Tawadhu’
adalah sifat yang amat mulia, tetapi sedikit orang yang memilikinya. Ketika
orang sudah memiliki gelar yang mentereng, berilmu tinggi, memiliki harta yang
mulia, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias tawadhu’. Padahal
kita seharusnya seperti ilmu padi, yaitu “kian berisi, kian merunduk”.
Memahami
Tawadhu’ :
Tawadhu’ adalah ridha jika dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dari yang sepantasnya. Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya.
Tawadhu’ adalah ridha jika dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dari yang sepantasnya. Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya.
Sedangkan
melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai
pada pelecehan hak (Lihat Adz Dzari’ah ila Makarim Asy Syari’ah, Ar Roghib Al
Ash-fahani, 299).
Ibnu
Hajar berkata, “Tawadhu’ adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang
ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah
memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” (Fathul Bari, 11: 341)
Keutamaan
Sifat Tawadhu’ :
Pertama: Sebab mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda (yang artinya), “Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya” (HR. Muslim no. 2588).
Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah Swt pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia.
(Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16: 142)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda (yang artinya), “Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya” (HR. Muslim no. 2588).
Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah Swt pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia.
(Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16: 142)
Tawadhu’
juga merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam.
Lihatlah
Nabi Musa A.s, beliau melakukan pekerjaan rendahan, membantu memberi minum
hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua
renta. Lihat pula Nabi Daud A.s makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri.
Nabi Zakariya A.s dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa A.s
ditunjukkan dalam perkataannya (yang artinya),
“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32).
“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32).
Lihatlah
sifat mulia para nabi tersebut. Karena sifat tawadhu’, mereka menjadi mulia di
dunia dan di akhirat.
Kedua: Sebab adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah manusia.
Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita Muhammad Saw. Beliau Saw pernah bersabda (yang artinya),
“Dan sesungguhnya Allah Swt mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865).
Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita Muhammad Saw. Beliau Saw pernah bersabda (yang artinya),
“Dan sesungguhnya Allah Swt mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865).
Mencontoh
Sifat Tawadhu’ Nabi Muhammad Saw
Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
(QS. Al Ahzab: 21)
Lihatlah
Nabi Muhammad Saw masih memberi salam pada anak kecil dan yang lebih rendah
kedudukan di bawah beliau. Anas berkata, “Sungguh Nabi Muhammad Saw biasa
berkunjung ke orang-orang Anshor. Lantas beliau memberi salam kepada anak kecil
mereka dan mengusap kepala mereka.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no.
459.
Sanad hadits ini shahih kata Syeikh Syu’aib Al Arnauth)
Sanad hadits ini shahih kata Syeikh Syu’aib Al Arnauth)
Subhanallah
… Ini sifat yang sungguh mulia yang jarang kita temukan saat ini. Sangat sedikit
orang yang mau memberi salam kepada orang yang lebih rendah derajatnya dari
dirinya. Boleh jadi orang tersebut lebih mulia di sisi Allah karena takwa yang
ia miliki.
Coba
lihat lagi bagaimana keseharian Nabi Muhammad Saw di rumahnya. Beliau membantu
isterinya. Bahkan jika sendalnya putus atau bajunya sobek, beliau menjahit dan
memperbaikinya sendiri. Ini beliau lakukan di balik kesibukan beliau untuk
berdakwah dan mengurus umat.
Urwah
bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan
Rasulullah Saw tatkala bersamamu (di rumahmu)?”
Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.”
(HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 5676. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Lihatlah beda dengan kita yang lebih senang menunggu isteri untuk memperbaiki atau memerintahkan pembantu untuk mengerjakannya.
Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.”
(HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 5676. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Lihatlah beda dengan kita yang lebih senang menunggu isteri untuk memperbaiki atau memerintahkan pembantu untuk mengerjakannya.
Rasulullah
Saw tanpa rasa malu membantu pekerjaan isterinya.
‘Aisyah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan Nabi Muhammad Saw ketika berada di rumah. Lalu ‘Aisyah menjawab, “Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari no. 676).
Beda dengan kita yang mungkin agak sungkan membersihkan popok anak, menemani anak ketika isteri sibuk di dapur, atau mungkin membantu mencuci pakaian.
‘Aisyah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan Nabi Muhammad Saw ketika berada di rumah. Lalu ‘Aisyah menjawab, “Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari no. 676).
Beda dengan kita yang mungkin agak sungkan membersihkan popok anak, menemani anak ketika isteri sibuk di dapur, atau mungkin membantu mencuci pakaian.
Nasehat
Para Ulama Tentang Tawadhu’ :
Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’?
Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”
Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’?
Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”
Imam
Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang
tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang
yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304)
Basyr
bin Al Harits berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang kaya yang duduk di
tengah-tengah orang fakir.” Yang bisa melakukan demikian tentu yang memiliki
sifat tawadhu’.
‘Abdullah
bin Al Mubarrok berkata, “Puncak dari tawadhu’ adalah engkau meletakkan dirimu
di bawah orang yang lebih rendah darimu dalam nikmat Allah, sampai-sampai
engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya.” (Syu’abul
Iman, Al Baihaqi, 6: 298)
Sufyan
bin ‘Uyainah berkata, “Siapa yang maksiatnya karena syahwat, maka taubat akan
membebaskan dirinya. Buktinya saja Nabi Adam A.s bermaksiat karena nafsu syahwatnya,
lalu ia ber-Istighfar (memohon ampun pada Allah Swt), Allah Swt pun
akhirnya mengampuninya. Namun, jika siapa yang maksiatnya karena sifat sombong
(lawan dari tawadhu’), khawatirlah karena laknat Allah Swt akan menimpanya.
Ingatlah bahwa Iblis itu bermaksiat karena sombong (takabbur), lantas Allah Swt
pun melaknatnya.”
Abu
Bakr Ash Shiddiq R.a berkata, “Kami dapati kemuliaan itu datang dari sifat
takwa, Qona’ah (merasa cukup) muncul karena yakin (pada apa yang ada di
sisi Allah Swt), dan kedudukan mulia didapati dari sifat tawadhu’.”
‘Urwah
bin Al Warid berkata, “Tawadhu’ adalah salah satu jalan menuju kemuliaan.
Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri kecuali pada sifat tawadhu’.”
Yahya
bin Ma’in berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang semisal Imam Ahmad! Aku
telah bersahabat dengan beliau selama 50 tahun, namun beliau sama sekali tidak
pernah menyombongkan diri terhadap kebaikan yang ia miliki.”
Ziyad
An Numari berkata, “Orang yang zuhud namun tidak memiliki sifat tawadhu adalah
seperti pohon yang tidak berbuah.”
Ya
Allah, muliakanlah kami dengan sifat tawadhu’ dan jauhkanlah kami dari sifat
sombong.
“Allahummah-Diinii
Li-Ahsanil Akhlaaqi, Laa Yahdi Li-Ahsaniha illa Anta
(Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).
(Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).
Tawadhu’nya
(sifat rendah hati) Rasulullah Saw terdapat pada ketinggian manshobah dan
derajatnya. Beliau Saw adalah manusia paling rendah hati dan yang tidak
mempunyai kesombongan. Sesungguhnya Rasulullah Saw mendapatkan dua pilihan
antara menjadi Nabi berbentuk raja atau Nabi berbentuk hamba sahaya. Beliau
memilih menjadi Nabi berbentuk hamba sahaya.
Diriwayatkan
dari Abu Umamah, bahwasanya Rasulullah Saw keluar kepada kami memakai tongkat,
maka kami berdiri (menghormati/menyambut) untuknya. Maka Rasulullah Saw
berkata: “Jangan kamu berdiri sebagaimana orang-orang ‘Ajam berdiri,
membesarkan (menghormati satu dengan yang lainnya). Sesungguhnya aku adalah
seorang hamba yang makan sebagaimana hamba sahaya makan, dan aku duduk
sebagaimana hamba sahaya duduk.”
Beberapa
ciri tawadhu’ Rasulullah Saw diantaranya adalah Beliau mengendarai keledai,
menyambangi orang miskin, duduk bersama orang fakir, memenuhi undangan hamba
sahaya (budak) dan duduk bercampur di tengah sahabat-sahabatnya sampai selesai
majelis.
Rasulullah
Saw ketika haji, mengendarai kendaraan dengan memakai selimut yang harganya
tidak lebih dari 4 dirham, sambil berkata: “Ya Allah, jadikanlah hajiku haji
yang mabrur tidak terdapat Riya‘ di dalamnya atau kesombongan.” Dan
beliau berkorban pada haji tersebut sebanyak 100 onta dan tatkala dibuka
untuknya Makkah (Fathul Makkah) beliau memasukinya bersama tentara
Muslim dengan menundukkan kepalanya di atas kendaraannya hingga hampir
menyentuh kakinya, berendah hati (tawadhu’ ) kepada Allah Swt.
Dalam
Hadits Umar bin Khathab R.a, Rasulullah Saw berkata: “Janganlah kamu memujiku
secara berlebihan sebagaimana orang Nasrani memuji Nabi Isa bin Maryam A.s.
Sesungguhnya saya seorang hamba, maka katakanlah hamba Allah dan Rasulnya.”
Dari
Anas bin Malik R.a, bahwasanya ada satu orang perempuan mempunyai keperluan
mendatangi Rasulullah Saw dan berkata: “Sesungguhnya aku ada suatu keperluan
padamu,” maka Rasulullah Saw berkata: “Duduklah wahai Ummu Fulan”.
Kemudian Rasulullah Saw duduk sampai orang tersebut menyelesaikan keperluannya.
Kemudian Rasulullah Saw duduk sampai orang tersebut menyelesaikan keperluannya.
Berkata
Anas bin Malik R.a, Bahwasanya Rasulullah Saw mengendarai keledai untuk
menjawab undangan hamba sahaya, dalam undangannya disediakan roti kering dan
kue yang sudah berubah baunya, maka beliau memakannya.
Dari
sifat rendah hatinya beliau terlihat dalam perkataannya : ” Janganlah kamu
membandingkan aku lebih baik dari Yunus bin Matta A.s dan jangan pula kamu
sekalian membandingkan aku dengan para Nabi dan janganlah kamu sekalian
membandingkan aku lebih baik dari Musa A.s, jika seandainya kejadian yang
tertimpa Nabi Yusuf A.s di penjara terjadi padaku, aku akan menjawab permintaan
yang memintanya”. Dan beliau berkata kepada yang mengatakan padanya : “Ya Khairal
Bariyyah (wahai sebaik-baik manusia dimuka bumi ini) itu adalah Ibrahim
A.s. “.
Diriwayatkan
dari Aisyah R.ha, Imam Hasan R.a dan Abi Sa’id serta lainnya, bahwasanya
Rasulullah Saw di rumahnya melaksanakan pekerjaan keluarganya, membersihkan,
melipat bajunya, memerah kambingnya, menyapu rumahnya, menjahit sandalnya
apabila ada kerusakan, menyiapkan makanan dan minuman untuk hewannya, makan
bersama pembantunya, membuat makanan bersamanya dan membawa barang belanjaannya
dari pasar.
Pernah
datang seorang laki-laki kepadanya, gemetar setelah melihatnya disebabkan
Haibah Rasulullah Saw, berkata Rasulullah Saw kepadanya : “Tenanglah wahai
saudaraku, sesungguhnya aku bukan malaikat, akan tetapi seorang laki-laki yang
dilahirkan dari perempuan Quraisy yang makan makanan”.
Dari
Abu Hurairah R.a, aku masuk pasar bersama Rasulullah Saw dan beliau membeli
satu celana dan berkata kepada penjual : ” Timbang dan hargailah “.
Tatkala selesai, si penjual menarik tangan Rasulullah Saw dan menciumnya, Rasulullah Saw menarik tangannya dengan berkata: “Ini pekerjaan dilakukan orang Ajam terhadap raja-rajanya dan aku bukanlah seorang raja, tetapi seorang laki-laki yang sama denganmu “.
Kemudian Rasulullah Saw mengambil celana tersebut, maka aku ( Abu Hurairah ) mendekati Rasulullah Saw untuk membawakan celana tersebut, beliau berkata: “Pemilik sesuatu lebih pantas untuk membawa miliknya.”
Tatkala selesai, si penjual menarik tangan Rasulullah Saw dan menciumnya, Rasulullah Saw menarik tangannya dengan berkata: “Ini pekerjaan dilakukan orang Ajam terhadap raja-rajanya dan aku bukanlah seorang raja, tetapi seorang laki-laki yang sama denganmu “.
Kemudian Rasulullah Saw mengambil celana tersebut, maka aku ( Abu Hurairah ) mendekati Rasulullah Saw untuk membawakan celana tersebut, beliau berkata: “Pemilik sesuatu lebih pantas untuk membawa miliknya.”
Menggembala
kambing
“Tidaklah Allah Swt mengutus seorang nabi kecuali telah menggembalakan kambing”.
Lalu para sahabat beliau bertanya: “Demikian juga engkau?”
Beliau menjawab: “Ya, Aku dahulu menggembalakan kambing milik seorang penduduk Mekkah dengan imbalan beberapa Qiraath.” (HR. Bukhari-Muslim)
“Tidaklah Allah Swt mengutus seorang nabi kecuali telah menggembalakan kambing”.
Lalu para sahabat beliau bertanya: “Demikian juga engkau?”
Beliau menjawab: “Ya, Aku dahulu menggembalakan kambing milik seorang penduduk Mekkah dengan imbalan beberapa Qiraath.” (HR. Bukhari-Muslim)
Mengangkat
Batu Bata Membangun Masjid
Dari Abu Hurairah R.a, bahwa orang-orang yang membawa batu bata untuk membangun masjid, dan Rasulullah Saw juga tampak di tengah-tengah mereka. Dia berkata,”Aku menghadap Rasulullah Saw yang pada perut beliau ada sebongkah batu. Kupikir batu bata itu telah merepotkan beliau. Maka aku berkata,”Serahkanlah batu bata itu wahai Rasulullah Saw.” Beliau menjawab,”Ambillah yang lain saja wahai Abu Hurairah. Sesungguhnya tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat.” (HR. Ahmad)
Dari Abu Hurairah R.a, bahwa orang-orang yang membawa batu bata untuk membangun masjid, dan Rasulullah Saw juga tampak di tengah-tengah mereka. Dia berkata,”Aku menghadap Rasulullah Saw yang pada perut beliau ada sebongkah batu. Kupikir batu bata itu telah merepotkan beliau. Maka aku berkata,”Serahkanlah batu bata itu wahai Rasulullah Saw.” Beliau menjawab,”Ambillah yang lain saja wahai Abu Hurairah. Sesungguhnya tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat.” (HR. Ahmad)
Ikut
Bekerja Menggali Parit
Dari Al Barra` R.a dia berkata,”Nabi Muhammad Saw ikut mengangkuti tanah pada perang Khandaq, hingga perutnya penuh debu -atau perutnya berdebu-, beliau bersabda: ‘Ya Allah, seandainya bukan karena-Mu, maka kami tidak akan mendapatkan petunjuk, tidak akan bersedekah dan tidak akan melakukan shalat, maka turunkanlah ketenangan kepada kami, serta kokohkan kaki-kaki kami apabila bertemu dengan musuh. Sesungguhnya orang-orang musyrik telah berlaku semena-mena kepada kami, apabila mereka menghendaki fitnah, maka kami menolaknya.’ Beliau menyenandungkan itu sambil mengeraskan suaranya.” (HR. Bukhari)
Dari Al Barra` R.a dia berkata,”Nabi Muhammad Saw ikut mengangkuti tanah pada perang Khandaq, hingga perutnya penuh debu -atau perutnya berdebu-, beliau bersabda: ‘Ya Allah, seandainya bukan karena-Mu, maka kami tidak akan mendapatkan petunjuk, tidak akan bersedekah dan tidak akan melakukan shalat, maka turunkanlah ketenangan kepada kami, serta kokohkan kaki-kaki kami apabila bertemu dengan musuh. Sesungguhnya orang-orang musyrik telah berlaku semena-mena kepada kami, apabila mereka menghendaki fitnah, maka kami menolaknya.’ Beliau menyenandungkan itu sambil mengeraskan suaranya.” (HR. Bukhari)
Tidak
Menolak Undangan
Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.a dari Rasulullah Saw beliau bersabda:
“Andaikata aku diundang makan paha atau kaki binatang, niscaya aku kabulkan undangannya. Andaikata kepadaku hanya dihadiahkan kaki atau paha binatang, tentu akan aku terima hadiah itu.” (HR. Al-Bukhari)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.a dari Rasulullah Saw beliau bersabda:
“Andaikata aku diundang makan paha atau kaki binatang, niscaya aku kabulkan undangannya. Andaikata kepadaku hanya dihadiahkan kaki atau paha binatang, tentu akan aku terima hadiah itu.” (HR. Al-Bukhari)
Dari
Anas bin Malik R.a, ia berkata, “Nabi Muhammad Saw tidak menolak undangan
siapapun, meskipun yang dihidangkan kepada beliau itu hanya berupa roti bulgur
yang dibumbui dengan minyak atau lemak yang beku”(HR. At Tirmidzi)
Dari
Anas bin Malik R.a, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Seandainya aku diberi oleh
seseorang (meski hanya) sebuah kaki kambing, aku akan menerimanya atau aku
diundang untuk memakannya, maka aku tidak akan menolaknya” (HR. Imam Ahmad,
Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Menghadiri
Walimah Pelayan
Dari Sahl bin Sa’d bahwa Abu Usair as Sa’dy mengundang Nabi Muhammad Saw untuk menghadiri acara pernikahannya. Isterinya adalah seorang pelayan. Selagi masih dalam suasana pengantin itu, istrinya berkata kepada orang-orang di sekitarnya,”Tahukah kalian apa yang kuhidangkan kepada Rasulullah? Aku menghidangkan buah-buahan yang sudah kurendam selama semalam.” (HR. Ahmad)
Dari Sahl bin Sa’d bahwa Abu Usair as Sa’dy mengundang Nabi Muhammad Saw untuk menghadiri acara pernikahannya. Isterinya adalah seorang pelayan. Selagi masih dalam suasana pengantin itu, istrinya berkata kepada orang-orang di sekitarnya,”Tahukah kalian apa yang kuhidangkan kepada Rasulullah? Aku menghidangkan buah-buahan yang sudah kurendam selama semalam.” (HR. Ahmad)
Menyambut
Ja’far
Menjadi kebiasaan para sahabat apabila ada seseorang yang baru datang dari perjalanan (Safar) atau sudah lama tidak bertemu. Para Ulama dalam masalah ini berdalil dengan riwayat bahwa Rasulullah Saw mencium kening Ja‘far bin Abu Thalib dan merangkulnya ketika ia baru datang dari Habasyah. Riwayat tersebut dikeluarkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih.
Bahkan Turmidzi meriwayatkan dari Aisyah R.ha ia berkata: “Ketika Zaid bin Haritsa datang ke Madinah, Rasulullah Saw ada di rumahku, kemudian ia datang kepada beliau dan mengetuk pin
Menjadi kebiasaan para sahabat apabila ada seseorang yang baru datang dari perjalanan (Safar) atau sudah lama tidak bertemu. Para Ulama dalam masalah ini berdalil dengan riwayat bahwa Rasulullah Saw mencium kening Ja‘far bin Abu Thalib dan merangkulnya ketika ia baru datang dari Habasyah. Riwayat tersebut dikeluarkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih.
Bahkan Turmidzi meriwayatkan dari Aisyah R.ha ia berkata: “Ketika Zaid bin Haritsa datang ke Madinah, Rasulullah Saw ada di rumahku, kemudian ia datang kepada beliau dan mengetuk pin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar