Salam

Salam

Senin, 16 Desember 2013

Halal Haram Dalam Islam (ke-4)

Sesuatu yang haram berlaku untuk semua orang
Haram dalam syariat Islam berlaku untuk semua orang. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang diharamkan untuk selain orang Arab (ajam) tetapi halal untuk orang Arab. Tidak ada sesuatu yang dilarang untuk orang kulit hitam, tetapi halal buat orang kulit putih. Tidak ada sesuatu perlakuan khusus yang diberikan kepada suatu tingkatan atau suatu golongan manusia, yang dengannya mereka bisa berbuat jahat yang dikendalikan oleh hawa nafsunya. Bahkan tidak seorang muslim pun yang mempunyai keistimewaan khusus yang dapat menetapkan sesuatu hukum haram itu untuk orang lain, tetapi halal buat dirinya sendiri.
Sekali-kali tidak ! Allah adalah Tuhannya semua orang, syari'at-Nya pun untuk semua orang. Setiap yang dihalalkan Allah dengan ketetapan undang-undang-Nya, berarti halal untuk segenap ummat manusia. Dan apasaja yang diharamkan, haram juga untuk seluruh manusia. Hal ini berlaku sampai hari qiyamat. Misalnya; mencuri, hukumnya adalah haram, baik se pelakunya itu seorang muslim ataupun bukan orang Islam, baik yang dicuri itu milik orang Islam ataupun milik orang lain. Hukumnya pun berlaku untuk setiap pencuri, betapapun keturunan dan kedudukannya. Demikianlah yang dilakukan Rasulullah SAW dan yang dikumandangkannya.
Pernah terjadi suatu peristiwa, seorang wanita bangsawan suku Makhzum mencuri, sehingga dikenai hukuman potong tangan. Kemudian keluarganya menemui Usamah bin Zaid kecintaan Rasulullah SAW supaya memohon kepada Rasulullah SAW agar beliau SAW membebaskan wanita pencuri itu dari hukuman potong tangan. Setelah Usamah menyampaikan hal itu kepada beliau, maka dengan marah beliau bersabda :
اَتَشْفَعُ فِيْ حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ اللهِ؟ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ فَقَالَ: اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّمَا اَهْلَكَ الَّذِيْنَ قَبْلَكُمْ اَنَّهُمْ كَانُوْا اِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ، وَ اِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الضَّعِيْفُ اَقَامُوْا عَلَيْهِ اْلحَدَّ. وَ اَيْمُ اللهِ ! لَوْ اَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا. البخارى و مسلم
"Apakah kamu hendak memintakan pembebasan dari hukum Allah ?". Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah, maka sabdanya : "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian, bahwa mereka apabila ada orang yang mencuri dari kalangan bangsawan, mereka tidak menghukumnya. Sedangkan jika yang mencuri itu kaum bawahan, lalu hukum ditegakkan. Demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, tentu aku potong tangannya". [HR. Bukhari dan Muslim, dan lafadh ini bagi Muslim, juz 3, hal. 1315]
Dan juga pernah terjadi suatu peristiwa pencurian yang dilakukan oleh seorang Islam. Tetapi pada waktu itu belum jelas pencurinya, apakah orang Yahudi ataukah orang Muslim. Kemudian salah satu keluarganya yang Islam melepaskan tuduhan kepada seorang Yahudi dengan beberapa data yang dibuatnya dan berusaha untuk mengelakkan tuduhan terhadap keluarganya yang beragama Islam itu, padahal dialah pencurinya. Dan dia bermaksud untuk mengadukan hal tersebut kepada Nabi SAW dengan suatu keyakinan, bahwa dia akan dapat bebas dari segala tuduhan dan hukuman. Maka waktu itu turunlah ayat yang menyingkap kejahatan ini dan membebaskan orang Yahudi tersebut dari segala tuduhan. Dan Rasulullah SAW mencela orang Islam tersebut dan menjatuhkan hukuman kepada pelakunya. Wahyu Allah tersebut sebagai berikut :
اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ اْلكِتبَ بِاْلحَقّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآ اَرـكَ اللهُ، وَ لاَ تَكُنْ لِلْخَآئِنِيْنَ خَصِيْمًا. وَ اسْتَغْفِرِ اللهَ، اِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا. وَ لاَ تُجَادِلْ عَنِ الَّذِيْنَ يَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَهُمْ، اِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا اَثِيْمًا. يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ النَّاسِ وَ لاَ يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ اللهِ وَ هُوَ مَعَهُمْ اِذْ يُـبَـيّـتُوْنَ مَا لاَ يَرْضى مِنَ اْلقَوْلِ وَ كَانَ اللهُ بِمَا يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطًا. هاَنـْتُمْ هؤُلآَءِ جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِى اْلحَيوةِ الدُّنْيَا، فَمَنْ يُجَادِلُ اللهَ عَنْهُمْ يَوْمَ اْلقِيمَةِ اَمْ مَنْ يَّكُوْنُ عَلَيْهِمْ وَكِيْلاً. النسآء:105-109
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu Kitab dengan benar, supaya kamu menghukum diantara manusia dengan (faham) yang Allah beritahukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi pembela orang-orang yang khianat. Dan minta ampunlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu membela orang-orang yang mengkhianati dirinya itu, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang berkhianat dan berbuat dosa. Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi tidak bersembunyi dari Allah, padahal Dia selalu bersama mereka ketika mereka mengatur siasatnya itu di waktu malam, yaitu sesuatu yang tidak diridlai dari perkataan itu, dan Allah Maha Meliputi semua apa yang mereka perbuat. Beginilah kamu ! Kamu ini adalah orang-orang yang membela mereka di dalam kehidupan dunia ini, maka siapakah yang akan membela mereka dari hukuman Allah kelak di hari qiyamat ? Atau siapakah yang akan melindungi mereka (terhadap siksa Allah ?". [An-Nisaa' : 105-109]
Ayat-ayat diatas diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu'mah dan ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu adalah orang Yahudi. Hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada Nabi SAW dan mereka meminta agar Nabi SAW membela Thu'mah dan menghukum orang Yahudi, kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah. Nabi SAW sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap si Yahudi.
Demikianlah bahwa agama Allah itu pada hakekatnya tidak membeda-bedakan antara suatu kaum terhadap kaum lain dan melarang berbuat khianat melalui lidah setiap Rasul-Nya.
Namun sebagian orang-orang Yahudi berdusta atas nama Allah dengan menganggap bahwa riba itu hanya haram untuk orang Yahudi jika berhutang kepada sesama Yahudi. Tetapi jika berhutang kepada selain Yahudi tudaklah terlarang.
Sifat mereka yang seperti itu diceritakan juga oleh Al-Qur'an, dimana mereka membolehkan berbuat khianat terhadap orang lain, dan hal semacam itu menurut pandangan mereka tidak salah dan tidak berdosa. Al-Qur'an mengatakan :
وَ مِنْ اَهْلِ اْلكِتبِ مَنْ اِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ يُّؤَدّه اِلَيْكَ وَ مِنْهُمْ مَّنْ اِنْ تَأْمَنْهُ بِدِيْنَارٍ لاَّ يُؤَدّه اِلَيْكَ اِلاَّ مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا، ذلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْا لَيْسَ عَلَيْنَا فِى اْلاُمّـيّنَ سَبِيْلٌ، وَ يَقُوْلُوْنَ عَلَى اللهِ اْلكَذِبَ وَ هُمْ يَعْلَمُوْنَ. ال عمران:75
Diantara Ahli Kitab ada orang yang apabila kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu, dan diantara mereka ada yang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan : "Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi". Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. [Ali Imran : 75]
10. Keadaan terpaksa membolehkan yang terlarang.
Islam mempersempit daerah haram. Kendatipun demikian soal haram itu diperkeras dan tertutup semua jalan yang mungkin akan membawa kepada yang haram itu, baik dengan  terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi. Maka setiap yang akan membawa kepada haram, hukumnya haram, dan yang membantu untuk berbuat haram, hukumnya juga haram, dan setiap siasat untuk berbuat haram, hukumnya haram. Begitulah seterusnya seperti yang telah kami sebutkan terdahulu dalam penjelasan tentang hal ini.
Akan tetapi Islam tidak lupa terhadap kepentingan hidup manusia serta kelemahan manusia dalam menghadapi kepentingannya itu. Oleh karena itu seorang muslim dalam keadaan yang sangat terpaksa diperkenankan terhadap yang haram karena dorongan keadaan dan sekedar menjaga diri dari kebinasaan.
Oleh karena itu Allah mengatakan, sesudah menyebut satu persatu makanan yang diharamkan, seperti : bangkai, darah dan babi :
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّ لاَ عَادٍ فَلاَ اِثْمَ عَلَيْهِ، اِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. البقرة:173
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-Baqarah 173]
Yang semakna dengan ini diulang dalam empat surat ketika menyebut masalah makanan-makanan yang haram.
Dari ayat-ayat ini dan nash-nash lainnya, para ahli fiqih menetapkan suatu prinsip yang sangat berharga sekali, yaitu : "Keadaan terpaksa membolehkan yang terlarang".
Tetapi ayat-ayat itupun tetap memberikan suatu pembatas terhadap si pelakunya (orang yang disebut dalam keadaan terpaksa) itu, yaitu dengan kata-kata Ghaira baaghin walaa 'aadin (tidak ingin dan tidak melewati batas).
Ini dapat ditafsirkan, bahwa pengertian tidak sengaja itu, maksudnya : tidak sengaja untuk mencari kelezatan. Dan perkataan tidak melewati batas itu maksudnya :tidak melewati batas ketentuan hukum.
Dari ikatan ini, para ulama ahli fiqih menetapkan suatu prinsip lain pula, yaitu : (Dlarurat itu dikira-kirakan menurut ukurannya). Oleh karena itu, setiap manusia sekalipun dia boleh tunduk kepada keadaan dlarurat, tetapi dia tidak boleh menyerah begitu saja kepada keadaan tersebut dan tidak boleh menjatuhkan dirinya kepada keadaan dharurat itu. Tetapi dia harus tetap mengikatkan diri kepada pangkal halal dengan terus berusaha mencarinya. Sehingga dengan demikian dia tidak akan tersentuh dengan yang haram atau mempermudah dharurat.
Islam, dengan memberikan perkenan untuk melakukan yang dilarang ketika dlarurat itu, hanyalah merupakan penyaluran jiwa keuniversalan Islam itu, dan kaidah-kaidahnya yang bersifat menyeluruh. Dan ini adalah merupakan jiwa kemudahan Islam yang tidak dicampuri oleh kesukaran seperti cara yang dilakukan oleh ummat-ummat dahulu.
Oleh karena itu benarlah apa yang dikatakan Allah dalam firman-Nya :
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ اْليُسْرَ وَ لاَ يُرِيْدُ بِكُمُ اْلعُسْرَ. البقرة:185
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [Al-Baqarah : 185]
مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مّنْ حَرَجٍ وَّ لكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهّرَكُمْ وَلِـيُـتِمَّ نِعْمَتَه عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ. المائدة:6
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu  dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
يُرِيْدُ اللهُ اَنْ يُّخَفّفَ عَنْكُمْ وَ خُلِقَ اْلاِنْسَانُ ضَعِيْفًا. النسآء:28
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [An-Nisaa' : 28]
11. Keadaan dlarurat dan pengecualiannya.
Friman Allah :
وَ قَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ اِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ. الانعام:119
Dan Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmu. [Al-An'aam : 119]
Dan di ayat lain, setelah Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah dan sebagainya kemudian diikutinya dengan mengatakan : "Barangsiapa terpaksa sedang ia tidak menginginkannya dan tidak melewati batas, maka tidak ada dosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Al-Baqarah : 173]
Dlarurat yang sudah disepakati oleh semua ulama yaitu dlarurat dalam masalah makanan, karena ditahan oleh kelaparan. Jadi seorang yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang diharamkan itu. Waktu itu dia boleh makan sekedarnya sesuai dengan dorongan dlarurat itu dan guna menjaga diri dari bahaya.
Perkataan Ghaira baaghin maksudnya : Tidak mencari-cari alasan karena untuk memenuhi keinginan (seleranya). Sedang yang dimaksud dengan walaa 'aadin, yaitu seperti yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya dengan tegas :
فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ ِلاِثْمٍ فَاِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. المائدة:3
Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-Maidah : 3]
12 Perseorangan tidak boleh dianggap dlarurat kalau dia berada dalam masyarakat yang di situ ada sesuatu yang dapat mengatasi keterpak-saannya itu.
Tidak termasuk dlarurat karena seseorang tidak mempunyai makanan, bahkan tidak termasuk dlarurat yang membolehkan seseorang makan makanan yang haram, apabila di masyarakat itu ada orang, muslim yang masih mempunyai makanan yang kiranya dapat untuk mengatasi keterpaksaannya itu. Karena prinsip masyarakat Islam adalah harus ada perasaan saling bertanggung-jawab dan saling bantu-membantu dan bersatu padu bagaikan satu tubuh atau bangunan yang satu sama lain saling kuat-menguatkan.
Salah satu hasil tinjauan yang sangat bernilai oleh para ahli fiqih Islam terhadap masalah solidaritas sosial, yaitu seperti yang pernah dikatakan oleh Ibnu Hazm : "Bahwa tidak halal bagi seorang muslim yang dalam keadaan terpaksa untuk makan bangkai atau babi, sedangkan dia masih bisa mendapatkan makanan dari kelebihan kawannya yang muslim ataupun kafir dzimmi. Karena suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang mempunyai makanan, yaitu memberikan makanan tersebut kepada saudaranya yang sedang kelaparan.
Jika betul keadaannya demikian, dia tidak dapat dikategorikan terpaksa yang boleh makan bangkai dan babi. Dan apabila orang yang punya itu tidak mau menolongnya, maka dia boleh memerangi dalam keadaan seperti itu. Jika dia terbunuh dalam persengketaan itu, si pembunuhnya dikenakan hukuman qishash, dan jika yang menahan hartanya sampai terbunuh, maka dia akan mendapatkan laknat dari Allah, karena dia menahan hak orang lain. Dia akan dapat digolongkan sebagai bughat (orang-orang yang dhalim). Seperti firman Allah :
فَاِنْ بَغَتْ اِحْدـهُمَا عَلَى اْلاُخْرى فَقَاتِلُوا الَّتِى تَبْغِى حَتّى تَفِيْءَ اِلى اَمْرِ اللهِ.
Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga kembali kepada perintah Allah. [Al-Hujurat : 9]
Orang yang menentang suatu perbuatan baik adalah orang yang berbuat jahat kepada saudaranya yang mempunyai hak. Oleh karena itu Abu Bakar Ash-Shiddiq memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. [Al-Muhalla, Ibnu Hazm juz 6, hal 159]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar