Hal-hal yang membathalkan wudlu
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رض قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً
بِغَيْرِ طَهُوْرٍ وَ لاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ. الجماعة
Dari
Ibnu ‘Umar RA, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Allah tidak menerima
shalat yang dilakukan dengan tidak suci, dan Allah tidak menerima
sedeqah yang dilakukan dengan harta yang diperoleh dari jalan khianat”. [HR. Jama’ah]
Keterangan :
Hadits
ini menyatakan, bahwa tidak sah (tidak diterima) shalat seseorang yang
tidak suci, dan demikian pula tidak akan diterima amal sedeqah yang
menggunakan harta yang haram.
Seseorang
dikatakan ”tidak suci” sehingga terhalang untuk melakukan shalat, ialah
bila ia berhadats, baik hadats besar maupun hadats kecil.
Untuk
bersuci dari hadats besar, agama menyariatkan mandi janabat, sedang bagi
hadatas kecil maka cukup dengan wudlu, sebagaimana firman Allah SWT :
... وَ اِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَطَّهَّرُوْا... المائدة:6
Dan jika kamu junub (sedang kamu hendak shalat) maka mandilah. [QS. Al-Maidah : 6]
Dan Hadits Rasulullah SAW :
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ يَقْبَلُ اللهُ
صَلاَةَ اَحَدِكُمْ اِذَا اَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ. فَقَالَ رَجُلٌ
مِنْ اَهْلِ حَضَرَمَوْتَ: مَا اْلحَدَثُ يَا اَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ:
فُسَاءٌ اَوْ ضُرَاطٌ. متفق عليه
Dari
Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak akan
menerima shalat seseorang diantara kamu apabila berhadats, sehingga ia
berwudlu”. Lalu ada seorang dari Hadlaramaut bertanya, “Apa yang
dikatakan hadats itu, ya Abu Hurairah ?”. Abu Hurairah menjawab,
“”(Hadats itu ialah) kentut yang tidak bersuara ataupun kentut yang
bersuara”. [HR. Muttafaq ‘alaih]
Abu
Hurairah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “hadats” itu adalah
mengeluarkan angin, baik bersuara maupun tidak, ini bermaksud
menerangkannya dengan singkat tetapi mencakup keseluruhan.
Tegasnya,
beliau bukan bermaksud mengatakan bahwa hadats itu hanya mengeluarkan
angin (kentut) saja, tetapi dengan menerangkan bahwa mengeluarkan angin
yang bersuara atau tidak bersuara itu pun sudah termasuk hadatas, maka
apalagi yang lebih berat dari itu.
Perhatikan pula firman Allah SWT di bawah ini :
... اَوْ جَآءَ اَحَدٌ مّنْكُمْ مّنَ اْلغَآئِطَ اَوْ لـمَسْتُمُ النّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً فَتَيَمَّمُوْا .... المائدة:6
...
atau seseorang diantara kamu datang dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan (bersetubuh) lalu kami tidak mendapatkan iar, maka
bertayammumlah ... [QS. Al-aidah : 6]
“Datang dari tempat buant air”
itu yang dimaksud ialah mengeluarkan sesuatu dari dua jalan kotoran,
dimana biasanya seseorang mengeluarkannya di tempat buang iar. Dan ini
termasuk hadats kecil.
“Menyentuh perempuan” yang dimaksud ialah bersetubuh, dan ini menunjukkan hadats besar.
Kedua-duanya,
baik berhadats kecil maupun berhadats besar bila tidak mendapatkan air
untuk wudlu/mandi janabat, maka sebagai gantinya agama menuntunkan untuk
bertayammum.
Kesimpulan :
Seseorang
yang hendak shalat, wajib suci dari hadats, baik hadats besar maupun
hadats kecil. Atau dengan kata lain, bathal wudlu seseorang bila ia
mengalami hadats kecil maupun hadats besar.
Yang termasuk hadats besar :
a. bersetubuh, baik mengeluarkan mani maupun tidak.
b. mengeluarkan mani sebab mimpi dan lain-lain.
c. mengeluarkan darah haidl.
d. mengeluarkan darah nifas.
Keempat macam perkara ini mewajibkan mandi junub/ tayammum untuk bersuci bila hendak shalat.
Yang termasuk hadats kecil :
a. mengeluarkan kotoran (tinja).
b. mengeluarkan kencing.
c. mengeluarkan madzi (air sex).
d. mengeluarkan angin (kentut), baik bersuara maupun tidak.
Keraguan berhadats tidak membathalkan wudlu
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: يَأْتِى اَحَدَكُمُ
الشَّيطَانُ فِى صَلاَتِهِ فَيَنْفُخُ فِى مَقْعَدَتِهِ فَيُخَيَّلُ
اِلَيْهِ اَنَّهُ اَحْدَثُ وَ لَمْ يُحْدِثْ. فَاِذَا وَجَدَ ذلِكَ فَلاَ
يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْ يَجِدَ رِيْحًا. البزار
Dari
Ibnu ‘Abbas RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Syithan itu
datang kepada seseorang yang sedang shalat, lalu ia hembus di pantat
orang itu, maka orang itupun merasa berhadats, padahal sebenarnya tidak
berhadats. Karena itu apabila seseorang berperasaan demikian, janganlah
ia berpaling dari shalatnya, sehingga ia mendengar suara kentutunya atau
mencium baunya”. [HR. Al-Bazzar]
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: اِذَا وَجَدَ اَحَدُكُمْ
فِى بَطْنِهِ شَيْئًا فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ اَ خَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ اَوْ
لاَ فَلاَ يَخْرُجْ مِنَ اْلمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْ يَجِدَ
رِيْحًا. مسلم و الترمذى
Dari
Abu Hurairah RA, ia berkata : Nabi SAW bersabda, “Aabila salah seorang
diantara kamu merasakan ada sesuatu di perutnya, apakah telah keluar
kentut dari padanya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid
(untuk berwudlu) sehingga ia mendengar suara (kentut) atau mencium
baunya”. [HR. Muslim dan Tirmidzi]
عَنْ
اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: اَنَّ
الشَّيْطَانَ يَأْتِى اَحَدَكُمْ وَ هُوَ فِى الصَّلاَةِ فَيَأْخُذُ
شَعْرَةً مِنْ دُبُرِهِ فَيَمُدُّهَا فَيَرَى اَنَّهُ قَدْ اَحْدَثَ فَلاَ
يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْ رِيْحًا. ابو داود
Dari
Abu Sa’id Al-Khudriy RA, ia berkata, “Syaithan datang kepada seseorang
diantara kamu yang sedang shalat, lalu memegang sehelai rambut dari
dubur orang yang sedang shalat itu dan menariknya. Karena itu terasalah
oleh orang itu, bahwa ia telah berhadats. Maka janganlah ia berpaling
dari shalatnya, sehingga mendengar suarau kentutu atau mencium baunya”. [HR. Abu Dawud]
Bersentuhan pria - wanita tidak membathalkan wudlu
Sementara
ulama ada yang berpendapat bahwa bila seorang laki-laki bersentuhan
kulit dengan wanita yang bukan mahramnya, maka bathallah wudlunya.
Mereka beralasan dengan bunyi ayat 43 surat An-Nisaa’ dan Al-Maidah ayat 6 sebagai berikut :
...
وَ اِنْ كُنْتُمْ مَرْضى اَوْ عَلى سَفَرٍ اَوْ جَآءَ اَحَدٌ مّنْكُمْ
مّنَ اْلغَآئِطِ اَوْ لـمَسْتُمُ النّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً
فَتَيَمَّمُوْا... المائدة:6
...
dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayammumlah. [QS. An-Nisaa’ : 43, dan Al-Maaidah 6]
Mereka mengecualikan wanita-wanita yang termasuk mahram (wanita-wanita yang diharamkan untuk dikawini) dari keumuman lafadh لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ (kalian menyentuh wanita) dalam ayat diatas.
Jadi
menurut mereka bila sentuhan itu terjadi antara seorang laki-laki dengan
seorang wanita yang termasuk mahram laki-laki tersebut, yang demikian
itu tidaklah membathalkan wudlu keduanya. Sedangkan yang termasuk mahram
sebagaimana yang tertera dalam ayat 22 dan 23 surat An-Nisaa’.
وَ
لاَ تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ ابَآؤُكُمْ مّنَ النّسَآءِ اِلاَّ مَا قَدْ
سَلَفَ، اِنَّه كَانَ فَاحِشَةً وَّ مَقْتًا، وَ سَآءَ سَبِيْلاً. حُرّمَتْ
عَلَيْكُمْ اُمَّهَاتُكُمْ وَ بَنَاتُكُمْ وَ اَخَوَاتُكُمْ وَ
عَمَّاتُكُمْ وَ خَالَتُكُمْ وَ بَنتُ اْلاَخِ وَ بَنتُ اْلاُخْتِ وَ
اُمَّهَاتُكُمُ الّتِى اَرْضَعْنَكُمْ وَ اَخَوَاتُكُمْ مّنَ الرَّضَاعَةِ
وَ اُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَ رَبَآئِبُكُمُ الّتِى فِيْ حُجُوْرِكُمْ مّنَ
النّسَآئِكُمْ الّتِى دَخَلْتُمْ بِهِنَّ، فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا
دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ. وَ حَلآئِلُ اَبْنَآئِكُمُ
الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلاَبِكُمْ. وَ اَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ اْلاُخْتَيْنِ
اِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ، اِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا.
النساء:22-23
Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat
keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan,
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudar abapakmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-aak
istrimu yang dalam pemepiharaanmu dari istri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu)
istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS.An-Nisaa’ : 22-23]
Bantahan dan penjelasan
a.
Penetapan diatas bertentangan dengan riwayat-riwayat yang sah dari Nabi
SAW sebagai penjelas utama syariat Allah sebagaimana di bawah ini.
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: اَنَّ النَّبِيَّ ص يُقَبِّلُ بَعْضَ اَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّى وَ لاَ يَتَوَضَّأَ. احمد
Dari
‘Aisyah RA, ia berkata : Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium salah
seorang dari istrinya, kemudian terus shalat dengan tidak berwudlu lagi”. [HR. Ahmad]
عَنْ
عَائِشَةَ رض قَالَتْ: اِنْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص لَيُصَلِّى وَ اِنِّى
لَمُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ اِعْتِرَاضَ اْلجَنَازَةِ حَتَّى اِذَا
اَرَادَ اَنْ يُوْتِرَ مَسَّنِى بِرِجْلِهِ. النسائى
Dari
‘Aisyah RA, ia berkata, “Pada suatu waktu Rasulullah SAW sedang shalat,
sedang aku tidur di hadapannya seperti jenazah, sehingga apabila
Rasulullah SAW hendak mengerjakan witir, beliau menyentuhku dengan
kakinya”. [HSR. Nasai]
b. Bila
dengan dasar ayat diatas menyentuh wanita itu membathalkan wudlu, maka
harus ditetapkan pula menyentuh itu, kakak perempuan, bibi dan lain-lain
itupun membathalkan wudlu. Karena lafadh النِّسَاءَ (wanita)
dalam ayat 43 surat An-Nisaa’ dan ayat 6 surat Al-Maaidah itu umum,
yakni siapasaja asal dia wanita, baik yang termasuk mahram seperti
ibu,kakak perempuan, bibi dan lain-lain, maupun yang bukan mahram,
tercakup dalam keumuman lafadh tersebut. Dan tidak ada nash yang shahih
dan tegas dari agama, yang mengecualikan wanita-wanita yang mahram dari
lafadh umum لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ (kalian menyentuh wanita)
pada ayat dimuka. Sedang jika ayat 22 dan 23 surat An-Nisaa’ itu
dipakai dasar pengecualian wanita-wanita itu, maka hal itu tidak tepat,
karena satu sama lain tidak ada munasabah (sangkut paut)nya sama sekali
dan bidang hukum. Sebab ayat 43 surat AN-Nisaa’ dan ayat 6 surat
Al-Maaidah itu adalah masalah shalat, tayammum, berhadats dan lain-lain
yang termasuk bab Thaharah dan Shalat, sedang yang diterangkan dalam
ayat 22 dan 23 surat An-Nisaa’ itu adalah masalah wanita-wanita yang
diharamkan untuk dikawini, yang biasa disebut mahram, jadi termasuk bab
Nikah. Maka kedua masalah dalam ayat-ayat diatas masing-masing berdiri
sendiri pembahasannya, dan tidak dapat dicampur-adukkan satu dengan yang
lain.
c. Jika diperhatikan dengan seksama, maka akan tampak jelas bahwa yang dimaksud oleh لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ (kalian menyentuh wanita) itu adalah “kalian bersetubuh dengan wanita (istri-istrimu)”.
Karena ayat-ayat itu menjelaskan kebolehan bertayammum sebagai
pengganti wudlu dan mandi besar bagi orang yang hendak shalat karena
sebab-sebab tertentu. Dan sebagaimana telah diterangkan, bahwa wudlu
untuk shalat adalah bagi orang yang terkena hadats kecil sedang mandi
besar adalah untuk yang yang terkena hadats besar. Berhadats kecil dalam
ayat itu diisyaratkan oleh Allah dengan kalimat جَآءَ اَحَدٌ مّنْكُمْ مّنَ اْلغَائِطِ (seseorang diantara kamu datang dari tempat buang air), maka لَمَسْتُمُ النّسَآءَ (kalian menyentuh perempuan) adalah isyarat Allah bagi hadats besar, yang salah satu sebabnya adalah bersetubuh.
Jadi tidak dapat dimaknakan sekedar menyentuh, tetapi yang dimaksud adalah menyetubuhi wanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar