Sanggahan Pihak I Terhadap Alasan yang Dikemukakan Pihak II
A. Hadits
tentang larangan memakan binatang buas yang bertaring dan larangan
memakan burung yang berkuku tajam, kedua-duanya adalah shahih dan kuat
sanadnya karena diriwayatkan oleh Imam Muslim
dan Tirmidzi dengan tidak ada cacatnya. Namun dari segi matannya,
tidaklah dapat dipakai sebagai dasar untuk mengharamkan
binatang-binatang yang bertaring atau berkuku tajam sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits tersebut, karena di dalam firman Allah dengan
tegas memberi batasan bahwa yang diharamkan hanyalah empat macam, bahkan
Nabi SAW sendiri diperintahkan untuk menyatakan :
قُلْ
لآَاَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلى طَاعِمٍ يَّطْعَمُه
اِلآَّ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ
خِنْزِيْرٍ فَاِنَّه رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِه،
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّ لاَ عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ
رَّحِيْمٌ. الانعام:145
Katakanlah
: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan
itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena semua
itu kotor, atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan
terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [QS. Al-An'aam : 145]
Sedang
"Binatang yang bertaring dan berkuku tajam" itu, tidak termasuk dari
yang empat macam. Maka bagaimana mungkin, Nabi SAW yang diperintah untuk
menggariskan suatu ketetapan dari Allah bahwa yang diharamkan itu hanya
empat, kemudian beliau sendiri menambah yang diluar dari keempat macam
diatas ?
Yang demikian ini
sekali-kali tidak mungkin ! Sebab bertentangan dengan pelaksanaan tugas
kenabian dan kerasulan beliau. Lalu bagaimanakah kedudukan hadits
diatas ?
Karena
hadits tersebut shahih/kuat, maka walaupun bertentangan dengan
Al-Qur'an, tetap dapat dipakai, tetapi maksud hadits tersebut dita'wil,
sehingga tidak lagi bertentangan dengan Al-Qur'an. Karena kita yakin
bahwa tidak mungkin Nabi SAW menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan
Al-Qur'an. Maka apabila kelihatannya bertentangan (padahal hadits
tersebut shahih) maka kemungkinannya, yang dimaksud haraamun (haram) atau nahaa (melarang)
dalam hadits-hadits diatas, bukanlah haram menurut syara' yang berdosa
bila dilanggar, tetapi maksudnya ialah haram menurut bahasa yang artinya
"melarang".
Tegasnya, bukanlah larangan yang berhukum haram, tetapi sekedar makruh, yang sebaiknya ditinggalkan, namun bila dikerjakan tidaklah berdosa.
Dengan
demikian, sesuailah kini arti hadits tersebut dengan ayat-ayat Al-Qur'an
diatas, yakni firman-firman Allah di keempat tempat itu yang menyatakan
bahwa yang haram itu hanyalah empat macam, yaitu :
1. bangkai,
2. darah,
3. daging babi, dan
4. sembelihan yang disembelih dengan tujuan yang tidak dituntunkan-Nya, atau tidak dibenarkan oleh Allah.
Adapun selain yang empat macam itu, ada pula yang dimakruhkan yang sebaiknya tidak dimakan, antara lain binatang yang bertaring/berkuku tajam sebagaimana diatas.
B. Demikian pula hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa pada masa perang Khaibar Nabi SAW melarang kaum
muslimin memakan daging himar jinak, ini tidak menunjukkan bahwa daging
himar jinak itu haram, sebab bila demikian berarti bertentangan dengan
firman-firman Allah dan tidak akan terjadi.
Mungkin orang akan bertanya, "Bila tidak haram, mengapa dilarang Nabi ?".
Jawabnya : "Larangan
Nabi SAW untuk tidak menyembelih dan memakan himar jinak itu, berkenaan
dengan situasi perang Khaibar tersebut, yaitu himar jinak itu
diperlukan bagi kepentingan kelancaran pasukan perang kaum muslimin,
maka demi menjaga hal ini, oleh Nabi SAW selaku pimpinan umum,
difatwakan bahwa kaum muslimin dilarang untuk menyembelih dan memakan
himar jinak tsb".
Maka bila ada
orang Islam yang melanggar larangan ini, berarti dia melanggar
kewajiban thaat kepada Nabi/pimpinan dan menyalahi firman Allah :
ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا اَطِيْعُوا اللهَ وَ اَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَ اُولىِ اْلاَمْرِ مِنْكُمْ. النساء:59
Hai orang-orang yang beriman thaatilah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu. [QS. An-Nisaa' : 59]
Sedang daging himar jinak yang dimakannya sesudah adanya larangan Nabi/pimpinannya itu, menjadi haram.
Tegasnya, Haramnya daging himar jinak untuk dimakan pada hadits itu, adalah haram sababiyah (haram karena ada sebab yang menjadikannya haram), yaitu karena melanggar larangan Nabi yang wajib dithaatinya. Jadi bukan haram dzaatiyah,
(dzat/bendanya itu sendiri memang haram), karena himar jinak tidak
termasuk empat macam makanan yang diharamkan oleh Allah diatas, maka
dzatnya halal.
C. Dan
juga hadits riwayat Ahmad yang menyatakan bahwa Nabi SAW melarang
membunuh binatang-binatang : semut, tawon, burung hud-hud dan burung
suradi, inipun tidak menunjukkan tentang haramnya memakan
binatang-binatang tersebut. Karena bila ini diharamkan, maka
bertentangan dengan firman-firman Allah diatas, yang menyatakan bahwa
yang haram itu hanya empat macam, sedang keempat macam binatang yang
tersebut dalam hadits itu tidak termasuk diantara empat macam yang
diharamkan oleh Allah.
Lagi pula
Nabi SAW melarang membunuh binatang-binatang tersebut bukan berarti
haram untuk memakannya, namun yang dimaksud ialah, agar sedapat mungkin
binatang itu dilindungi, agar tidak mengalami kepunahan.
D. Begitu
pula hadits riwayat Muslim yang menerangkan perintah Nabi untuk
membunuh lima macam binatang, dimanapun didapatinya, yaitu : ular, gagak
yang ada warna putih di punggung dan dadanya, tikus, anjing galak dan
burung elang. Hadits ini pun tidak menyatakan bahwa kelima macam
binatang tersebut haram. Dan sebabnya adalah karena besarnya kemungkinan
bahaya dan madlarat yang ditimbulkan olehnya bagi kehidupan manusia,
baik yang telah diketahui maupun yang belum diketahui.
Jelasnya,
seluruh hadits-hadits yang bersangkutan dengan masalah haramnya makanan
itu, sama sekali tidak bermakna bahwa apa yang disebutkan dalam
hadits-hadits itu hukumnya haram, sebagaimana haram dalam nash
Al-Qur'an.
Bila ada hadits yang menyatakan haraam atau nahaa (melarang)
ini mengandung arti makruh atau haram (karena sebab), dan setelah sebab
yang menjadikan haramnya itu hilang, maka makanan itu kembali halal.
E. Demikian
pula pengertian hadits yang menjelaskan bahwa Nabi SAW melarang ummat
Islam membunuh katak, setelah mengetahui katak itu dapat dipakai sebagai
salah satu ramuan obat, ini tidak berarti bahwa dzat katak haram,
tetapi harus diartikan bahwa karena katak itu dapat dipergunakan sebagai
obat, maka Nabi SAW melarang membunuhnya, sebab dikhawatirkan
kepunahannya.
F. Sedang pengertian khabaits (kotor)
dalam ayat 157 surat Al-A'raaf itu, menjelaskan secara garis besar akan
keadaan makanan yang telah diharamkan oleh Allah di keempat tempat itu.
Yakni,
bahwa bangkai, darah, daging babi dan apa-apa yang disembelih untuk
selain Allah itu adalah diharamkan oleh Allah bagi ummat Islam untuk
memakannya, karena barang-barang itu adalah khobaits/keji dan
menjijikkan.
Jadi
bukan kotor/keji menurut selera manusia, yang masing-masingnya berbeda
sesuai dengan alam lingkungan kehidupannya. Karena bila diserahkan
kepada manusia, maka hilanglah sifat universal (cocok dipakai oleh
siapapun, kapanpun, dan dimanapun), dari hukum-hukum Islam, sebab banyak
daerah yang berbeda pendapatnya mengenai apa-apa yang dianggap
keji/kotor tersebut, maka akan kaburlah pengertiannya, sebab makanan
yang sama oleh satu daerah dianggap keji/kotor, kerenanya mereka tentu
akan menghukumkan haram atasnya. Sedangkan oleh suatu daerah yang lain,
makanan itu tidak dianggap keji/kotor, maka hukumnya halal bagi mereka.
Sehingga makanan yang satu itu mempunyai dua hukum yang bertentangan, yaitu : ya ... halal, ya ... haram.
Mungkinkah
yang demikian itu ? Jelas tidak akan mungkin. Dan jika terjadi yang
demikian itu menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan oleh Allah bagi
ummat Islam adalah tidak terang dan kabur pengertiannya, padahal Allah
sendiri dengan tegas dan tandas telah menyatakan bahwa apa-apa yang
diharamkan-Nya itu sungguh telah diperinci dan dijelaskan
seterang-terangnya, sebagaimana firman Allah di surat Al-An'aam ayat 119
:
... وَ قَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ اِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ اِلَيْهِ. الانعام:119
.... dan sungguh Allah telah menjelaskan kepada kamu apa-apa yang diharamkan-Nya atas kamu kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. [QS Al-An'aam :119]
Dan hadits Rasulullah SAW, yang artinya :
Yang
halal itu adalah apa-apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya dan yang
haram itu adalah apa-apa yang Allah haramkan di dalam kitab-Nya. [HR. Hakim dan Al-Bazzar], dan sabda beliau SAW yang artinya :
Yang halal itu sudah terang, dan yang haram itu sudah terang. [HR. Muttafaq 'alaih dan Tirmidzi]
sebagaimana yang telah kami sebutkan terdahulu.
Adapun
hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari Ibnu 'Umar tentang landak,
selain lemah dan bertentangan dengan ayat-ayat di muka, juga matan
hadits tersebut tidak terang menunjukkan bahwa landak itu haram dengan
sebab termasuk khabaits, karena Nabi pun di lain haditsnya menjelaskan bahwa bawang putih dan bawang merah itu pun khabaits, padahal keduanya itu halal.
Demikianlah
tentang makanan yang haram, pendapat para ulama dan dasar-dasar beliau,
kami kemukakan untuk menjadi bahan kajian bagi kita bersama dalam
mencari kebenaran, maka keputusan tentang pendapat mana yang dianggap
kuat dan hendak diikuti, kami serahkan sepenuhnya kepada saudara
masing-masing.
Yang
terang dalam kita melaksanakan suatu amal ataupun memegangi sesuatu
hukum harus berdasarkan dalil yang ada dan yang kuat, bukan hanya
sekedar mengikut pendapat seseorang yang tanpa dasar. Karena setiap
segala sesuatunya dihadapan Allah nanti, kita akan dimintai
pertanggungjawaban atas amal yang kita perbuat.
TENTANG SEMBELIHAN SECARA ISLAM
Sembelihan
yang dituntunkan oleh agama Islam dan yang telah dipraktekkan oleh Nabi
SAW maupun shahabatnya dan ummat Islam antara lain dapat diterangkan
dalil-dalilnya sebagai berikut :
1. Tempat dari anggota binatang yang disembelih ialah leher.
قَالَ
اَبُوْ هُرَيْرَةَ: بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ ص بُدَيْلَ بْنَ وَرْقَاءَ
اْلخُزَاعِيَّ عَلَى جَمَلٍ اَوْرَقَ يَصِيْحُ فِى فُجَاجِ مِنًى اَلاَ
اِنَّ الذَّكَاةَ فِى اْلحَلْقِ وَ اللَّبَّةِ. الدارقطنى
Telah
berkata Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW pernah mengutus Budail bin
Warqa' Al-Khuza'i dengan naik onta abu-abu supaya berteriak di
jalan-jalan Mina (dengan berkata) : "Ketahuilah bahwa sembelihan itu
tempatnya di kerongkongan dan leher". [HR. Daruquthni]
قَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ وَ اَبُوْ هُرَيْرَةَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ ص عَنْ
شَرِيْطَةِ الشَّيْطَانِ وَ هِيَ الَّتِى تُذْبَحُ فَيُقْطَعُ اْلجِلْدُ وَ
لاَ تُفْرَى اْلاَوْدَاجُ. ابو داود
Ibnu
'Abbas dan Abu Hurairah telah berkata, "Rasulullah SAW telah melarang
Syarithatusy-Syaithan, yaitu (sembelihan) yang disembelih (cuma) putus
kulitnya, dan tidak putus urat lehernya". [HR. Abu Dawud]
2. Alat yang boleh untuk menyembelih.
Alat yang
boleh untuk menyembelih ialah pisau dan apasaja yang dapat mengalirkan
darah. Misalnya : batu, bambu dan lain sebagainya, tetapi tidak boleh
memakai kuku dan gigi.
عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ اَنَّ امْرَأَةً ذَبَحَتْ شَاةً بِحَجَرٍ فَسُئِلَ النَّبِيُّ ص عَنْ ذلِكَ فَاَمَرَ بِاَكْلِهَا. البخارى
Dari
Ka'ab bin Malik, bahwasanya seorang perempuan menyembelih kambing dengan
batu, lalu ditanyakan kepada Nabi SAW tentang hal itu. Maka Nabi SAW
menyuruh memakannya". [HR. Bukhari]
قَالَ
عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ: يَا رَسُوْلَ الله اِنَّا نَصِيْدُ الصَّيْدَ فَلاَ
نَجِدُ سِكِّيْنًا اِلاَّ الظِّرَارَ وَ شِقَّةَ اْلعَصَا. فَقَالَ
النَّبِيُّ ص: اِمْرِالدَّمَ بِمَا شِئْتَ وَ اذْكُرِ اسْمَ اللهِ
عَلَيْهِ. احمد و ابو داود و النسائى و ابن ماجه و الحاكم و ابن حبان
'Adiy
bin Hatim telah berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya kami sering
memburu buruan, tetapi kami tidak mendapat pisau melainkan batu yang
tajam, dan belahan tongkat". Maka Rasulullah SAW bersabda, "Alirkanlah
darah dengan apasaja yang engkau sukai, dan sebutlah nama Allah ketika
menyembelihnya". [HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban]
قَالَ
النَّبِيُّ ص مَا اَنْهَرَ الدَّمَ وَ ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ
فَكُلُوْا مَا لَمْ يَكُنْ سِنًّا اَوْ ظُفْرًا وَ سَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ
ذلِكَ اَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَ اَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى اْلحَبَشَةِ.
Nabi
SAW bersabda, "Apasaja yang bisa mengalirkan darah dan disebut dengan
nama Allah padanya, maka makanlah, selama yang untuk (menyembelih) itu
bukan gigi atau kuku. Dan saya akan menerangkan itu kepadamu. Adapun
gigi maka itu adalah tulang, adapun kuku itu adalah pisaunya (orang)
Habasyah". [HSR. Jama'ah]
3. Alat untuk menyembelih harus tajam.
عَنْ
شَدَّادِ بْنِ اَوْسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّ اللهَ كَتَبَ
اْلاِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَاِذَا قَتَلْتُمْ فَاَحْسِنُوا
اْلقِتْلَةَ وَ اِذَا ذَبَحْتُمْ فَاَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَ لْيُحِدَّ
اَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَ لْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ. مسلم
Dari
Syaddad bin Aus, ia berkata : Rasulullah SAW telah bersabda,
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan cara yang baik pada tiap-tiap
sesuatu. Maka apabila kamu membunuh, hendaklah kamu bunuh dengan cara
yang baik, dan apabila kamu menyembelih, maka hendaklah menyembelih
dengan cara yag baik, dan hendaklah seseorang diantara kamu menajamkan
pisaunya dan mempermudah (kematian) binatang sembelihannya". [HR. Muslim]
قَالَ
ابْنُ عُمَرَ: اِنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص اَمَرَ اَنْ تُحَدَّ الشِّفَارُ وَ
اَنْ تُوَارَى عَنِ اْلبَهَائِمِ وَ قَالَ: اِذَا ذَبَحَ اَحَدُكُمْ
فَلْيَجْهَزْ. احمد و ابن ماجه
Ibnu
Umar telah berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW telah memerintahkan
supaya pisau itu ditajamkan dan supaya tidak dinampakkan kepada
binatang-binatang, dan beliau bersabda, "Apabila seseorang diantara kamu
menyembelih, maka mudahkanlah matinya sembelihan itu". [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar