdullah bin Umar r.a. datang menghiburnya dan mengajak­nya bershabar. Maka jawabnya:  “Kenapa Pula aku tidak akan shabar, padahal kepada Yahya bin Zakaria sendiri telah diserah­kan kepada salah seorang durjana dari durjana-durjana Bani Iarail . . . !”
Oh, alangkah agungnya anda, wahai puteri Abu Bakar Shiddiq .. .. ! Memang, adakah lagi kata-kata yang lebih tepat diucapkan selain itu kepada orang-orang yang telah memisahkan kepala Ibnu Zubeir dari tubuhnya sebelum mereka menyalibnya . . .
Tidak salah! Seandainya kepala Ibnu Zubeir telah diberikan sebagai hadiah bagi Hajjaj, dan Abdul Malik, maka kepala Nabi yang mulia yakni Yahya a.s., dulu juga telah diberikan sebagai hadiah bagi Salome, seorang wanita yang durjana dan hina dari Banff Iarail .’ . . ! Sungguh, suatu tamsil yang tepat dan kata-kata yang jitu … !
Kemudian mungkinkah kiranya bagi Abdullah bin Zubeir akan melanjutkan hidupnya di bawah tingkat yang amat tinggi dari keluhuran, keutamaan dan kepahlawanan ini, sedang yang menyusukannya ialah wanita yang demikian corak bentuk­nya. . ?
Salam kiranya terlimpah atas Abdullah …
Dan kiranya terlimpah pula atas Asma’ . . .!
Salam bagi kedua mereka di lingkungan syuhada yang tidak pernah fana … !
Dan di lingkungan orang-orang utama lagi bertaqwa …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar