Suami istri yang melakukan li’an tidak bisa kembali lagi selamanya.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لِلْمُتَلاَعِنَيْنِ
حِسَابُكُمَا عَلَى اللهِ اَحَدُكُمَا كَاذِبٌ لاَ سَبِيْلَ لَكَ
عَلَيْهَا. قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا لِى؟ قَالَ: لاَ مَالَ لَكَ،
اِنْ كُنْتَ صَدَقْتَ عَلَيْهَا فَهُوَ بِمَا اسْتَحْلَلْتَ مِنْ
فَرْجِهَا، اِنْ كُنْتَ كَذَبْتَ عَلَيْهَا فَذلِكَ اَبْعَدُ لَكَ مِنْهَا.
احمد و البخارى و مسلم
Dari
Ibnu ‘Umar, ia berkata : Rasulullah saw pernah bersabda kepada suami
istri yang telah melakukan lian. “Hisab kalian terserah kepada Allah,
salah satu diantara kalian berdua ada yang dusta, dan tidak ada jalan
lagi bagimu (kembali) kepadanya”. Si suami bertanya, “Ya Rasulullah,
bagaimana hartaku (maharku) ?”. Rasulullah SAW menjawab, “Tidak ada
(hak) atas harta
(mahar) bagimu, sebab jika engkau benar dan istrimu salah, maka itu
sebagai imbalan atas apa yang telah halal kepadamu dari kemaluannya dan
jika engkau berdusta, maka lebih jauh lagi hakmu atas harta itu”. [HR Ahmad, Bukhari dan Muslim].
عَنْ
سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ فِى خَبَرِ اْلمُتَلاَعِنَيْنِ، قَالَ: فَطَلَّقَهَا
ثَلاَثَ تَطْلِيْقَاتٍ، فَاَنْفَذَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص وَ كَانَ مَا صَنَعَ
عِنْدَ النَّبِيِّ ص سُنَّةً، قَالَ سَهْلٌ: حَضَرْتُ هذَا عِنْدَ
النَّبِيِّ ص فَمَضَتِ السُّنَّةُ بَعْدُ فِى اْلمُتَلاَعِنَيْنِ اَنْ
يُفَرَّقَ بَيْنَهُمَا، ثُمَّ لاَ يَجْتَمِعَانِ اَبَدًا. ابو داود
Dari Sahl bin
Sa’ad tentang cerita suami istri yang telah melakukan li’an, ia
berkata, “Kemudian suami menthalaqnya tiga kali sekaligus, lalu
Rasulullah SAW menetapkannya, sedang apa yang dilakukan di sisi Nabi SAW
itu merupakan sunnah”. Sahl berkata, “Aku sendiri hadir dalam peristiwa
ini di samping
Nabi SAW, kemudian berlangsunglah sunnah tersebut sesudah itu bagi suami
istri yang melakukan li’an harus diceraikan antara keduanya, lalu tidak
boleh kembali lagi buat selama-lamanya”. [HR. Abu Dawud].
عَنْ
سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ فِى قِصَّةِ اْلمُتَلاَعِنَيْنِ قَالَ: فَفَرَّقَ
رَسُوْلُ اللهِ ص بَيْنَهُمَا وَ قَالَ: لاَ يَجْتَمِعَانِ اَبَدًا.
الدارقطنى
Dari Sahl bin Sa’ad tentang kisah suami istri yang melakukan sumpah li’an Sahl berkata : Lalu Rasulullah SAW menceraikan antara keduanya seraya bersabda, “Keduanya tidak boleh kembali lagi untuk selama-lamanya”. [HR. Daruquthni].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اْلمُتَلاَعِنَيْنِ اِذَا تَفَرَّقَا لاَ يَجْتَمِعَانِ اَبَدًا. الدارقطنى
Dari
Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda, ”Suami istri yang
telah melakukan sumpah li’an apabila keduanya telah berpisah, maka tidak
bisa kembali lagi buat selama-lamanya”. [HR. Daruquthni].
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: مَضَتِ السُّنَّةُ فِى اْلمُتَلاَعِنَيْنِ اَنْ لاَ يَجْتَمِعَا اَبَدًا. الدارقطنى
Dari
Ali, ia berkata, Telah berlaku sunnah Nabi bagi suami istri yang telah
melakukan sumpah li’an, bahwa keduanya tidak dapat ruju’ (kembali) untuk
selama-lamanya”. [HR. Daruquthni].
عَنْ عَلِيٍّ وَ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رض قَالاَ: مَضَتِ السُّنَّةُ اَنْ لاَ يَجْتَمِعَ اْلمُتَلاَعِنَانِ. الدارقطنى
Dari
Ali dan Ibnu Mas’ud ra., mereka berkata, “Telah berlaku sunnah (Nabi),
bahwa tidak dapat ruju’ (kembali) suami istri yang telah melakukan
sumpah li’an”. [HR. Daruquthni].
Larangan menuduh istri berbuat zina karena melahirkan anak yang tidak serupa dengan ibu bapaknya.
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ مِنْ بَنِى فَزَارَةَ اِلَى
رَسُوْلِ اللهِ ص، فَقَالَ: وَلَدَتِ امْرَأَتِى غُلاَمًا اَسْوَدَ وَ هُوَ
حِيْنَئِذٍ يُعَرِّضُ بِاَنْ يَنْفِيَهُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: هَلْ
لَكَ مِنْ اِبِلٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَمَا اَلْوَانُهَا؟ قَالَ:
حُمْرٌ. قَالَ: هَلْ فِيْهَا مِنْ اَوْرَقَ؟ قَالَ: اِنَّ فِيْهَا
لَوَرِقًا. قَالَ: فَاَنَّى اَتَاهَا ذلِكَ؟ قَالَ: عَسَى اَنْ يَكُوْنَ
نَزَعَهُ عِرْقٌ. قَالَ: فَهذَا عَسَى اَنْ يَكُوْنَ نَزَعَهُ عِرْقٌ وَ
لَمْ يُرَخِّصْ لَهُ فِى اْلاِنْتِفَاءِ مِنْهُ. الجماعة
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Pernah ada
seorang laki-laki dari Bani Fazarah datang kepada Rasulullah SAW lalu
berkata, “Istriku telah melahirkan seorang anak yang berkulit hitam”.
Dan pada waktu itu dia menyindir tidak mengakui sebagai anaknya. Maka
Nabi SAW bertanya kepadanya, “Apakah engkau punya unta ?”. Ia menjawab,
“Punya”. Nabi SAW bertanya lagi “Bagaimana warnanya ?”. Ia menjawab,
“Merah”. Nabi SAW bertanya lagi, “Apakah ada diantaranya yang berwarna
abu-abu ?”. Ia menjawab, ”Sungguh memang ada yang abu-abu”. Nabi SAW
bertanya, “Bagaimana bisa demikian ?”, Ia menjawab, “Barangkali itu
dipengaruhi oleh keturunan”. Nabi SAW bersabda, “Ya, barangkali ini
dipengaruhi oleh keturunan juga”. Dan Nabi SAW tidak membenarkan tidak
diakuinya anak itu. [HR. Jamaah]
و لابى داود فى رواية: اِنَّ امْرَأَتِى وَلَدَتْ غُلاَمًا اَسْوَدَ، وَ اِنِّى اُنْكِرُهُ
Dan
oleh Abu Dawud dalam riwayat lain (dikatakan), “Sesungguhnya istriku
telah melahirkan seorang anak yang berkulit hitam sedang aku benar-benar
tidak mengakuinya”.
Anak adalah hak orang yang setempat tidur.
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اْلوَلَدُ لِلْفِرَاشِ، وَ لِلْعَاهِرِ اْلحَجَرُ. الجماعة الا ابا داود
Dari
Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, ”Anak itu haknya
(orang yang) setempat tidur (suami yang sah) dan bagi orang yang
menzinai haknya mendapat lemparan batu”. [HR. Jamaah kecuali Abu Dawud].
و فى لفظ للبخارى: لِصَاحِبِ اْلفِرَاشِ
Dalam lafadh lain oleh Bukhari (dikatakan), “Haknya pemilik tempat tidur”.
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ: اِخْتَصَمَ سَعْدُ بْنُ اَبِى وَقَّاصٍ وَ عَبْدُ بْنُ
زَمْعَةَ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص، فَقَالَ سَعْدٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ،
اِنَّ اَخِى عُتْبَةَ بْنَ اَبِى وَقَّاصٍ عَهِدَ اِلَيَّ اَنَّهُ ابْنُهُ،
اُنْظُرْ اِلَى شَبَهِهِ. وَ قَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ: هذَا اَخِى يَا
رَسُوْلَ للهِ، وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ اَبِى. فَنَظَرَ رَسُوْلُ اللهِ ص
اِلَى شَبَهِهِ، فَرَأَى شَبَهًا بَيِّنًا بِعُتْبَةَ. فَقَالَ: هُوَ لَكَ
يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ. اْلوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَ لِلْعَاهِرِ
اْلحَجَرُ، وَ احْتَجِبِى مِنْهُ يَا سَوْدَةُ بِنْتَ زَمْعَةَ. قَالَ:
فَلَمْ يَرَ سَوْدَةَ قَطُّ. الجماعة الا الترمذى
Dari
Aisyah, ia berkata : Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abd bin Zam’ah mengadu
kepada Rasulullah SAW, lalu Sa’ad berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya
saudaraku ‘Utbah bin Abi Waqqash memberitahukan kepadaku bahwa dia
(anak budak perempuannya Zam’ah yang bernama ‘Abdurrahman) adalah
anaknya (‘Utbah), perhatikanlah kemiripannya”. Dan Abd bin Zam’ah
berkata, “Ini saudara laki-lakiku ya Rasulullah, ia dilahirkan
diatas tempat tidur ayahku”. Kemudian Rasulullah SAW memperhatikan
kemiripannya, maka beliau melihat kemiripan yang jelas dengan ‘Utbah,
kemudian beliau bersabda, ‘Dia itu bagimu (saudaramu) hai Abd bin
Zam’ah, (sebab) anak itu haknya (orang yang) setempat tidur dan bagi
orang yang menzinai berhaq mendapat lemparan batu. Dan engkau hai Saudah
binti Zam’ah, berhijablah dari dia”. Sa’ad berkata, “Maka anak itu sama
sekali tidak pernah melihat Saudah”. [HR Jamaah kecuali Tirmidzi].
Tentang Dhihar.
قَدْ
سَمِعَ اللهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُ لَكَ فِيْ زَوْجِهَا وَ
تَشْتَكِيْ اِلَى اللهِ وَ اللهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا، اِنَّ اللهَ
سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ. الَّذِيْنَ يُظهِرُوْنَ مِنْكُمْ مّنْ نّسَآئِهِمْ مَّا
هُنَّ اُمَّهتِهِمْ، اِنْ اُمَّهتُهُمْ اِلاَّ الّئِيْ وَلَدَتْهُمْ، وَ
اِنَّهُمْ لَيَقُوْلُوْنَ مُنْكَرًا مّنَ اْلقَوْلِ وَزُوْرًا، وَ اِنَّ
اللهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ. وَ الَّذِيْنَ يُظهِرُوْنَ مِنْ نّسَآئِهِمْ
ثُمَّ يَعُوْدُوْنَ لِمَا قَالُوْا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مّنْ قَبْلِ اَنْ
يَّتَمَآسَّا، ذلِكُمْ تُوْعَظُوْنَ بِه، وَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
خَبِيْرٌ. فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ
قَبْلِ اَنْ يَّتَمَآسَّا، فَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ فَاِطْعَامُ سِتِّيْنَ
مِسْكِيْنًا، ذلِكَ لِتُؤْمِنُوْا بِاللهِ وَ رَسُوْلِه، وَ تِلْكَ
حُدُوْدُ اللهِ، وَ لِلْكفِرِيْنَ عَذَابٌ اَلِيْمٌ. المجادلة:1-4
Sesungguhnya
Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada
kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah
mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat (1). Orang-orang yang mendzihar istrinya
diantara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah
istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita
yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (2). Orang-orang yang mendzihar
istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (3). Barangsiapa yang tidak
mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa
(wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah
supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum
Allah, dan bagi orang kafir ada siksa yang sangat pedih (4). [QS. Al-Mujadalah]
Asbabun
Nuzul ayat ini sehubungan dengan persoalan seorang wanita yang bernama
Khaulah binti Tsa’labah yang telah didhihar suaminya (Aus bin Shamit),
yaitu dengan mengatakan kepada istrinya, “Kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku”.
Dengan maksud dia tidak boleh lagi menggauli istrinya, sebagaimana ia
tidak boleh menggauli ibunya. Menurut adat jahiliyah, kalimat dhihar
seperti itu sudah sama dengan menthalaq istrinya. Maka Khaulah
mengadukan peristiwa yang dialaminya kepada Rasulullah SAW. Rasulullah
dalam hal ini menjawab bahwa belum ada keputusan dari Allah.
Dan dalam riwayat yang lain Rasulullah SAW mengatakan, “Engkau telah diharamkan bersetubuh dengan dia”. Lalu Khaulah berkata, “Suamiku belum menyebut kata-kata thalaq”.
Kemudian Khaulah berulang-ulang mendesak kepada Rasulullah supaya
menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga turunlah ayat diatas.
عَنْ
خَوْلَةَ بِنْتِ مَالِكٍ بْنِ ثَعْلَبَةَ قَالَتْ: ظَاهَرَ مِنِّى اَوْسُ
بْنُ الصَّامِتِ، فَجِئْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص اَشْكُوْ اِلَيْهِ وَ رَسُوْلُ
اللهِ ص يُجَادِلُنِى فِيْهِ وَ يَقُوْلُ: اِتَّقِى اللهَ، فَاِنَّهُ
ابْنُ عَمِّكِ، فَمَا بَرَحَ حَتَّى نَزَلَ اْلقُرْآنُ { قَدْ سَمِعَ اللهُ
قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِى زَوْجِهَا} اِلَى اْلفَرْضِ فَقَالَ:
يَعْتِقُ رَقَبَةً، قَالَتْ: لاَ يَجِدُ، قَالَ: فَيَصُوْمُ شَهْرَيْنِ
مُتَتَابِعَيْنِ، قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنَّهُ شَيْخٌ كَبِيْرٌ
مَا بِهِ مِنْ صِيَامٍ، قَالَ: فَلْيُطْعِمْ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا.
قَالَتْ: مَا عِنْدَهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَصَدَّقَ بِهِ، قَالَ: فَاَتَى
سَاعَتَئِذٍ بِعَرَقٍ مِنْ تَمْرٍ. قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ فَاِنِّى
سَأُعِيْنُهُ بِعَرَقٍ آخَرَ. قَالَ: قَدْ اَحْسَنْتِ اِذْهَبِى
فَاَطْعِمِى بِهِمَا عَنْهُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا وَ ارْجِعِى اِلَى ابْنِ
عَمِّكِ، وَ اْلعَرَقُ سِتِّيْنَ صَاعًا. ابو داود
Dari
Khaulah binti Malik bin Tsa’labah, ia berkata : Aus bin Shamit
mendhiharku lalu aku datang kepada Rasulullah SAW mengadu kepadanya,
sedang Rasulullah SAW mengingatkan aku seraya bersabda, “Takutlah kepada
Allah, karena sesungguhnya suamimu itu anak pamanmu sendiri”. Maka
tetap situasinya demikian sehingga turun (ayat) Al-Qur’an, “Sesungguhnya
Allah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu
tentang suaminya”. [QS. Al-Mujadalah : 1] sampai kewajiban yang harus
ditunaikan. Kemudian beliau bersabda lagi, “Hendaklah ia memerdekakan
hamba”. Lalu Khaulah menjawab, “Ia tidak bisa mendapatkan (hamba)”. Nabi
SAW bersabda, “Kalau begitu ia harus berpuasa dua bulan
berturut-turut”. Khaulah menjawab, “Ya Rasulullah, sesungguhnya dia itu
sudah sangat tua, sudah tidak kuat berpuasa”. Nabi SAW bersabda,
“Hendaklah ia memberi makan enam puluh orang miskin”. Khaulah menjawab,
“Ia tidak mempunyai apapun yang bisa ia sedeqahkan”. (Perawi) berkata,
“Lalu ketika itu Nabi SAW memberinya satu araq kurma”. Khaulah berkata,
“Ya Rasulullah, aku (juga) akan membantunya dengan satu araq kurma
(lagi)”. Rasulullah SAW bersabda, “Bagus, pergilah lalu berikanlah
kepada enam puluh orang miskin dan kembalilah kepada anak pamanmu
(suamimu)”. Satu araq itu sama dengan enam puluh sha’. [HR. Abu Dawud]
و لاحمد معناه لكنه لم يذكر قدر العرق و قال فيه: فَلْيُطْعِمْ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا وَسْقًا مِنْ تَمْرٍ.
Dan
oleh Ahmad semakna dengan hadits diatas, tetapi ia tidak menyebutkan
ukuran satu ‘araq dan Nabi SAW bersabda dalam riwayat ini, “Hendaklah
dia memberi makan satu wasaq (60 sha’) kepada enam puluh orang miskin”.
و لابى داود فى رواية اخرى: وَ اْلعَرَقُ مِكْتَلٌ يَسَعُ ثَلاَثِيْنَ صَاعًا، وَ قَالَ: هذَا اَصَحُّ
Dan
oleh Abu Dawud dalam riwayat lain (dikatakan), “Dan araq itu satu ukuran
yang berisi tiga puluh sha’”. Dan ia berkata, “Inilah yang lebih sah”.
عَنْ
عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ رَجُلاً اَتَى النَّبِيَّ ص قَدْ
ظَاهَرَ مِنِ امْرَأَتِهِ، فَوَقَعَ عَلَيْهَا فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ
اللهِ، اِنِّى ظَاهَرْتُ امْرَأَتِى فَوَقَعْتُ عَلَيْهَا قَبْلَ اَنْ
اُكَفِّرَ، فَقَالَ: مَا حَمَلَكَ عَلَى ذلِكَ؟ يَرْحَمُكَ اللهُ. قَالَ:
رَأَيْتُ خَلْخَالَهَا فِى ضَوْءِ اْلقَمَرِ. قَالَ: فَلاَ تَقْرَبَهَا
حَتَّى تَفْعَلَ مَا اَمَرَكَ اللهُ. الخمسة الا احمد وصححه الترمذى
Dari
‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas, bahwa sesungguhnya ada seorang laki-laki
datang kepada Nabi SAW (menerangkan bahwa) ia telah mendhihar istrinya,
lalu ia mencampurinya. Kemudian ia bertanya, “Ya Rasulullah,
sesungguhnya aku telah mendhihar istriku, lalu aku mencampurinya sebelum
aku membayar kafarat (maka apakah yang harus aku lakukan) ?”. Nabi SAW
bertanya, “Semoga Allah merahmatimu. Apakah yang mendorongmu berbuat
demikian itu ?”. Ia menjawab, “Aku melihat gelang kakinya dalam sinar
bulan”. Nabi SAW bersabda, “Hendaklah engkau tidak mendekatinya sehingga
engkau laksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu”. [HR. Khamsah kecuali Ahmad dan disahkan oleh Tirmidzi]
عَنْ
اَبِى سَلَمَةَ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ صَخْرٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص اَعْطَاهُ
مِكْتَلاً فِيْهِ خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا فَقَالَ: اَطْعِمْهُ سِتِّيْنَ
مِسْكِيْنًا، وَ ذلِكَ لِكُلِّ مِسْكِيْنٍ مُدٌّ. الدارقطنى و للترمذى
معناه
Dari
Abu Salamah dari Salamah bin Shakhr, bahwa sesungguhnya Nabi SAW
memberinya seonggok (kurma) yang berisikan lima belas sha’, lalu ia
bersabda, “Berikanlah kepada enam puluh orang miskin dan untuk setiap
orang satu mud”. [HR. Daruquthni dan Tirmidzi yang semakna dengan itu]
~oO[ A ]Oo~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar