Apa Saja yang Membawa Kepada yang Haram adalah Haram
Salah satu prinsip yang telah diakui oleh Islam, ialah : Apabila Islam telah mengharamkan sesuatu, maka wasilah dan cara apapun yang dapat membawa kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram.
Oleh
karena itu, jika Islam mengharamkan zina misalnya, maka semua
pendahuluannya dan apasaja yang dapat membawa kepada perbuatan itu,
adalah diharamkan juga. Misalnya, dengan berdua-duaan, pergaulan bebas, foto-foto telanjang dan lain sebagainya.
Dari
sinilah, maka para ulama ahli fiqih membuat suatu kaidah : Apasaja yang
membawa kepada perbuatan haram, maka itu adalah haram.
Kaidah ini
menunjukkan bahwa dosa perbuatan haram tidak hanya terbatas pada
pribadi si pelakunya itu saja, tetapi termasuk semua orang yang
bersekutu/membantu dengan dia, baik melalui harta ataupun sikap.
Masing-masing mendapat dosa sesuai dengan keterlibatannya. Misalnya
tentang arak, Rasulullah SAW melaknat kepada yang meminumnya, yang
membuatnya, yang membawanya, yang diberinya, yang menjualnya dan
seterusnya.
Di dalam hadits disebutkan :
لَعَنَ
النَّبِيُّ ص فِى اْلخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرَهَا وَ مُعْتَصِرَهَا وَ
شَارِبَهَا وَ حَامِلَهَا وَ اْلحَمُوْلَةَ اِلَيْهِ وَ سَاقِيَهَا وَ
بَائِعَهَا وَ آكِلَ ثَمَنِهَا وَ اْلمُشْتَرِيَ لَهَا وَ اْلمُشْتَرَاةَ
لَهَا.
Nabi
SAW melaknat tentang arak, sepuluh golongan : yang memerasnya, yang
minta diperaskannya, yang meminumnya, yang membawanya, yang minta
dihantarinya, yang menuangkannya, yang menjualnya, yang makan harganya,
yang membelinya, yang minta dibelikannya. [HR Tirmidzi dan Ibnu Majah]
Begitu juga dalam soal riba, dilaknat orang yang memakannya, yang memberikannya, penulisnya dan saksi-saksinya.
عَنْ
جَابِرٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ص آكِلَ الرِّبَا، وَ مُوْكِلَهُ وَ
كَاتِبَهُ وَ شَاهِدَيْهِ وَ قَالَ: هُمْ سَوَآءٌ. مسلم
Dari
Jabir, ia berkata : Rasulullah SAW telah melaknat orang yang makan riba,
yang memberi makannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau bersabda
: "Mereka itu sama". [HR. Muslim]
Begitulah,
maka semua yang dapat membantu kepada perbuatan haram, hukumnya adalah
haram juga. Dan semua orang yang membantu kepada orang yang berbuat
haram, maka dia akan terlibat dalam dosanya juga.
6. Bersiasat Terhadap yang Haram Hukumnya adalah Haram.
Sebagaimana
Islam telah mengharamkan seluruh perbuatan yang dapat membawa kepada
haram dengan cara-cara yang nampak, maka begitu juga Islam mengharamkan
semua siasat untuk berbuat haram dengan cara-cara yang tidak jelas
(tidak nampak).
Rasulullah
SAW pernah mencela orang-orang Yahudi yang membuat suatu siasat untuk
menghalalkan perbuatan yang dilarang (haram). Maka sabda beliau :
لاَ
تَرْتَكِبُوْا مَا ارْتَكَبَ اْليَهُوْدُ وَ تَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ
اللهِ بِاَدْنَى اْلحِيَلِ. ابو عبد الله بن بطة باسناد جيد يصحح مثله
الترمذى
Janganlah
kamu berbuat seperti perbuatan Yahudi, dan jangan kamu menganggap halal
terhadap larangan-larangan Allah walaupun dengan siasat yang paling
kecil. [HR. Abu Abdillah bin Baththah dengan sanad yang baik, Tirmidzi menshahihkannya seperti itu, Ighaatsatul lahfan I : 348]
Salah
satu contoh, misalnya, orang-orang Yahudi dilarang mencari ikan di hari
Sabtu, kemudian mereka bersiasat untuk melanggar larangan ini dengan
memasang perangkap pada hari Jum'at supaya hari Sabtunya ikan-ikan bisa
masuk dalam perangkap tersebut, dan akan diambilnya nanti pada hari
Ahad.
Cara
seperti ini dipandang halal oleh orang-orang yang memang bersiasat untuk
melanggar larangan itu, tetapi sebetulnya adalah suatu perbuatan haram,
karena motifnya sama-sama mencari ikan, baik dengan jalan bersiasat
maupun cara langsung.
Termasuk
siasat (hilah), yaitu menamakan sesuatu yang haram dengan nama lain, dan
merubah bentuk, padahal intinya (bahannya) itu juga.
Oleh
karena itu siapapun yang membuat nama baru dengan niat bersiasat supaya
dapat makan riba, atau dengan niat supaya dapat minum arak, maka dosa
riba dan arak tetap mengenainya.
Untuk itulah maka dalam hadits Nabi SAW disebutkan :
قَالَ النَّبِيُّ ص: يَشْرَبُ نَاسٌ مِنْ اُمَّتِى اْلخَمْرَ يُسَمُّوْنَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا. النسائى 8:312
Nabi SAW telah bersabda : "Diantara manusia dari ummatku akan meminum khamr, dengan menamakannya nama yang lain". [HR. Nasai, juz 8, hal. 312]
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ اُمَّتِى اْلخَمْرَ يُسَمُّوْنَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا. ابن ماجه 2:1333
Rasulullah
SAW telah bersabda : "Sesungguhnya diantara manusia dari ummatku akan
meminum khamr dengan menamakannya nama yang lain". [HR. Ibnu Majah juz 2, hal. 1333]
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ ص: قَاتَلَ اللهُ اْليَهُوْدَ اِنَّ اللهَ لَمَّا حَرَّمَ
عَلَيْهِمْ شُحُوْمَهَا جَمَلُوْهُ ثُمَّ بَاعُوْهُ فَاَكَلُوْا ثَمَنَهُ.
متفق عليه
Rasulullah
SAW telah bersabda : "Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi,
sesungguhnya Allah ketika mengharamkan lemak binatang atas mereka,
mereka itu meleburnya (mencairkannya), kemudian menjualnya dan memakan
harganya (uang hasil penjualan itu)". [HR. Muttafaq 'alaih]
7. Niat Baik Tidak Dapat Melepaskan yang Haram.
Islam
memandang baik terhadap setiap hal yang dapat mendorong untuk berbuat
baik, tujuan yang mulia dan niat yang bagus. Untuk itulah maka Nabi
Muhammad SAW bersabda :
اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَ اِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. البخارى
Sesungguhnya semua amal itu tergantung dengan niat (ikhlash karena Allah), dan setiap orang dinilai menurut niatnya. [HR. Bukhari]
Niat yang baik dapat menggunakan seluruh yang mubah dan adat untuk berbhakti dan taqarrub kepada
Allah. Oleh karena itu siapa yang makan dengan niat untuk menjaga
kelangsungan hidupnya dan menguatkan tubuhnya supaya dapat melaksanakan
kewajibannya untuk berkhidmat kepada Allah dan ummatnya, maka makan dan
minumnya itu dapat dinilai sebagai amal qurbah.
Begitu
juga, barangsiapa yang melepaskan syahwatnya kepada istrinya dengan niat
untuk mendapatkan anak, atau karena menjaga diri dari perbuatan
makshiyat, maka pelepasan syahwat tersebut dapat dinilai sebagai sesuatu
yang berhak mendapat pahala. Untuk itu pula Rasulullah SAW telah
bersabda :
فِى
بِضْعِ اَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. قَالُوْا: اَيَأْتِى اَحَدُنَا شَهْوَتَهُ
يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ يَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا اَجْرٌ؟ قَالَ: اَلَيْسَ اِنْ
وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ؟ فَكَذلِكَ اِذَا وَضَعَهَا
فِى حَلاَلٍ كَانَ لَهُ اَجْرٌ. متفق عليه
"Pada
kemaluan seseorang diantara kamu ada shadaqah". Para shahabat bertanya :
"Apakah seseorang dari kami melepaskan syahwatnya akan mendapatkan
pahala, ya Rasulullah ?". Nabi SAW menjawab : "Bukankah apabila dia
melepaskan pada yang haram, dia juga berdosa ?". Maka begitu pula
apabila dia meletakkannya pada yang halal, maka dia mendapatkan pahala". [HR. Muttafaq 'alaih]
مَنْ
طَلَبَ الدُّنْيَا حَلاَلاً تَعَفُّفًا عَنِ اْلمَسْأَلَةِ وَسَعْيًا
عَلَى عِيَالِهِ وَ تَعَطُّفًا عَلَى جَارِهِ لَقِيَ اللهَ وَ وَجْهُهُ
كَاْلقَمَرِ لَيْلَةَ اْلبَدْرِ. الطبرانى
Barangsiapa
mencari rezqi yang halal dengan niat untuk menjaga diri supaya tidak
meminta-minta, dan berusaha untuk mencukupi keluarganya, serta supaya
dapat ikut berbelas kasih membantu tetangganya, maka kelak dia akan
bertemu Allah (di akhirat) sedang wajahnya bagaikan bulan di malam
purnama. [HR. Thabrani]
Adapun
masalah haram tetap dinilai haram, betapapun baik dan mulianya niat dan
tujuan itu. Bagaimanapun baiknya rencana, selama tidak dibenarkan oleh
Islam, maka selamanya yang haram itu tidak boleh dipakai alat untuk
mencapai tujuan yang terpuji. Sebab Islam selamanya menginginkan tujuan
yang suci dan caranya pun harus suci juga. Jadi setiap tujuan baik,
harus dicapai dengan cara yang baik pula.
Maka
barangsiapa mengumpulkan uang yang diperoleh dengan jalan riba, mencuri
(menjarah/merampok), makshiyat, judi dan sebagainya yang dapat
dikategorikan haram, dengan maksud untuk mendirikan masjid atau untuk
terlaksananya rencana-rencana yang baik lainnya, maka tujuan baiknya
tidak akan menjadi penolong baginya, sehingga dosa haramnya itu dihapus.
Demikianlah seperti apa yang diajarkan kepada kita oleh Rasulullah SAW, sebagaimana sabda beliau :
اِنَّ
اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ اِلاَّ طَيِّبًا. وَ اِنَّ اللهَ اَمَرَ
اْلمُؤْمِنِيْنَ بِمَا اَمَرَ بِهِ اْلمُرْسَلِيْنَ. فَقَالَ: يايُّهَا
الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيّبتِ وَ اعْمَلُوْا صَالِحًا، اِنّى بِمَا
تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ (المؤمنون:51). وَ: يايُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا
كُلُوْا مِنْ طَيّبتِ مَا رَزَقْـنَاكُمْ (البقرة:172). ثُمَّ ذَكَرَ
الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ اَشْعَثَ اَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ اِلَى
السَّمَآءِ يَا رَبُّ، يَا رَبُّ وَ مَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَ مَشْرَبُهُ
حَرَامٌ وَ مَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَ غُذِّيَ بِاْلحَرَامِ فَاَنَّى
يُسْتَجَابُ لِذلِكَ؟ مسلم و الترمذى
Sesungguhnya
Allah itu baik, Dia tidak mau menerima kecuali yang baik pula. Allah
pun memerintahkan kepada orang mukmin seperti halnya memerintahkan
kepada para Rasul. Kemudian Rasulullah SAW membaca ayat (yang artinya) :
"Hai para Rasul, makanlah dari yang baik-baik (halal) dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apasaja yang kamu
perbuat". (Al-Mukminun : 51) dan "Hai orang-orang yang beriman, makanlah
dari barang-barang yang baik yang telah Kami berikan kepadamu".
(Al-Baqarah 172). Kemudian beliau menyebutkan, ada seorang laki-laki
yang datang dari tempat yang jauh, rambutnya tidak terurus, penuh dengan
debu, dia mengangkat kedua tangannya ke langit sambil berdoa (Ya
Tuhanku, Ya Tuhanku), padahal makanannya haram, minumannya haram,
pakaiannya haram dan diberi makan dengan barang yang haram pula, maka
bagaimana mungkin doanya itu dikabulkan ?". [HR. Muslim dan Tirmidzi]
Dan sabdanya pula :
مَنْ
جَمَعَ مَالاً مِنْ حَرَامٍ ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيْهِ
اَجْرٌ وَ كَانَ اِصْرُهُ عَلَيْهِ. ابن خزيمة و ابن حبان و الحاكم
Barangsiapa
mengumpulkan harta dari jalan yang haram kemudian dia sedekahkan harta
itu, sama sekali dia tidak akan beroleh pahala, dan dosanya tetap akan
menimpa dia. [HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim]
Dan sabdanya pula :
لاَ
يَكْسِبُ عَبْدٌ مَالاً حَرَامًا فَيَتَصَدَّقُ بِهِ فَيُقْبَلَ مِنْهُ،
وَ لاَ يُنْفِقُ مِنْهُ فَيُبَارَكَ لَهُ فِيْهِ وَ لاَ يَتْرُكُهُ خَلْفَ
ظَهْرِهِ اِلاَّ كَانَ زَادَهُ اِلَى النَّارِ. اِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ
يَمْحُو السَّيِّءَ بِالسَّيِّئِ وَ لكِنْ يَمْحُو السَّيِّءَ بِاْلحَسَنِ.
اِنَّ اْلخَبِيْثَ لاَ يَمْحُو اْلخَبِيْثَ. احمد و غيره
Tidak
seorang pun yang bekerja untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan haram,
kemudian ia sedekahkan, akan diterima sedekahnya itu, dan tidak pula dia
menginfaqkannya akan memperoleh barakah, dan tidak pula ia tinggalkan
di belakang punggungnya (sesudah ia meninggal), melainkan sebagai
perbekalan ke neraka. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapus kejahatan
dengan kejahatan, tetapi menghapus kejahatan dengan kebaikan.
Sesungguhnya kejelekan tidaklah dapat menghapuskan kejelekan. [HR. Ahmad dan lainnya]
8. Menjauhkan Diri Dari Syubhat Karena Takut Terlibat Dalam Haram
Salah
satu daripada rahmat Allah terhadap manusia, yaitu : Dia tidak
membiarkan manusia dalam kegelapan terhadap masalah halal dan haram,
sehingga yang halal dijelaakan dan yang haram juga dijelaskan.
Firman-Nya :
وَ قَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ. الانعام : 119
Dan sungguh Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia larang atas kamu. [Al-An'aam : 119]
Masalah
halal yang sudah jelas, boleh dikerjakan. Dan soal haram yang sudah
jelas, tidak boleh dikerjakan selama masih dalam keadaan normal, tidak
dalam keadaan dlarurat.
Tetapi di balik itu ada suatu persoalan, yaitu antara yang halal dan yang haram. Persoalan tersebut dikenal dengan nama syubhat, suatu persoalan yang tidak begitu jelas antara halal dan haramnya bagi manusia. Hal ini bisa terjadi, mungkin karena tasyabbuh (samar-samar) dan mungkin karena tidak jelasnya jalan untuk mengetrapkan nash (dalil) yang ada terhadap suatu peristiwa.
Terhadap persoalan ini Islam memberikan suatu garis yang disebut wara' (suatu
sikap berhati-hati karena takut berbuat haram). Dimana dengan sifat itu
seorang muslim menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat,
sehingga dengan demikian dia tidak akan terseret untuk berbuat kepada
yang haram.
Cara semacam ini termasuk menutup jalan berbuat makshiyat. Dasar pokok dari prinsip ini ialah sabda Nabi SAW yang mengatakan :
َاْلحَلاَلُ
بَيِّنٌ وَ اْلحَرَامُ بَيِّنٌ وَ بَيْنَ ذلِكَ اُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ
لاَ يَدْرِى كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ اَمِنَ اْلحَلاَلِ هِيَ اَمِ
اْلحَرَامِ؟ فَمَنْ تَرَكَهَا اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ فَقَدْ
سَلِمَ. وَ مَنْ وَاقَعَ شَيْئًا مِنْهَا يُوْشِكُ اَنْ يُوَاقِعَ
اْلحَرَامَ. كَمَا اَنَّ مَنْ يَرْعَى حَوْلَ اْلحِمَى اَوْشَكَ اَنْ
يُوَاقِعَهُ. اَلاَ وَ اِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، اَلاَ وِ اِنَّ حِمَى
اللهِ مَحَارِمُهُ. البخارى و مسلم و الترمذى و اللفظ له
Yang
halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, diantara keduanya itu
ada beberapa perkara yang belum jelas (syubhat), banyak orang yang tidak
tahu, apakah dia itu masuk bagian yang halal ataukah yang haram. Maka
barangsiapa yang menjauhinya karena hendak membersihkan agama dan
kehormatannya, maka dia akan selamat. Dan barangsiapa mengerjakan
sesuatu daripadanya hampir-hampir ia akan jatuh ke dalam haram,
sebagaimana orang yang menggembala kambing di sekitar daerah larangan,
dia hampir-hampir akan jatuh padanya. Ingatlah, bahwa tiap-tiap raja
mempunyai daerah larangan. Ingatlah bahwa daerah larangan Allah itu
ialah semua yang diharamkan. [HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi, dan ini adalah lafadh Tirmidzi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar