Di bumi Daus, dari keluarga yang mulia
dan terhormat, muncullah tokoh kita ini . . . . la dikaruniai bakat
sebagai penyair, hingga nama dan kemahirannya termasyhur di kalangan
suku-suku. Di musim ramainya pekan ‘Ukadh, tempat berkumpul dan
berhimpunnya manusia, untuk mendengar dan menyaksikan penyair-penyair
Arab yang datang berkunjung dari seluruh pelosok serta untuk menonjolkan
dan membanggakan penyair masing-masing, maka Thufeil mengambil
kedudukannya di barisan terkemuka . . . . Walaupun bukan pada musim
‘Ukadh, ia Sering pula pergi ke Mekah ….
Pada suatu ketika, saat ia berkunjung ke
kota suci itu, Rasulullah telah mulai melahirkan da’wahnya . . . .
Orang-orang Quraisy takut kalau-kalau Thufeil menemuinya dan masuk
Islam, lalu menggunakan bakatnya sebagai penyair itu membela Islam,
hingga merupakan bencana besar bagi Quraisy dan berhala berhala mereka .
. . .
Oleh sebab itu mereka menelingkunginya
selalu dan menyediakan segala kesenangan dan kemewahan untuk melayani
dan menerima kedatangannya sebagai tamu, lalu menakut-nakutinya agar
tidak berjumpa dengan Rasulullah saw. katanya: ”Muhammad memiliki
ucapan laksana sihir, hingga dapat mencerai beraikan anak dari bapak
dan seseorang dari saudaranya, serta seorang suami dari istrinya . .. !
Dan sesungguhnya kami ini cemas terhadap dirimu dan kaummu dari
kejahatannya, maka janganlah ia diajak bicara, dan jangan dengarkan apa
katanya . . . !
Dan marilah kita dengarkan Thufeil
menceritakan sendiri kisahnya katanya: ”Demi Allah, mereka selalu
membuntutiku, hingga aku hampir saja membatalkan maksudku untuk menemui
dan mendengar ucapannya . . . . Dan ketika aku pergi ke Ka’bah, kututup
telingaku dengan kapas, agar bila ia berkata, aku tidak mendengar
perkataannya . . . . Kiranya ia kudapati sedang shalat dekat Ka’bah,
maka aku berdiri di dekatnya, taqdir Allah menghendaki agar aku
mendengarkan sebahagian apa yang dibacanya, dan terdengarlah olehku
perkataan yang baik. . . .
Lalu kataku kepada diriku: “Wahai
malangnya ibuku kehilangan daku . . . ! Demi Allah, aku ini seorang
yang pandai dan jadi penyair, dan mampu membedakan mana yang baik dari
yang buruk! Maka apa salahnya jika aku mendengarkan apa yang diucapkan
oleh laki-laki itu? Jika yang dikemukakannya itu barang baik, dapatlah
kuterima, dan seandainya jelek, dapat pula kutinggalkan . . . . Kutunggu
sampai ia berpaling hendak pulang ke rumahnya, lalu kuikuti hingga ia
masuk rumah, maka kuiringkan dari belakang dan kukatakan kepadanya:
”Wahai Muhammad! Kaummu telah menceritakan padaku bermacam-macam,
tentang dirimu!
Dan demi Allah, mereka selalu
menakut-nakutiku terhadap urusanmu, hingga kututupi telingaku dengan
kapas agar tidak mendengar perkataanmu . . . . Tetapi iradat Allah
menghendaki agar aku mendengarnya, dan terdengarlah olehku ucapan yang
baik, maka kemukakanlah padaku apa yang menjadi urusanmu itu … !”
Rasul pun mengemukakan padaku terperinci
tentang Agama Islam dan dibacakannya al-Quran …. Sungguh! Demi Allah,
tak pernah kudengar satu ucapan pun yang lebih baik dari itu, atau suatu
urusan yang lebih benar dari itu . . . !
Maka masuklah aku ke dalam Islam, dan
kuucapkan syahadat yang haq, lalu kataku: “Wahai Rasulullah!
Sesungguhnya aku ini seorang yang ditaati oleh kaumku, dan sekarang aku
akan kembali kepada mereka, serta akan menyeru mereka kepada Islam.
Maka du’akanlah kepada Allah agar aku diberi-Nya suatu tanda yang akan
menjadi pembantu bagiku mengenai soal yang kuserukan pada mereka itu.
Maka sabda Rasulullah saw. “Ya Allah! Jadikanlah baginya suatu tanda. . .
Dalam kitab suci-Nya Allah Ta’ala telah
memuji “orang-orang yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti yang
terbaik di antaranya . . . “. Nah, sekarang kita bertemu dengan salah
seorang di antara mereka itu . . . , dan ia merupakan suatu gambaran
yang tepat mengenai fithrah yang cerdas . . . !
Demi telinganya mendengar sebagian
ayat-ayat mengenai petunjuk dan kebaikan yang diturunkan Allah atas
kalbu hambaNya, maka seluruh pendengaran dan seluruh hatinya terbuka
selebar-lebaruya, dan diulurkannya tangannya untuk bai’at kepada
Rasulnya ….
Dan tidak hanya sampai di sana, tetapi
dengan secepatnya dibebaninya dirinya dengan tanggung jawab menyeru kaum
dan keluarganya kepada Agama yang haq dan jalan yang lurus ini…
Oleh sebab itu, baru saja ia sampai di
rumah dan kampung halamannya Daus, dikemukakannyalah kepada bapaknya
‘Aqidah dan keinginan yang terkandung dalam hatinya, dan diserunya ia
kepada Islam, yakni setelah menceritakan perihal Rasul yang menyebarkan
Agama itu, tentang kebesaran, kesucian, amanah dan ketulusan serta
ketaatannya kepada Allah Robbul’alamin ….
Dan pada waktu itu juga bapaknya masuk
Islam. Lalu ia beralih kepada ibunya, yang juga menganut Islam. Kemudian
kepada istrinya yang mengambil tindakan yang serupa. Dan tatkala
hatinya menjadi tenteram karena Islam telah meliputi rumahnya, ia pun
berpindah tempat kepada kaum keluarga, bahkan kepada seluruh penduduk
Daus. Tetapi tak seorang pun di antara .mereka yang memenuhi seruannya
memeluk Islam, kecuali Abu Aurairah r.a
Kaumnya itu menghinakan dan
memencilkannya, hingga akhirnya hilanglah keshabarannya terhadap mereka.
Maka dinaikinya kendaraannya menempuh padang pasir dan kembali kepada
Rasulullah saw. mengadukan halnya dan membekali diri dengan
ajaran-ajarannya ….
Dan tatkala tibalah ia di Mekah,
segeralah ia ke rumah Rasul, dibawa oleh hatinya yang rindu. Katanya
kepada Nabi saw.: ”Wahai Rasulullah . .. ! Saya kelabakan menghadapi
riba dan perzinahan yang merajalela di desa Daus . . . ! Maka
mohonkanlah kepada Allah agar Ia menghancurkan Daus … !”
Tetapi alangkah terpesonanya Thufeil
ketika dilihatnya Rasulullah mengangkatkan kedua tangannya ke langit
serta katanya: ”Ya Allah, tunjukilah orang-orang Daus, dan
datangkanlah mereka ke sini dengan memeluk Islam … !” Lalu sambil
berpaling kepada Thufeil, katanya: ”Kembalilah kamu kepada kaummu,
serulah mereka dan bersikap lunak-lembutlah kepada mereka”
Peristiwa yang disaksikannya ini memenuhi
jiwa Thufeil dengan keharuan dan mengisi ruhnya dengan kepuasan, lalu
dipujinya Allah setinggi-tingginya, yang telah menjadikan Rasul, insan
pengasih ini sebagai guru dan pembimbingnya, dan menjadikan Islam
sebagai Agama dan tempat berlindungnya ….
Maka bangkitlah ia pergi kembali ke
kampung halaman dan kaumnya. Dan di sana, ia terns mengajak mereka
kepada Islam secara lunak lembut sebagai dipesankan oleh Rasulullah saw.
Dalam pada itu, selama tenggang waktu
yang dilaluinya di tengah-tengah kaumnya, Rasulullah telah hijrah ke
Madinah, dan telah terjadi perang Badar, Uhud dan Khandak. Tiba-tiba
ketika Rasulullah sedang berada di Khaibar, yakni setelah kota itu
diserahkan Allah ke tangan Muslimin, satu rombongan besar yang terdiri
dari delapan puluh keluarga Daus datang menghadap Rasulullah sambil
membaca tahlil dan takbir. Mereka lalu duduk di hadapannya mengangkat
bai’at secara bergantian.
Dan tatkala selesailah peristiwa mereka
yang bersejarah dan upacara bai’at yang diberkahi itu, Thufeil pergi
duduk seorang diri, merenungkan kembali kenangan-kenangan lamanya dan
mengira-ngirakan langkah yang akan diambilnya untuk masa mendatang . . .
.
Maka teringatlah ia akan saat
kedatangannya kepada Rasulullah memohon agar ia menadahkan tangannya ke
langit untuk mengucapkan du’a “Ya Allah, hancurkanlah orang-orang Daus .
. . . .., tetapi ternyata Rasulullah menyampaikan permohonan lain yang
menggugah keharuannya dengan ucapan sebagai berikut: “Ya Allah,
tunjukilah orang-orang Daus, dan bawalah mereka ke sini setelah menganut
Islam … !”
Sungguh, Allah telah menunjuki
orang-orang Daus dan Ia telah mendatangkan mereka sebagai Kaum Muslimin .
. . ! Mereka terdiri dari 80 kepala keluarga beserta penghuni rumahnya
dan merupakan bagian terbesar dari penduduk, serta mengambil kedudukan
mereka di barisan suci di belakang Rasulullah al- Amin . . . .
Thufeil melanjutkan usahanya bersama
jama’ah yang telah beriman itu. Tatkala tibalah saat pembebasan Mekah ia
ikut rombongan yang memasukinya, yang jumlahnya sepuluh ribu orang,
yang sekali-kali tidak merasa bangga atau besar kepala, hanya sama-sama
menundukkan kening karena hormat dan ta’dhim, mensyukuri ni’mat Allah
yang telah membalas usaha mereka dengan kemenangan nyata, dan pembebasan
Mekah yang tak usah menunggu lama ….
Thufeil melihat Rasulullah menghancurkan
berhala-berhala di Ka’bah dan membersihkan dengan tangannya kotoran dan
najis yang telah lama berkarat. Putera Daus itu teringat akan sebuah
berhala milik Amr bin Himamah. Amr ini Sering membawanya memuji berhala
itu sewaktu ia menginap di rumahnya sebagai tamunya, hingga ia berlutut
di hadapannya dan merendahkan diri dan memohon kepadanya … !
Datanglah sudah saatnya bagi Thufeil
sekarang ini untuk menghapus dan melebur dosa-dosanya di hari itu.
Ketika itu pergilah ia kepada Rasulullah saw. meminta idzin untuk pergi
membakar berhala milik Amr bin Humamah tadi, yang biasa disebut “Dzal
kaffain”, atau “si Telapak tangan dua”.
Rasulullah memberinya idzin, maka
pergilah ia ke tempat berhala itu lalu membakarnya dengan api yang
bernyala; setiap api itu surut, dinyalakannya kembali, dan sementara itu
mulutnya asyik berpantun:
“Hai Dzal kaffain, aku ini bukan hambamu, Kami lebih dulu lahir daripadamu!
Nah, terimalah api ini untuk pengisi perutmu!
Nah, terimalah api ini untuk pengisi perutmu!
Demikianlah Thufeil melanjutkan hidupnya
bersama Nabi, sahalat di belakangnya dan belajar kepadanya serta
berperang dalam rombongannya. Dan ketika Rasulullah naik ke Rafiqul Ala,
Thufeil berpendapat bahwa dengan wafatnya Rasulullah itu, tanggung
jawabnya sebagai seorang Muslim belumlah berhenti, bahkan boleh dikata
baru saja mulai!
Ketika pertempuran melawan orang-orang
murtad berkobar, Thufeil menyingsingkan lengan bajunya, lalu terjun
mengalami pahit getirnya dengan semangat dan kegairahan dari seorang
yang rindu menemui syahid . . . . la ikut dalam perang riddah itu,
pertempuran demi pertempuran ….
Pada pertempuran Yamamah, ia berangkat
bersama Kaum Muslimin dengan membawa puteranya ‘Amr bin Thufeil. Baru
saja perang mulai, telah dipesankannya kepada puteranya itu agar
berperang mati-matian menghadapi tentara Musailamah si pembohong itu,
bahkan walau akan mati syahid sekalipun … ! Dibisikkannya pula kepada
puteranya itu bahwa menurut firasatnya, dalam pertempuran kali ini ia
akan menemui ajalnya … !
Setelah itu disiapkannya pedangnya dan
diterjuninya pertempuran dengan semangat berqurban dan berani mati … !
Bukan hanya membela nyawanya dengan mata pedangnya …. tetapi pedangnya
pun dibelanya dengan nyawanya … !
Hingga ketika ia wafat dan tubuhnya
rubuh, pedangnya masih teracung dan siap sedia, untuk ditebaskan oleh
tangannya yang sebelah yang tidak mengalami cedera apa-apa I
Maka dalam pertempuran itu tewaslah
Thufeil ad-Dausi r.a. memenuhi syahidnya . . . , dan jasadnya pun rubuh
disebabkan tusukan senjata, sementara sinar matanya seakan hendak
memberi isyarat kepada puteranya yang tak kunjung dilihatnya dekat arena
. . Yah, isyarat agar ia waspada dan tidak menyusul dan mengikuti
langkahnya ….
Tetapi sungguh, rupanya puteranya itu tak
hendak ketinggalan, lalu menyusul ayahandanya pula, memang tidak pada
waktu itu, hanya beberapa lama setelahnya . . . ! Di pertempuran sebagai
di Syria, ketika Amr bin Thufeil turut mengambil bagian ebagai pejuang, di sanalah ia menemui apa yang dicitanya
Sementara ia hendak menghembuskan
nafasnya yang penghabisan, diulurkannya tangannya yang kanan dan
dibentangkannya telapaknya seakan hendak menjawab dan menyalami tangan
seseorang . . . ! Yah, siapa tabu, mungkin waktu itu ia hendak
bersalaman dengan ruh bapaknya … !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar