Sesuatu yang haram berlaku untuk semua orang
Haram dalam syariat Islam berlaku untuk semua orang. Oleh karena itu tidak ada
sesuatu yang diharamkan untuk selain orang Arab (ajam) tetapi halal
untuk orang Arab. Tidak ada sesuatu yang dilarang untuk orang kulit
hitam, tetapi halal buat orang kulit putih. Tidak ada sesuatu perlakuan
khusus yang diberikan kepada suatu tingkatan atau suatu golongan
manusia, yang dengannya mereka bisa berbuat jahat yang dikendalikan oleh
hawa nafsunya. Bahkan tidak seorang muslim pun yang mempunyai
keistimewaan khusus yang dapat menetapkan sesuatu hukum haram itu untuk
orang lain, tetapi halal buat dirinya sendiri.
Sekali-kali
tidak ! Allah adalah Tuhannya semua orang, syari'at-Nya pun untuk semua
orang. Setiap yang dihalalkan Allah dengan ketetapan undang-undang-Nya,
berarti halal untuk segenap ummat manusia. Dan apasaja yang diharamkan,
haram juga untuk seluruh manusia. Hal ini
berlaku sampai hari qiyamat. Misalnya; mencuri, hukumnya adalah haram,
baik se pelakunya itu seorang muslim ataupun bukan orang Islam, baik
yang dicuri itu milik orang Islam ataupun milik orang lain. Hukumnya pun
berlaku untuk setiap pencuri, betapapun keturunan dan kedudukannya.
Demikianlah yang dilakukan Rasulullah SAW dan yang dikumandangkannya.
Pernah
terjadi suatu peristiwa, seorang wanita bangsawan suku Makhzum mencuri,
sehingga dikenai hukuman potong tangan. Kemudian keluarganya menemui
Usamah bin Zaid kecintaan Rasulullah SAW supaya memohon kepada Rasulullah SAW agar
beliau SAW membebaskan wanita pencuri itu dari hukuman potong tangan.
Setelah Usamah menyampaikan hal itu kepada beliau, maka dengan marah
beliau bersabda :
اَتَشْفَعُ
فِيْ حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ اللهِ؟ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ فَقَالَ:
اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّمَا اَهْلَكَ الَّذِيْنَ قَبْلَكُمْ اَنَّهُمْ
كَانُوْا اِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ، وَ اِذَا سَرَقَ
فِيْهِمُ الضَّعِيْفُ اَقَامُوْا عَلَيْهِ اْلحَدَّ. وَ اَيْمُ اللهِ !
لَوْ اَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا.
البخارى و مسلم
"Apakah
kamu hendak memintakan pembebasan dari hukum Allah ?". Kemudian beliau
berdiri dan berkhutbah, maka sabdanya : "Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian, bahwa mereka
apabila ada orang yang mencuri dari kalangan bangsawan, mereka tidak
menghukumnya. Sedangkan jika yang mencuri itu kaum bawahan, lalu hukum ditegakkan. Demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, tentu aku potong tangannya". [HR. Bukhari dan Muslim, dan lafadh ini bagi Muslim, juz 3, hal. 1315]
Dan juga
pernah terjadi suatu peristiwa pencurian yang dilakukan oleh seorang
Islam. Tetapi pada waktu itu belum jelas pencurinya, apakah orang Yahudi
ataukah orang Muslim. Kemudian salah satu keluarganya yang Islam
melepaskan tuduhan kepada seorang Yahudi dengan beberapa data
yang dibuatnya dan berusaha untuk mengelakkan tuduhan terhadap
keluarganya yang beragama Islam itu, padahal dialah pencurinya. Dan dia
bermaksud untuk mengadukan hal tersebut kepada Nabi SAW dengan suatu
keyakinan, bahwa dia akan dapat bebas dari segala tuduhan dan hukuman.
Maka waktu itu turunlah ayat yang menyingkap kejahatan ini dan
membebaskan orang Yahudi tersebut dari segala tuduhan. Dan Rasulullah
SAW mencela orang Islam tersebut dan menjatuhkan hukuman kepada
pelakunya. Wahyu Allah tersebut sebagai berikut :
اِنَّآ
اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ اْلكِتبَ بِاْلحَقّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ
بِمَآ اَرـكَ اللهُ، وَ لاَ تَكُنْ لِلْخَآئِنِيْنَ خَصِيْمًا. وَ
اسْتَغْفِرِ اللهَ، اِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا. وَ لاَ
تُجَادِلْ عَنِ الَّذِيْنَ يَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَهُمْ، اِنَّ اللهَ لاَ
يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا اَثِيْمًا. يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ النَّاسِ وَ
لاَ يَسْتَخْفُوْنَ مِنَ اللهِ وَ هُوَ مَعَهُمْ اِذْ يُـبَـيّـتُوْنَ مَا
لاَ يَرْضى مِنَ اْلقَوْلِ وَ كَانَ اللهُ بِمَا يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطًا.
هاَنـْتُمْ هؤُلآَءِ جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِى اْلحَيوةِ الدُّنْيَا،
فَمَنْ يُجَادِلُ اللهَ عَنْهُمْ يَوْمَ اْلقِيمَةِ اَمْ مَنْ يَّكُوْنُ
عَلَيْهِمْ وَكِيْلاً. النسآء:105-109
Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kepadamu Kitab dengan benar, supaya kamu
menghukum diantara manusia dengan (faham) yang Allah beritahukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi pembela orang-orang yang khianat.
Dan minta ampunlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu membela orang-orang
yang mengkhianati dirinya itu, karena sesungguhnya Allah tidak suka
kepada orang-orang yang berkhianat dan berbuat dosa. Mereka bersembunyi
dari manusia, tetapi tidak bersembunyi dari Allah, padahal Dia selalu
bersama mereka ketika mereka mengatur siasatnya itu di waktu malam,
yaitu sesuatu yang tidak diridlai dari perkataan itu, dan Allah Maha
Meliputi semua apa yang mereka perbuat. Beginilah kamu ! Kamu ini adalah
orang-orang yang membela mereka di dalam kehidupan dunia ini, maka
siapakah yang akan membela mereka dari hukuman Allah kelak di hari
qiyamat ? Atau siapakah yang akan melindungi mereka (terhadap siksa
Allah ?". [An-Nisaa' : 105-109]
Ayat-ayat
diatas diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu'mah
dan ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah
tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang
itu adalah orang Yahudi. Hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu'mah
kepada Nabi SAW dan mereka meminta agar Nabi SAW membela Thu'mah dan
menghukum orang Yahudi, kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang
itu ialah Thu'mah. Nabi SAW sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan
Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap si Yahudi.
Demikianlah bahwa agama Allah itu pada hakekatnya tidak membeda-bedakan antara suatu kaum terhadap kaum lain dan melarang berbuat khianat melalui lidah setiap Rasul-Nya.
Namun
sebagian orang-orang Yahudi berdusta atas nama Allah dengan menganggap
bahwa riba itu hanya haram untuk orang Yahudi jika berhutang kepada
sesama Yahudi. Tetapi jika berhutang kepada selain Yahudi tudaklah
terlarang.
Sifat
mereka yang seperti itu diceritakan juga oleh Al-Qur'an, dimana mereka
membolehkan berbuat khianat terhadap orang lain, dan hal semacam itu
menurut pandangan mereka tidak salah dan tidak berdosa. Al-Qur'an
mengatakan :
وَ
مِنْ اَهْلِ اْلكِتبِ مَنْ اِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ يُّؤَدّه اِلَيْكَ
وَ مِنْهُمْ مَّنْ اِنْ تَأْمَنْهُ بِدِيْنَارٍ لاَّ يُؤَدّه اِلَيْكَ
اِلاَّ مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا، ذلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْا لَيْسَ
عَلَيْنَا فِى اْلاُمّـيّنَ سَبِيْلٌ، وَ يَقُوْلُوْنَ عَلَى اللهِ
اْلكَذِبَ وَ هُمْ يَعْلَمُوْنَ. ال عمران:75
Diantara
Ahli Kitab ada orang yang apabila kamu mempercayakan kepadanya harta
yang banyak, dikembalikannya kepadamu, dan diantara mereka ada yang yang
jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya
kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran
mereka mengatakan : "Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang
ummi". Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. [Ali Imran : 75]
10. Keadaan terpaksa membolehkan yang terlarang.
Islam
mempersempit daerah haram. Kendatipun demikian soal haram itu diperkeras
dan tertutup semua jalan yang mungkin akan membawa kepada yang haram
itu, baik dengan terang-terangan maupun dengan sembunyi-sembunyi. Maka
setiap yang akan membawa kepada haram, hukumnya haram, dan yang membantu
untuk berbuat haram, hukumnya juga haram, dan setiap siasat untuk
berbuat haram, hukumnya haram. Begitulah seterusnya seperti yang telah
kami sebutkan terdahulu dalam penjelasan tentang hal ini.
Akan
tetapi Islam tidak lupa terhadap kepentingan hidup manusia serta
kelemahan manusia dalam menghadapi kepentingannya itu. Oleh karena itu
seorang muslim dalam keadaan yang sangat terpaksa diperkenankan terhadap
yang haram karena dorongan keadaan dan sekedar menjaga diri dari
kebinasaan.
Oleh karena itu Allah mengatakan, sesudah menyebut satu persatu makanan yang diharamkan, seperti : bangkai, darah dan babi :
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّ لاَ عَادٍ فَلاَ اِثْمَ عَلَيْهِ، اِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. البقرة:173
Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-Baqarah 173]
Yang semakna dengan ini diulang dalam empat surat ketika menyebut masalah makanan-makanan yang haram.
Dari ayat-ayat ini dan nash-nash lainnya, para ahli fiqih menetapkan suatu prinsip yang sangat berharga sekali, yaitu : "Keadaan terpaksa membolehkan yang terlarang".
Tetapi
ayat-ayat itupun tetap memberikan suatu pembatas terhadap si pelakunya
(orang yang disebut dalam keadaan terpaksa) itu, yaitu dengan kata-kata Ghaira baaghin walaa 'aadin (tidak ingin dan tidak melewati batas).
Ini dapat ditafsirkan, bahwa pengertian tidak sengaja itu, maksudnya : tidak sengaja untuk mencari kelezatan. Dan perkataan tidak melewati batas itu maksudnya :tidak melewati batas ketentuan hukum.
Dari
ikatan ini, para ulama ahli fiqih menetapkan suatu prinsip lain pula,
yaitu : (Dlarurat itu dikira-kirakan menurut ukurannya). Oleh karena
itu, setiap manusia sekalipun dia boleh tunduk kepada keadaan dlarurat,
tetapi dia tidak boleh menyerah begitu saja kepada keadaan tersebut dan
tidak boleh menjatuhkan dirinya kepada keadaan dharurat itu. Tetapi dia
harus tetap mengikatkan diri kepada pangkal halal dengan terus berusaha
mencarinya. Sehingga dengan demikian dia tidak akan tersentuh dengan
yang haram atau mempermudah dharurat.
Islam,
dengan memberikan perkenan untuk melakukan yang dilarang ketika dlarurat
itu, hanyalah merupakan penyaluran jiwa keuniversalan Islam itu, dan
kaidah-kaidahnya yang bersifat menyeluruh. Dan ini adalah merupakan jiwa
kemudahan Islam yang tidak dicampuri oleh kesukaran seperti cara yang
dilakukan oleh ummat-ummat dahulu.
Oleh karena itu benarlah apa yang dikatakan Allah dalam firman-Nya :
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ اْليُسْرَ وَ لاَ يُرِيْدُ بِكُمُ اْلعُسْرَ. البقرة:185
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [Al-Baqarah : 185]
مَا
يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مّنْ حَرَجٍ وَّ لكِنْ يُّرِيْدُ
لِيُطَهّرَكُمْ وَلِـيُـتِمَّ نِعْمَتَه عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُوْنَ. المائدة:6
Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
يُرِيْدُ اللهُ اَنْ يُّخَفّفَ عَنْكُمْ وَ خُلِقَ اْلاِنْسَانُ ضَعِيْفًا. النسآء:28
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [An-Nisaa' : 28]
11. Keadaan dlarurat dan pengecualiannya.
Friman Allah :
وَ قَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ اِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ. الانعام:119
Dan Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmu. [Al-An'aam : 119]
Dan di ayat lain, setelah Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah dan sebagainya kemudian diikutinya dengan mengatakan : "Barangsiapa
terpaksa sedang ia tidak menginginkannya dan tidak melewati batas, maka
tidak ada dosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang". [Al-Baqarah : 173]
Dlarurat
yang sudah disepakati oleh semua ulama yaitu dlarurat dalam masalah
makanan, karena ditahan oleh kelaparan. Jadi seorang yang dalam keadaan
terpaksa sedang dia tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang
diharamkan itu. Waktu itu dia boleh makan sekedarnya sesuai dengan
dorongan dlarurat itu dan guna menjaga diri dari bahaya.
Perkataan Ghaira baaghin maksudnya : Tidak mencari-cari alasan karena untuk memenuhi keinginan (seleranya). Sedang yang dimaksud dengan walaa 'aadin, yaitu seperti yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya dengan tegas :
فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ ِلاِثْمٍ فَاِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. المائدة:3
Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-Maidah : 3]
12 Perseorangan
tidak boleh dianggap dlarurat kalau dia berada dalam masyarakat yang di
situ ada sesuatu yang dapat mengatasi keterpak-saannya itu.
Tidak
termasuk dlarurat karena seseorang tidak mempunyai makanan, bahkan tidak
termasuk dlarurat yang membolehkan seseorang makan makanan yang haram,
apabila di masyarakat itu ada orang, muslim yang masih mempunyai makanan
yang kiranya dapat untuk mengatasi keterpaksaannya itu. Karena prinsip
masyarakat Islam adalah harus ada perasaan saling bertanggung-jawab dan
saling bantu-membantu dan bersatu padu bagaikan satu tubuh atau bangunan
yang satu sama lain saling kuat-menguatkan.
Salah
satu hasil tinjauan yang sangat bernilai oleh para ahli fiqih Islam
terhadap masalah solidaritas sosial, yaitu seperti yang pernah dikatakan
oleh Ibnu Hazm : "Bahwa tidak halal bagi seorang muslim yang dalam
keadaan terpaksa untuk makan bangkai atau babi, sedangkan dia masih bisa
mendapatkan makanan dari kelebihan kawannya yang muslim ataupun kafir
dzimmi. Karena suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang
mempunyai makanan, yaitu memberikan makanan tersebut kepada saudaranya
yang sedang kelaparan.
Jika
betul keadaannya demikian, dia tidak dapat dikategorikan terpaksa yang
boleh makan bangkai dan babi. Dan apabila orang yang punya itu tidak mau
menolongnya, maka dia boleh memerangi dalam keadaan seperti itu. Jika
dia terbunuh dalam persengketaan itu, si pembunuhnya dikenakan hukuman
qishash, dan jika yang menahan hartanya sampai terbunuh, maka dia akan
mendapatkan laknat dari Allah, karena dia menahan hak orang lain. Dia
akan dapat digolongkan sebagai bughat (orang-orang yang dhalim). Seperti
firman Allah :
فَاِنْ بَغَتْ اِحْدـهُمَا عَلَى اْلاُخْرى فَقَاتِلُوا الَّتِى تَبْغِى حَتّى تَفِيْءَ اِلى اَمْرِ اللهِ.
Jika
salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang
lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga kembali
kepada perintah Allah. [Al-Hujurat : 9]
Orang
yang menentang suatu perbuatan baik adalah orang yang berbuat jahat
kepada saudaranya yang mempunyai hak. Oleh karena itu Abu Bakar
Ash-Shiddiq memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat.
[Al-Muhalla, Ibnu Hazm juz 6, hal 159]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar