Salam

Salam

Senin, 16 Desember 2013

Halal Haram Dalam Islam (ke-1)

Asal tiap-tiap sesuatu adalah mubah
Islam menetapkan bahwa asal sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nash yang sah dan tegas dari syari (yang berwenang membuat hukum), yaitu Allah dan Rasul-Nya yang engharamkan. Kaidah ushul mengatakan :
 
اَْلاَصْلُ فِى اْلاَشْيَاءِ اْلاِبَاحَةُ. اصول الفقه
Asal tiap-tiap sesuatu adalah mubah. [Ushul Fiqh]
Kalau tidak ada nash yang sah atau tegas (sharih) yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.
Ulama-ulama Islam mendasari ketetapan tersebut dengan dalil ayat-ayat Al-Quran, yang antara lain :
 
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى اْلاَرْضِ جَمِيْعًا. البقرة: 29
 
Dia lah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. [QS. Al-Baqarah : 29]
Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. [QS. Al-Jaatsiyah : 13]
 
اَ لَمْ تَرَوْا اَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّموتِ وَ مَا فِى اْلاَرْضِ وَ اَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَه ظَاهِرَةً وَّ بَاطِنَةً. لقمان: 20
 
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nimat-Nya lahir dan bathin. [QS. Luqman : 20]
Dari ayat-ayat tersebut bisa kita ketahui bahwa Allah menjadikan apasaja yang ada di langit dan di bumi itu diseiakan untuk manusia.
Sebenarnya arena haram dalam syariat Islam itu sangat sempit sekali, dan arena halal malah justru sangat luas. Karena nash-nash yang shahih dan tegas dalam hal haram jumlahna sangat sedikit. Sedang sesuatu yang tidak ada keterangan halal-haramnya, adalah kembali kepada hukum asal, yaitu halal dan termasuk dalam kategori yang dimaafkan Allah.
Dalam hal ini ada satu hadits yang menyatakan sebagai berikut :
 
مَا اَحَلَّ اللهُ فِى كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ، وَ مَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ، وَ مَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاقْبَلُوْا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ فَاِنَّ اللهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا. وَ تَلاَ: وَ مَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا. الحاكم  البزار
 
Apasaja yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, maka hal itu adalah halal. Dan apasaja yang Ia haramkan, maka hal itu adalah haram. Sedang apasaja yang Ia diamkan, maka hal itu dibolehkan (mafu), oleh karena itu terimalah kemaafan dari Allah itu. Sebab sesungguhnya Allah tidak lupa sedikitpun. Kemudian Rasulullah SAW membaca ayat (yang artinya) Wa maa kaana robbuka nasiyyaa (Dan Tuhan mu tidak lupa)  QS. Maryam : 64. [HR. Hakim dan Bazzaar]
 
عَنْ سَلْمَانَ اْلفَارِسِيّ قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ السَّمْنِ وَ اْلجُبْنِ وَ اْلفَرَاءِ، فَقَالَ: اَلْحَلاَلُ مَا اَحَلَّ اللهُ فِى كِتَابِهِ وَ اْلحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللهُ فِى كِتَابِهِ، وَ مَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا لَكُمْ. الترمذى و ابن ماجه فى نيل الاوطار 8: 120
 
Dari Salman Al-Farisiy, ia barkata : Rasulullah SAW ditanya tentang (hukumnya) samin, keju dan keledai hutan, maka beliau bersabda, Yang halal adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya. Dan yang haram adalah sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedang apa yang Ia diaman, maka hal itu adalah salah satu yang Allah maafkan untuk kamu. [HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, Nailul Authar juz 8, hal. 120]
Dari hadits tersebut Rasulullah SAW tidak memberikan jawaban kepada si penanya dengan menerangkan satu persatunya, tetapi beliau mengembalikan kepada suatu qaidah yang kiranya dengan qaidah itu mereka dapat mengerti apa yang diharamkan Allah, sedang lainnya adalah halal dan baik.
Dan sabda beliau juga :
 
اِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيّعُوْهَا وَ حَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَ حَرَّمَ اَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا وَ سَكَتَ عَنْ اَشْيَاءَ رَحْمَةً بِكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا. الدارقطنى و حسنه النواوى
 
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan hal itu, dan Allah telah memberikan beberapa batasan, maka jangan kamu melampauinya. Dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka janganlah kamu melanggarnya. Dan Allah telah mendiamkan beberapa hal, sebagai tanda kasih-Nya kepadamu, tidak karena lupa, maka jangan kamu perbincangkan hal itu. [HR. Daruquthni, dihasankan oleh An-Nawawiy]
Jadi hendaklah kita ketahui bahwa qaidah asal segala sesuatu adalah halal, ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk dari ibadah, yaitu yang biasa kita isthilatkan dengan adat atau muamalah. Pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syari sendiri telah diharamkan dan diterangkannya. Firman Allah SWT :
وَ قَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ. الانعام: 119
 
Dan sungguh Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkannya atas kamu. [QS. Al-Anaam : 119]
Ayat ini umum, meliputi soal-soal makanan, perbuatan dan lain-lain.
Berbeda sekali dengan urusan ibadah, karena ibadah semata-mata urusan agama yang tidak ditetapkan melainkan dari jalan wahyu. Untuk itulah maka terdapat dalam hadits Nabi SAW yang mengatakan :
 
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَنْ اَحْدَثَ فِى اَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. مسلم 3: 1343
 
Dari Aisyah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia itu tertolak. [HR. Muslim juz 3, hal. 1343]
 
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ اَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. مسلم 3: 1344
 
Dari Aisyah, ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, Barangsiapa mengerjakan amalan (ibadah) yang tidak ada padanya perintah kami, maka ia itu tertolak. [HR. Muslim juz 3, hal. 1344]
Hal ini karena hakikat agama atau ibadah itu tercermin dalam dua hal, yaitu :
1.  Hanya Allah lah yang disembah.
2.  Untuk menyembah Allah, hanya dapat dilakukan menurut apa yang disyariatkan-Nya.
Oleh karena itu barangsiapa mengada-adakan suatu cara ibadah yang timbul dari dirinya sendiri, apapun macamnya, adalah suatu kesesatan yang harus ditolak. Sebab hanya Allah dan Rasul-Nya yang berhaq mengadakan cara ibadah yang dapat dipakai untuk bertaqarrub kepada-Nya.
Adapun masalah adat dan muamalat, sumbernya bukan dari syari, tetapi justru manusia itu sendiri yang menimbulkan dan mengadakan. Dalam hal ini syari hanya membetulkan, meluruskan, mendidik dan mengakui, kecuali dalam beberapa hal yang memang membawa kerusakan dan mudlarat, maka syari pasti melarangnya.
Syaikhul Islam IbnuTaimiyah berkata, Sesungguhnya perbuatan manusia, baik yang berbentuk omongan ataupun kemashlahatan ada dua macam, yaitu : ibadah yang justru untuk kemashlahatan agamanya, dan adat (kebiasaan) yang sangat mereka butuhkan demi kemashlahatan dunia mereka. Maka dengan terperincinya pokok-pokok syariat, kita dapat mengakui bahwa ibadah yang benar hanya dapat ditetapkan dengan ketentuan syairat itu sendiri.
Adapun masalah adat yaitu yag biasa dipakai ummat manusia demi kemashlahatan yang mereka butuhkan, semula tidak terlarang. Semuanya boleh, kecuali hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Karena itulah imam Ahmad dan beberapa ahli fiqh lainnya berpendapat : Pokok dalam urusan ibadah adalah tauqif (bersumber pada ketetapan Allah dan Rasul). Oleh  telah disyariatkan oleh Allah. Jika tidak demikian, berarti kita akan termasuk dalam apa yang disebutkan Allah :
 
اَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مّنَ الدّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ. الشورى: 21
 
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?. [QS. Asy-Syuuraa : 21]
Sedang dalam persoalan adat, prinsipnya boleh. Tidak satupun yang terlarang kecuali yang memang telah diharamkan. Jika tidak demikian, maka kita akan termasuk dalam apa yang difirmankan Allah :
 
قُلْ اَرَءَيْتُمْ مَّآ اَنْزَلَ اللهُ لَكُمْ مّنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مّنْهُ حَرَامًا وَّ حَللاً، قُلْ آ للهُ اَذِنَ لَكُمْ اَمْ عَلَى اللهِ تَفْتَرُوْنَ. يونس: 59
 
Katakanlah, Terangkanlah kepadaku tentang rezqi yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah,Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah ?. [QS. Yuunus : 59]
Dengan dasar itulah maka manusia dapat melakukan jual-beli dan sewa-menyewa sesuka hatinya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara. Begitu juga boleh makan dan minum sesukanya, selama tidak diharamkan oleh syara, sekalipun sebagiannya kadang-kadang disunnatan dan adakalanya dimakruhkan. Sesuatu yang oleh syara ridak diberinya pembatasan, maka kita dapat menetapkan kemuthlaqan hukum asal.
Prinsip di atas sesui dengan apa yang disebut dalam satu riwayat yang diriwayatkan oleh Bukhari, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata :
 
كُنَّا نَعْزِلُ وَ اْلقُرْانُ يَنْزِلُ فَلَوْ كَانَ شَيْءٌ يُنْهَى عَنْهُ لَنَهَى عَنْهُ اْلقُرْانُ.
 
Kami pernah melakukan azl, sedang waktu itu Al-Quran masih turun. Jika hal tersebut dilarang, tentu Al-Quran melarangnya.
Ini menunjukkan bahwa apasaja yang didiamkan oleh wahyu, bukanlah terlarang. Mereka bebas untuk mengerjakannya, sehingga ada nash yang melarang dan mencegahnya. Demikianlah salah satu dari kecerdasan para shahabat.
Dan dengan ini pula, ditetapkan suatu qaidah, Soal ibadah tidak boleh dikerjakan kecuali dengan syaiat yang ditetapkan Allah. Dan suatu hukum adat tidak boleh diharamkan, kecuali dengan ketentuan yang diharamkan oleh Allah.
2. Menentukan halal-haram semata-mata haq Allah
Islam telah memberikan batas wewenang untuk menentukan halal dan haram, yaitu dengan melepaskan haq tersebut dari tangan manusia, betapapun tingginya kedudukan manusia tersebut dalam bidang agama maupun duniawinya.
Hak tersebut semata-mata di tangan Allah, bukan di tangan para ulama, bukan para pendeta, bukan raja dan bukan sultan yang berhak menentukan halal-haram. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah melanggar batas dan menentang hak Allah dalam menetapkan perundang-undangan untuk ummat manusia. Dan barangsiapa yag menerima serta mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah menjadikan mereka itu sebagai sekutu Allah. Firman Allah SWT :
 
اَمْ لَهُمْ شُرَكَآؤُا شَرَعُوْا لَهُمْ مّنَ الدّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ. الشورى: 21
 
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?. [QS. Asy-Syuuraa : 21]
Al-Quran telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) yang tellah memberikan kekuasaan kepada para orang alim dan rahib/pendeta mereka untuk menetapkan halal dan haram, dengan firman-Nya :
 
اِتَّخَذُوْآ اَحْبَارَهُمْ وَ رُهْبَانَهُمْ اَرْبَابًا مّنْ دُوْنِ اللهِ وَ اْلمَسِيْحَ بْنَ مَرْيَمَ وَ مَآ اُمِرُوْآ اِلاَّ لِيَعْبُدُوْآ اِلَهًا وَّاحِدًا لاَ اِلهَ اِلاَّ هُوَ، سُبْحَانَه عَمَّا يُشْرِكُوْنَ. التوبة: 31
 
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan juga mereka mempertuhankan Al-Masih putra Maryam. Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. [QS. At-Taubah : 31]
Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang kepada Rasulullah SAW, setelah dia mendengar ayat tersebut kemudian ia berkata, Ya Rasulullah, dan pendeta itu. Maka Nabi SAW bersabda :
 
بَلَى اِنَّهُمْ حَرَّمُوْا عَلَيْهِمُ اْلحَلاَلَ وَ اَحَلُّوا اْلحَرَامَ فَاتَّبَعُوْهُمْ؟ فَذلِكَ عِبَادَتُهُمْ اِيَّاهُمْ. احمد  الترمذى و ابن جرير
 
Betul. Tetapi mereka orang-orang alim dan para rahib itu telah menetapkn haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya ? Demikian itulah penyembahannya kepada mereka. [HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir, Tafsir Al-Maraghi juz 10, hal. 102]
Memang mereka (ahli kitab) itu tidak menyembah mereka (orang alim dan rahib-rahib), tetapi apabila mereka itu menghalalkan sesuatu, merekapun ikut menghalalkan juga. Dan apabila orang alim dan rahib itu mengharamkan sesuatu, mereka pun ikut mengharamkan juga.
Al-Quran telah mengecap juga kepada orang-orang musyrik yang berani mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah sebagai berikut :
 
قُلْ اَرَءَيْتُمْ مَّآ اَنْزَلَ اللهُ لَكُمْ مّنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مّنْهُ حَرَامًا وَّ حَللاً، قُلْ آ للهُ اَذِنَ لَكُمْ اَمْ عَلَى اللهِ تَفْتَرُوْنَ. يونس: 59
 
Katakanlah, Terangkanlah kepadaku tentang rezqi yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah,Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah ?. [QS. Yuunus : 59]
Dan firman Allah juga :
 
وَ لاَ تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ اْلكَذِبَ هذَا حَللٌ وَ هذَا حَرَامٌ لّتَفْتَرُوْا عَلَى اللهِ اْلكَذِبَ. اِنَّ الَّذِيْنَ يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللهِ اْلكَذِبَ لاَ يُفْلِحُوْنَ. النحل: 116
 
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, Ini halal dan ini haram. Untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang egada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. [QS. An-Nahl : 116]
Dari beberapa ayat dan hadits tersebut di atas, kita mengetahui bahwa hanya Allah lah yang berhaq menentukan halal dan haram, baik dalam kitab-Nya (Al-Quran) ataupun melalui lidah Rasul-Nya (Sunnah). Tugas kita tidak lebih hanya sekedar menerangkan hukum yang telah ditetapkan Allah tentang halal dan haram itu,
Jadi, tentang urusan keduniaan asalnya adalah boleh kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Adapun tentang ibadah, asalnya adalah dilarang, kecuali jika ada perintah atau tuntunannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar