4. Meninggalnya Khadijah istri Nabi SAW
Siti
Khadijah wafat dalam usia kurang lebih 65 tahun. Adapun lamanya beliau
bersuami dengan Nabi SAW kurang lebih selama 25 tahun. Dari perkawinan
Nabi Muhammad SAW
dengan Siti Khadijah, dapatlah kedua fihak merasakan kenikmatan dan
kebahagiaan hidup dari perkawinan itu. Siti Khadijah telah melahirkan
enam orang anak, dua laki-laki dan empat perempuan, yaitu sebagai
berikut :
1. Al-Qasim. Inilah putra yang sulung. Sebab itu maka Nabi SAW digelari "Abul Qasim" (Bapaknya Qasim). Gelar atau panggilan yang demikian itu adalah adat
kebiasaan bangsa Arab, yakni putra yang sulung itulah yang dipergunakan
untuk gelar bagi si ayah. Al-Qasim Meninggal baru berumur kurang lebih
dua tahun.
2. Zainab. Ia setelah dewasa diambil isteri oleh Abul-'Ash bin Ar-Rabi', dan ia meninggal dunia di Madinah pada tahun ke-8 Hijrah.
3. Abdullah.
Putera inilah yang oleh ayahnya (Nabi SAW, diberi gelaran dengan
Ath-Thayyib dan Ath-Thahir, dan meninggal dunia waktu masih kecil.
4. Ruqayyah.
Ia setelah dewasa diambil isteri oleh 'Utbah bin Abu Lahab, lalu
diceraikan. Kemudian diambil isteri oleh shahabat 'Utsman bin Affan, dan
meninggal dunia pada tahun ke-2 Hijrah.
5. Ummu
Kultsum. Ia setelah dewasa diambil isteri oleh 'Utaibah bin Abu Lahab,
lalu diceraikan. Kemudian setelah Ruqayyah meninggal dunia, lalu Ummu
Kultsum diambil isteri oleh shahabat 'Utsman bin Affan. Ia meninggal
dunia di Madinah pada tahun ke-9 Hijrah.
6. Fathimah.
Ia setelah dewasa diambil isteri oleh shahabat 'Ali bin Abu Thalib,
seorang pemuda dari anak paman Nabi SAW sendiri pada tahun ke-2 Hijrah;
dan wafat pada tahun ke-11 Hijrah, beberapa bulan sesudah wafatnya Nabi
SAW.
Demikianlah
kebahagiaan hidup, suasana rukun dan damai yang dilalui Nabi Muhammad
SAW selama dalam perkawinannya dengan Siti Khadijah itu senantiasa hidup
selama-lamanya di dalam kenangannya. Bahkan sudah bertahun-tahun Siti
Khadijah meninggal dunia, kebaikannya senantiasa dikenang dan
disebut-sebutnya. Sampai Siti 'Aisyah sendiri, isteri yang amat dikasihi
Rasulullah SAW dan yang mempunyai kedudukan istimewa di sisi beliau
lebih dari istri-istri yang lain, konon sampai merasa cemburu kepada
Siti Khadijah yang telah lama meninggal dunia, lebih cemburu dari pada
terhadap madunya yang lain-lain yang masih hidup, karena mendengar
sanjungan Nabi SAW yang tak habis-habisnya tentang kebaikan Siti
Khadijah isteri yang amat berbudi itu.
Adapun tentang kematian Siti Khadijah dan Abu Thalib itu mana yang lebih dulu diantara keduanya ? Tentang ini
para ulama tarikh ada berselisih pendapat. Sebagian ada yang mengatakan
: Siti Khadijah terlebih dulu wafat dan sebulan kemudian Abu Thalib
wafat. Dan sebagian yang lain mengatakan : Abu Thalib terlebih dulu
wafat. Tetapi menurut keterangan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Bahwa
kedua beliau itu wafat 6 bulan kemudian dari hari keluarnya dari
pemboikotan di Syi'ib pada tahun ke-10 dari Bi'tsah atau 3 tahun sebelum
hijrah. Siti Khadijah wafat tiga hari kemudian dari wafatnya Abu
Thalib.
Dengan
wafatnya istri dan paman beliau ini, berarti beliau kehilangan tulang
punggung yang kuat. Sebab istri dan paman beliau ini sangat berjasa
kepada beliau khususnya dan bagi kemajuan dakwah beliau kepada ummat
umumnya. Dan disebabkan kedukaan dan kesedihan yang bertubi-tubi ini,
beliau sendiri menamakan tahun itu dengan nama 'Aamul Huzni (tahun duka cita).
5. Rasulullah SAW Menikah Dengan Saudah
Sepeninggal
isteri beliau Khadijah yang sangat beliau cintai itu, kemudian beliau
menikah dengan seorang janda yang bernama Saudah binti Zam'ah.
Saudah
adalah seorang wanita bangsa Arab, termasuk keturunan Quraisy. Pada
waktu itu ia telah menjadi wanita janda, karena suaminya bernama Sakran
bin 'Amr telah meninggal. Ia dan suaminya sejak mengikut seruan Nabi SAW
adalah termasuk orang yang terasing, karena diasingkan oleh orang
tuanya dan ahli-familinya, yang dikala itu masih sama berkeras kepala,
tidak mau mengikut kepada Nabi SAW, bahkan sebagian termasuk orang yang
sangat merintanginya. Dan kedua-duanya dikala kaum Muslimin
diperintahkan supaya berhijrah ke negeri Habsyi yang ke dua kali, mereka
berdua termasuk orang yang ikut berhijrah, karena ke dua-duanya sangat
khawatir terhadap kekejaman yang diperbuat oleh familinya yang masih
musyrik. Sesudah kedua-duanya kembali pulang ke Makkah, maka tidak lama kemudian Sakran (suami Saudah) meninggal.
Dengan
demikian Saudah setelah wafatnya suaminya, maka dengan sendirinya ia
tambah terasing lagi, karena ia tetap mengikut seruan Nabi SAW. Oleh
sebab itu dirasakanlah oleh Nabi SAW, betapa besar kesengsaraan yang ditanggung oleh Saudah itu.
Maklumlah,
sebagai seorang wanita janda yang setia kepada Islam, sedang para
familinya dan saudara-saudaranya masih tetap musyrik, bahkan ada pula
yang sangat memusuhi tersiarnya Islam. Oleh karenanya sangat terasalah
oleh Nabi SAW, bahwa penghidupan sehari-harinya tentu dalam kesempitan
dan kesukaran.
Demikianlah, maka dikala itu dengan mufakat orang tuanya, Saudah dinikah oleh Nabi SAW
6. Rasulullah SAW Menikah Dengan 'Aisyah
Kemudian
setelah berselang kurang lebih satu bulan dari hari perkawinan Nabi SAW
dengan Saudah, lalu beliau menikah pula dengan Siti 'Aisyah binti Abu
Bakar. Siti 'Aisyah ialah seorang puteri shahabat Abu Bakar, sedang
beliau ini adalah seorang laki-laki yang pertama kali mengikut seruan
Nabi SAW dan beriman kepadanya. Dan beliau ini adalah termasuk seorang
hartawan besar di kota Makkah pada waktu itu, yang tidak sedikit
kekayaannya dikorbankan untuk kepentingan da'wah Islam dan pengikut
Islam yang menderita sengsara karena penganiayaan para musyrikin
Quraisy.
Di dalam
riwayat, perkawinan Nabi SAW dengan Siti 'Aisyah ini terjadi pada bulan
Syawwal tahun ke-10 dari kenabian, dan beliau SAW tidak mengawini
seorang gadis, melainkan dengan Siti 'Aisyah, yang pada waktu itu masih
berumur tujuh tahun, namun Nabi SAW tidak berkumpul dengan 'Aisyah
melainkan setelah hijrah di Madinah.
7. Nabi SAW Berangkat Ke Thaif
Thaif
ialah sebuah kota terletak di sebelah tenggara kota Makkah dan terkenal
tanahnya subur-makmur sejak dahulu. Sebagai seorang manusia, Nabi SAW
pun pada suatu saat merasa susah dan sedih. Dikala ditinggalkan wafat
oleh kedua orang yang seakan-akan menjadi tulang punggung beliau selama
itu, terasalah oleh beliau kedukaan dan kesedihan yang sangat, yang
tidak ada taranya,
Setelah
ketua-ketua dan pembesar-pembesar Musyrikin Quraisy mengetahui, bahwa
beliau tidak lagi mempunyai tulang-punggung yang dapat melindungi diri
beliau apabila disakiti dan dianiaya, atau apabila akan diperlakukan
secara kejam, maka bertambah sangatlah mereka dalam merintangi dan
memusuhi beliau. Setiap hari tidak ada
hentinya beliau selalu menerima celaan, cercaan, penghinaan dan
berbagai-bagai perbuatan yang menyakitkan diri beliau dari fihak
musyrikin Quraisy.
Oleh
sebab itu, teringatlah beliau bahwa di kota Thaif ada orang yang masih
termasuk famili dekat dengan beliau, yaitu famili tunggal datuk dari
keturunan Tsaqif. Dan di kota Thaif itu merekalah yang memegang
kekuasaan Mereka itu ialah :
1. Abu Yalil bin 'Amr bin 'Umair Ats-Tsaqafi,
2. Mas'ud bin 'Amr bin 'Umair Ats-Tsaqafi, dan
3. Habib bin 'Amr bin'Umair Ats-Tsaqafi.
Ketiga-tiganya itu adalah brsaudara, dan masing-masing sedang menjabat kekuasaan di kota Thaif.
Dikala
itu Nabi SAW berharap, bahwa setelah tiba di Thaif dan dapat bertemu
dengan mereka, lalu beliau mengajak mereka itu untuk mengikut seruannya,
kemudian akan diajak pula untuk ikut serta menggerakkan seruan (dakwah)
beliau di kota itu. Dengan demikian, penduduk kota itu tentu akan
segera mengikut seruan beliau, dan selanjutnya akan dapat juga mereka
memberikan bantuan untuk kepentingan penyiaran Islam di kota Makkah.
Maka ketika itu Nabi SAW berangkat ke Thaif dengan diam-diam bersama
Zaid bin Haritsah (bekas budak belian Siti Khadijah yang telah diangkat
sebagai anak Nabi SAW) dan dengan berjalan kaki.
Setiba di
Thaif, Nabi SAW bersama Zaid bin Haritsah lalu mencari tempat kediaman
orang yang ditujunya, yaitu kepala-kepala banu Tsaqif yang sedang
menjabat di sana. Selanjutnya, setelah dapat bertemu dengan mereka,
beliau lalu menyatakan maksud kedatangannya, yaitu selain untuk
menyambung tali kasih sayang dengan mereka, beliau juga menganjurkan
(mengajak) kepada mereka masing-masing supaya mengikut Islam.
Setelah
mereka mendengar seruan beliau, seketika itu juga mereka marah, sama
mencaci-maki dan mendustakan beliau dengan kata-kata yang sangat kasar,
lalu mengusir dengan keras, supaya beliau lekas keluar dari rumah
mereka, dan pergi dari kota Thaif. Jika tidak mau, beliau diancam akan
dibunuh seketika itu juga.
Nabi SAW
setelah mendengar celaan, caci-makian dan ancaman mereka, maka beliau
langsung meminta diri kepada mereka seraya berkata, "Jikalau kamu
tidak mau menerima kedatangan saya kemari, tidak mengapa ! Tetapi
janganlah kedatangan saya kemari ini disiarkan kepada orang banyak dari
penduduk kota ini".
8. Penganiayaan Penduduk Thaif Kepada Nabi SAW
Selanjutnya,
ketika Nabi SAW telah keluar dari rumah mereka, lalu mereka
masing-masing memerintahkan kepada anak-anak dan budak belian supaya
berteriak-teriak dan mencaci-maki serta menghina beliau. Dengan suara
yang keras mereka disuruh memanggil orang banyak yang bertempat tinggal
di sekelilingnya, supaya keluar dari rumah mereka masing-masing.
Oleh
sebab itu, orang-orang yang tinggal di sekeliling mereka lalu keluar
semuanya, dan datang berduyun-duyun akan mengeroyok Nabi SAW.
Kemudian
kepala Bani Tsaqif menyuruh orang-orang yang telah datang di halaman
rumah mereka supaya berkumpul dan berbaris di kanan kiri jalan yang
dilalui Nabi SAW dan mereka supaya serentak mencaci-maki dan mencerca
dengan perkataan-perkataan yang keji serta mendustakan Nabi SAW, Dan
mereka disuruh melempari dengan batu dan pasir kepada beliau dan
shahabatnya yang berjalan bersama beliau.
Karena
orang yang menyuruh berbuat demikian tadi adalah orang-orang yang
berkuasa dan berpengaruh, maka sudah tentu perintah itu selalu diikut
saja oleh segenap penduduk banu Tsaqif yang ada di kota Thaif. Oleh
sebab itu mereka lalu berkumpul dan berbaris di sekeliling jalan yang
dilalui oleh Nabi SAW dan Zaid bin Haritsah, dengan serentak mereka
berteriak-teriak mencaci maki, mencerca, menghina, mendustakan dan
mengancam sambil melempari batu, krikil dan pasir kepada Nabi SAW,
sehingga beliau luka parah dan berlumuran darah, sampai beliau dikala
itu terpaksa berjalan dengan merangkak karena kesakitan. Setelah beliau
kelihatan berjalan dengan merangkak, lalu mereka mengejek, mentertawakan
dan mencaci-maki dengan kata-kata yang kasar dan keji.
Demikianlah
singkatnya riwayat penganiayaan kaum Banu Tsaqif dan penduduk Thaif
terhadap Nabi SAW. Adapun Zaid bin Haritsah ketika itu kepalanya sampai
luka parah, dan mencucurkan darah kena lemparan batu.
9. Do'a Nabi SAW Pada Waktu Itu
Setelah
perjalanan Nabi SAW bersama Zaid bin Haritsah sampai di halaman kebun
atau di balik pagar dari sebuah kebun kepunyaan 'Utbah dan Syaibah
(kedua-duanya ini anak Rabi'ah), kedua orang bangsa Quraisy yang sangat
memusuhi Nabi SAW di kota Makkah, maka orang-orang yang menganiaya dan
melempari dengan batu tadi berhenti, dan mereka berlari bubar semuanya
kembali ke rumah mereka masing-masing.
Kemudian
Nabi SAW bersama Zaid bin Haritsah berteduh di tempat itu, di bawah
pohon anggur sekedar untuk menghilangkan lelah dan jerih payah yang baru
saja dirasakan, sambil melihat bengkak-bengkak dan luka-luka yang ada
di kedua kaki dan betisnya seraya mengeringkan darah yang masih
bercucuran dari kedua kakinya tadi. Tetapi ketika beliau beristirahat di
tempat itu, tiba-tiba timbullah perasaan kurang enak dalam hati beliau
kalau sampai lama beristirahat di tempat itu. Karena kebun itu kepunyaan
'Utbah bin Rabi'ah dan Syaibah bin Rabi'ah, yang kedua-duanya ini
adalah termasuk orang yang memusuhi beliau di kota Makkah. Padahal
justru pada waktu itu kedua orang musuh Islam itu sedang ada di kebun
itu, dan keduanya telah melihat bahwa Nabi SAW sedang ada di balik pagar
kebunnya. Kemudian Nabi SAW menengadah ke atas mengadukan kepedihan dan
kesengsaraan yang dideritanya itu kepada Allah SWT sambil berdo'a dan
menyerahkan diri kepada-Nya. Ucapan beliau itu ialah:
اَللّهُمَّ
اِلَـيْكَ اَشْكُوْ ضَعْفَ قُوَّتـِى وَ قِلَّةَ حِيْلَـتِى وَ هَوَانـِى
عَلَى الـنَّاسِ يَـا اَرْحَمَ الـرَّاحِمِـيْنَ. اَنــْتَ رَبُّ
اْلمُسْتَضْعَـفِـيْنَ. وَ اَنــْتَ رَبـِّى اِلَى مَنْ تَكِـلُـنِى؟ اِلَى
بَـعِيْدٍ يَـتَجَهَّمُنِى؟ اَمْ اِلَى عَدُوٍّ مَلَكَـتْهُ اَمْرِيْ؟
اِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ عَلَيَّ غَضَبٌ فَلاَ اُبَالِى. وَ لكِنْ
عَافِـيَـتَكَ هِيَ اَوْسَعُ لـِى. اَعُوْذُ بِـنُوْرِ وَجْهِكَ الَّذِيْ
اَشْرَقَتْ لَهُ الظُّـلُـمَاتُ وَصَلُحَ عَلَـيْهِ اَمْرُ الدُّنــْيَا وَ
اْلآخِرَةِ مِنْ اَنْ تُنْزِلَ بِيْ غَضَبُكَ اَوْ يُحِلَّ عَلَيَّ
سَخَطُكَ، لَكَ اْلعُتْـبَى حَتَّى تَرْضَى. وَ لاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ
اِلاَّ بِكَ.
"Ya
Allah, Kepada Engkau-lah aku mengadukan kelemahan kekuatanku, dan
sedikitnya daya upayaku dan kehinaanku pada manusia, ya Tuhan yang Maha
Penyayang diantara orang-orang yang kasih sayang. Engkaulah Tuhan yang
memelihara orang-orang yang lemah dan tertindas, dan Engkaulah Tuhanku,
kepada siapa Engkau akan menyerahkan aku, apakah kepada musuh yang jauh
yang amat benci kepadaku, ataukah kepada musuh yang Engkau beri
kekuasaan terhadapku ? Jikalau Engkau tidak murka kepadaku, maka aku
tidak perduli, akan tetapi kemurahan Engkau lebih luas kepadaku, (itulah
yang aku harapkan). Aku berlindung kepada Nur Wajah Engkau Yang Mulia,
yang menerangi semua kegelapan dan memperbaiki urusan dunia dan akhirat.
Semoga janganlah Engkau menjatuhkan kemarahan Engkau kepadaku atau
menimpakan kepadaku kemurkaan-Mu, Engkaulah yang berhak mencaciku
sehingga Engkau ridla, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan
pertolongan-Mu". [Sirah Ibnu Hisyam juz 2, hal. 268]
Demikianlah
bunyi do'a Nabi yang dipanjatkan kehadlirat Allah SWT pada waktu itu,
yang di dalam do'a itu jelas berisi keluhan dan penyerahan beliau kepada
Allah semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar