GUA HIRA' TEMPAT RASULULLAH SAW BERTAHANNUTS
|
Add caption |
Tadi malam, selepas melaksanakan
shalat Isya', entah kenapa benak saya tiba-tiba melesat menuju ke Gua Hira’,
sebuah gua yang terletak sekitar lima kilometer dari Masjid Al-Haram. Tentu
kita semua tahu, di gua itulah Rasulullah SAW, sebelum diangkat sebagai Utusan
Allah SWT menyingkir dari keramaian kehidupan di Kota Makkah kala itu. Kadang,
beliau tinggal di sana selama satu bulan. Lebih-lebih di bulan Ramadhan. Hal
yang demikian itu beliau lakukan selama sekitar tujuh tahun. Enam bulan
terakhir beliau meningkatkan frekuensi kunjungannya ke gua itu. Peristiwa ini
sendiri menandai dimulainya suatu karya kenabian, dengan diterimanya wahyu
pertama dari Allah SWT, di hari Senin, 17 Ramadhan/6 Agustus 610 M (menurut Ibn
Sa‘d dalam karyanya Al-Thabaqât Al-Kubrâ), kala beliau sedang khusuk
bertafakkur,
“Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling
Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(QS Al-‘Alaq : 1-5).
Itulah saat penobatan Muhammad bin ‘Abdullah sebagai Nabi Allah. Saat menerima
pengangkatan menjadi Nabi ini, usia beliau mencapai 40 tahun 6 bulan 8 hari
menurut tahun Bulan (Qamariyyah) atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut tahun
Matahari (Syamsiyyah).
Di sini timbul pertanyaan: mengapa Rasulullah SAW bertahannuts (menyendiri,
merenung, dan beribadah) di Gua Hira’?
Tugas utama kenabian yang dipikul Rasulullah SAW adalah untuk mengantarkan
masyarakat menuju cita ideal yang dikehendaki Allah SWT. Tindakan menyendiri ke
tempat yang sepi dan terpisah dari riuh rendah kehidupan masyarakat ramai
tersebut sejatinya adalah sebagai persiapan untuk menerima dan melaksanakan
tugas besar tersebut. Sebab, setiap tindakan besar yang hendak mengubah dan
membentuk dunia sulit terjadi jika tidak ada seorang “agen” atau pribadi yang
sadar dengan dua kemampuan sekaligus.
Pertama, kemampuan untuk melakukan penjarakan terhadap kenyataan yang kongkrit
(detachment). Dengan mengambil jarak atas kenyataan itu, seorang “agen” akan
mampu melihat dunia dengan seluruh kekurangan, kelebihan, dan
kemungkinan-kemungkinannya. Dunia tak bisa diubah dan diantarkan menuju
kemungkinan yang lebih baik, jika seorang “agen” tenggelam sepenuhnya dalam
kepenuhan dunia itu sendiri.
Kedua, kemampuan untuk terlibat kembali selepas moment penjarakan dilakukan
beberapa saat (reattachment). Saat pengambilan jarak, atau dalam kasus
Rasulullah SAW disebut tahannuts, hanyalah situasi sementara agar seorang
“agen” bisa berada di “luar” dunia. Saat terpenting justru berada kembali di
“dalam” dunia untuk mengubah dan mentransformasikannya sesuai “gambar” yang
dikehendaki seorang agen.
Sementara Imam Al-Ghazali, dalam karyanya Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, dalam komentarnya
tentang jalan yang ditempuh Rasulullah SAW ketika bertahannuts di Gua Hira’,
menulis, “Manfaat pertama (dari bertahannuts) adalah pemusatan diri dalam
beribadah, berpikir, mengakrabkan diri dalam munajat dengan Allah, dengan
menghindari hubungan dengan sesama manusia, serta menyibukkan diri untuk
menyingkapkan rahasia-rahasia Allah tentang persoalan dunia dan akhirat maupun
kerajaan langit dan bumi. Inilah yang disebut kekosongan. Padahal, tiada
kekosongan dalam bergaul serta mengisolasi diri. Mengisolasi diri jelas lebih
baik. Malah, Rasulullah SAW di permulaan kenabian beliau, hidup menyendiri di
Gua Hira’ serta mengisolasi diri, sehingga cahaya kenabian dalam diri beliau
menjadi kuat. Ketika itu para makhluk tidak akan kuasa menghalangi beliau dari
Allah. Sebab, meski tubuh beliau beserta para makhluk, namun kalbu beliau
senantiasa menghadap Allah.”
Pertanyaan lain yang mungkin timbul: mengapa Rasulullah SAW memilih Gua Hira’
sebagai tempat bertahannuts, bukan tempat-tempat lain?
Gua Hira’, seperti diketahui, adalah sebuah gua yang terletak di sebelah timur
Masjid Al-Haram dan di puncak Jabal Nur. Tingginya dari permukaan laut sekitar
621 meter dan sekitar 281 meter dari permukaan tanah. Untuk mendaki sampai ke
gua itu diperlukan waktu kurang lebih satu jam. Gua itu sendiri tidak terlalu
besar dan pintunya menghadap ke arah utara. Panjang gua tersebut hanya tiga
meter, sedangkan lebarnya sekitar 1.30 meter, dengan ketinggian sekitar dua
meter. Dengan kata lain, luas gua yang satu ini hanya cukup untuk shalat dua orang,
sedangkan di bagian kanan Gua terdapat teras dari batu yang hanya cukup untuk
digunakan shalat untuk shalat dalam keadaan duduk.
Kondisi Gua Hira’ yang demikian itu jelas merupakan tempat yang ideal di Makkah
bagi Rasulullah SAW untuk bertahannuts. Suasana yang tenang, jauh dari keriuhan
Kota Makkah kala itu, dengan jumlah warganya sekitar lima ribu orang, pandangan
yang terbuka ke tempat-tempat di bawahnya, terutama pandangan ke arah Masjid
Al-Haram, dan pandangan ke padang pasir luas dan langit nan seakan tanpa batas,
dapat dibayangkan dapat memberikan kesempatan bagi beliau untuk “beribadah,
berpikir, mengakrabkan diri dalam munajat dengan Allah, dengan menghindari
hubungan dengan sesama manusia, serta menyibukkan diri untuk menyingkapkan
rahasia-rahasia Allah tentang persoalan dunia dan akhirat maupun kerajaan
langit dan bumi” seperti dikemukakan Al-Ghazali.
Rasulullah SAW sendiri, yang kala itu merupakan warga Kampung Qusyasyiyyah,
tentu telah mempertimbangkan matang pemilihan Gua Hira’ sebagai tempat
bertahannuts. Beliau tentu telah memperbincangkan tempat itu dengan istri
teladan beliau, Khadijah binti Khuwailid. Malah istri teladan beliau tersebut,
di malam yang pekat, pernah beberapa kali mengunjungi Rasul SAW ketika beliau
sedang berada di gua yang tak semua orang kuasa melakukannya itu, dengan
menyusuri batu cadas dan kerikil, dengan tujuan agar dapat melayani sang suami
tercinta dengan baik. Luar biasa... Subhanallah
Di sisi lain ada yang menyatakan, Gua Hira’ adalah masjid yang tegak sebelum
Islam. Prof. Dr. Husain Mu’nis, seorang pakar terkemuka sejarah Islam asal
Mesir, misalnya dalam karyanya Al-Masâjid menulis, “Pada umumnya para penulis
memulai sejarah masjid dari Masjid Al-Haram, yaitu Rumah Allah pertama yang
didirikan untuk umat manusia. Selain itu, masjid tersebut juga sebagai kiblat
Ibrahim a.s., Bapak Para Nabi yang menganut agama yang hanîf, dan masjid di
mana untuk pertama kalinya Rasulullah SAW melaksanakan shalat. Namun,
semestinya kita merujukkan masjid ke Gua Hira’. Gua itulah sejatinya, tak pelak
lagi, masjid yang pertama-tama dalam Islam. Di gua itu pulalah Rasulullah SAW
melaksanakan shalat, bertahannuts, dan menyembah Allah sebelum beliau menerima
wahyu. Demikian halnya di gua itu pulalah ayat-ayat pertama Al-Quran, lima ayat
pertama dari Surah Al-‘Alaq, turun. Selain itu, Gua Hira’ juga semestinya
dipandang sebagai masjid, walau kehadirannya mendahului masa masjid-masjid.
Andaikan tak tepat untuk dikatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersujud di gua
tersebut, selayaknya gua tersebut dapat dikatakan sebagai tempat sembahyang.
Seperti diketahui, masjid dapat disebut sebagai tempat sembahyang, seperti
halnya pula dapat disebut sebagai tempat ruku‘. Namun, istilah masjidlah yang
lebih acapkali dipakai.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar