7. Kedatangan para utusan kaum Nashrani Najran (Yaman) ke Madinah dan perdebatan mereka dengan Nabi SAW.
Pada waktu kaum Yahudi di Madinah
sedang ramai membicarakan tentang kemajuan dakwah agama yang dibawa
Nabi SAW dan perselisihan antara Nabi SAW dengan para pendeta mereka,
tiba-tiba datanglah utusan kaum Nashrani Najran (Yaman) yang terdiri
dari 60 orang berkendaraan dan dengan keadaan yang serba mewah. Diantara
60 orang tersebut ada 14 orang dari golongan bangsawan mereka, dan
diantara 14 orang itu ada 3 orang yang terkemuka. Adapun nama-nama 14
bangsawan dan pemuka mereka itu ialah : 1. Al-'Aaqib (Abdul Masih), 2.
As-Sayyid (Al-Aiham), 3. Abu Haritsah bin 'Alqamah, 4. Aus, 5.
Al-Haarits, 6. Zaid, 7. Qais, 8. Yazid, 9. Nubaih, 10. Khuwailid, 11.
'Amr, 12. Khalid, 13. Abdullah dan, 14. Yuhannas.
Al-'Aaqib
sebagai kepala rombongan dan penasehat mereka yang tertinggi, mereka
tidak mengemukakan suatu urusan dan memutuskan suatu perkara melainkan
dari nasehatnya. Sedang As-Sayyid sebagai pemimpin mereka yang
bertanggungjawab mengenai kesulitan-kesulitan mereka. Dan Abu Haritsah
sebagai pembesar pendeta atau ulama mereka yang tertinggi dan yang
berhak memberikan pengajaran agama kepada mereka. Para raja Rum yang
beragama Kristen dikala itu sangat menghormati dan memuliakan kepadanya
dan mendirikan gereja-gereja untuknya.
Diriwayatkan,
bahwa kedatangan mereka ke kota Madinah itu dengan berkendaraan. Mereka
lalu masuk ke masjid Nabi SAW dan masing-masing dengan memakai pakaian negeri
Yaman yang indah, memakai jubah dan ridak (selendang) dari sutera,
serta memakai cincin emas di tangan mereka. Kemudian mereka mengerjakan
shalat di dalam masjid. Ketika itu ada diantara shahabat Nabi SAW yang berkata, "Kami belum pernah melihat rombongan yang seperti mereka itu". Lalu Nabi SAW bersabda, "Biarkanlah mereka itu mengerjakan shalat cara mereka". Dan mereka itu shalat menghadap ke arah timur. Sehabis shalat, mereka menghadap kepada Nabi SAW.
Diriwayatkan,
setelah mereka berhadapan dengan Nabi SAW, lalu pendeta mereka
berbicara dan bertanya-jawab dengan Nabi SAW tentang soal ketuhanan Nabi
'Isa, atau Nabi 'Isa dianggap putera Tuhan, atau tentang tiga Tuhan.
Mereka mengemukakan alasan-alasan guna menguatkan kepercayaan mereka
kepada tiga Tuhan, tetapi satu demi satu, alasan mereka dijawab oleh
Nabi SAW dengan jelas. Karena Nabi SAW dikala itu diberi wahyu oleh
Allah yang mengandung beberapa puluh ayat (ada ulama tarikh yang
berpendapat dari ayat 1 s/d 80 surat Ali Imran diturunkan berkenaan
dengan kaum Nashrani Najran tersebut). Diantaranya, firman Allah SWT :
اِنَّ
مَثَلَ عِيْسى عِنْدَ اللهِ كَمَثَلِ ادَمَ، خَلَقَه مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ
قَالَ لَه كُنْ فَيَكُوْنُ. َاْلحَقُّ مِنْ رَّبّكَ فَلاَ تَكُنْ مّنَ
اْلمُمْتَرِيْنَ. ال عمران:59-60
Sesungguhnya
perumpamaan (penciptaan) "Isa pada sisi Allah adalah seperti
(penciptaan) Adam, Dia menciptakan Adam dari tanah, kemudian Dia
berfirman kepadanya, "Jadilah (seorang manusia)", maka jadilah dia. (Apa
yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari
Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. [QS. Ali Imran : 59-60]
8. Ajakan Nabi SAW kepada mereka untuk bermubahalah.
Diriwayatkan,
bahwa Nabi SAW ketika itu sudah memberikan keterangan kepada para
utusan kaum Nashrani Najran tersebut dengan jelas, baik mengenai
kepercayaan mereka yang sesat itu, maupun mengenai urusan kenabian dan
kerasulan beliau. Dan pada hakikatnya, mereka itu sudah kehabisan alasan
untuk menguatkan kepercayaan mereka, dan untuk menolak beliau SAW
sebagai Nabi dan Rasul Allah, tetapi mereka tetap juga keras kepala
mendustakan kebenaran Nabi SAW dan tidak mau menerima kebenaran yang
telah diterangkan oleh beliau. Mereka itu tetap mempertahankan
kepercayaan mereka, bahwa 'Isa itu putera Tuhan dan Tuhan itu tiga
bertunggal atau tiga Tuhan.
Sehubungan dengan peristiwa itu, maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi SAW sebagai berikut :
فَمَنْ
حَآجَّكَ فِيْهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَآءَكَ مِنَ اْلعِلْمِ فَقُلْ
تَعَالَوْا نَدْعُ اَبْنَآءَنَا وَ اَبْنَآءَكُمْ وَ نِسَآءَنَا وَ
نِسَآءَكُمْ وَ اَنْفُسَنَا وَ اَنْفُسَكُمْ، ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ
لَّعْنَتَ اللهِ عَلَى اْلكذِبِيْنَ. اِنَّ هذَا لَهُوَ اْلقَصَصُ
اْلحَقُّ، وَ مَا مِنْ اِلهٍ اِلاَّ اللهُ، وَ اِنَّ اللهَ لَهُوَ
اْلعَزِيْزُ اْلحَكِيْمُ. فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ
بِاْلمُفْسِدِيْنَ. ال عمران:61-63
Maka
barangsiapa membantah kamu tentang kisah 'Isa sesudah datang ilmu
pengetahuan kepadamu, maka katakanlah (kepada mereka), "Marilah kita
panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan
istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu, kemudian marilah kita
bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan
kepada orang-orang yang dusta". Sesungguhnya ini adalah kisah yang
benar, dan tak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Allah Dialah
Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kemudian jika ia berpaling (dari
kebenaran), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang
berbuat kerusakan. [QS. Ali Imran 61-63]
Diriwayatkan,
bahwa Nabi SAW dikala itu lalu mengajak kepada ketua dan pemuka mereka,
yaitu Al-'Aaqib dan As-Sayyid. Beliau bersabda, "Marilah kita bermubahalah saja, mudah-mudahan laknat Allah dijatuhkan kepada siapa yang berdusta". Ajakan Nabi SAW yang demikian itu adalah menurut perintah Allah. [Mubahalah
ialah masing-masing pihak yang berselisih mendoa kepada Allah dengan
bersungguh-sungguh agar Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang
berdusta].
Dengan
demikian maka akan dapat diketahui oleh orang banyak, siapa yang
berdusta dan siapa yang benar. Karena jika hanya dengan perdebatan saja
tidak akan ada selesainya dan tidak pula ada habisnya.
Pada
mulanya mereka bersedia untuk bermubahalah dengan Nabi SAW, tetapi
mereka meminta diberi tempo untuk berunding dulu dengan penasehat
mereka. Kata mereka kepada Nabi SAW, "Ya Abal Qasim, biarkanlah kami
berfikir lebih dulu tentang urusan kami, kemudian kami nanti akan datang
lagi kepadamu dengan apa yang kami kehendaki, bahwa kami akan
mengerjakan apa yang kamu kehendaki kepada kami". Demikianlah kata mereka, dan permintaan mereka itu diperkenankan juga oleh Nabi SAW.
Dan di
lain riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW keluar bersama Ali,
Fathimah, Hasan dan Husein untuk bermubahalah dengan kaum Nashrani
Najran sebagaimana yang telah mereka sanggupi, namun mereka akhirnya
enggan, tidak memenuhi janjinya, dan memilih membayar jizyah.
9. Utusan kaum Nashrani Najran menolak bermubahalah.
Diriwayatkan,
bahwa tatkala mereka telah berpaling dari hadapan Nabi SAW, mereka lalu
kembali menghadap kepada Al-'Aaqib, penasehat mereka yang tertinggi,
lalu mereka meminta pendapat dan persetujuannya. Kata mereka, "Bagaimana pendapatmu tentang bermubahalah dengan Muhammad, ya 'Abdal Masih ?".
Kata Al-'Aaqib, "Demi
Allah, wahai orang-orang Nashrani, sesungguhnya kamu telah mengetahui
bahwa Muhammad itu seorang Nabi yang diutus, dan sesungguhnya telah
datang kepada kamu keterangan yang jelas dari teman-temanmu.
Sesungguhnya tidak ada suatu kaum yang saling melaknat (bermubahalah)
dengan seorang Nabi, melainkan mereka pasti hancur binasa, tidak akan
ada yang tertinggal dan tidak ada keturunan mereka, dan sungguh kamu
tidak akan menang selama-lamanya jika kamu mengerjakan mubahalah dengan
dia. Maka jika kamu menolak bermubahalah, lantaran kecintaan kepada
agamamu dan pada temanmu, maka hendaklah kamu meminta diri meninggalkan
orang itu (Nabi SAW), kemudian kembalilah kamu ke negerimu". Demikianlah nasehat dan peringatan Al-'Aaqib kepada segenap pengikutnya.
Kemudian mereka datang lagi menghadap Nabi SAW, lalu berkata, "Ya
Abal Qasim, sesungguhnya kami berpendapat dan memutuskan, bahwa kami
jangan sampai bermubahalah dengan kamu, dan kami akan meninggalkan kamu
atas agamamu, dan kami akan kembali mengikut agama kami sebagaimana
biasa. Sekalipun demikian, namun kami memohon kepadamu sudilah kiranya
kamu mengutus seseorang dari shahabatmu yang kamu ridlai dan kamu
percaya untuk kami angkat menjadi hakim di qabilah kami dalam segala
urusan mengenai harta yang kami perselisihkan dan kami pertengkarkan dan
yang sering terjadi dalam kalangan kami. Karena sesungguhnya bagi kami,
kamu adalah suatu kepuasan". [Dari riwayat ini menunjukkan,
bahwa kaum Nashrani Najran tidak berani menghadapi tantangan
bermubahalah dari Nabi SAW. Dengan demikian, jelaslah mereka itu
mengerti akan kebenaran dakwah Nabi dan menginsyafi akan kedustaan
mereka sendiri. Sekalipun demikian, mereka telah insyaf dan tertarik
pula oleh dasar-dasar keadilan hukum-hukum yang dibawa oleh Nabi SAW,
sehingga mereka mengajukan permohonan kepada beliau, supaya beliau
mengirim seorang dari shahabat yang dipercayainya untuk diangkat menjadi
hakim di qabilah mereka untuk memberi keputusan mengenai harta benda
yang mereka perselisihkan].
Permohonan mereka itu diperkenankan oleh Nabi SAW, kemudian pada keesokan harinya Nabi SAW memutuskan Abu 'Ubaidah bin Al-Jarrah supaya berangkat bersama-sama kaum Nashrani Najran ke qabilah mereka untuk menjadi hakim di sana. Nabi SAW bersabda :
اُخْرُجْ مَعَهُمْ فَاقْضِ بَيْنَهُمْ بِاْلحَقِّ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ
Berangkatlah kamu bersama mereka, maka hukumliah antara mereka itu dengan kebenaran tentang segala sesuatu yang diperselisihkan oleh mereka.
Abu 'Ubaidah lalu berangkat bersama-sama mereka. [Riwayat
yang tersebut ini menurut sebagaimana yang termaktub dalam sirah Ibnu
Hisyam. Dan riwayat mubahalah sebagai yang tersebut itu diriwayatkan
juga oleh para imam ahli haditts, antara lain oleh Bukhari, dan Muslim,
tetapi dengan rangkaian kata yang berbeda, dan diantara para ulama ahli
tafsir yang meriwayatkannya, ialah Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitab
tafsirnya].
Diriwayatkan,
bahwa Abu Haritsah bin 'Alqamah, salah seorang pendeta dan ulama
Nashrani Najran, yang selalu dimuliakan oleh kaum pengikutnya, tatkala
datang untuk menghadap Nabi SAW ia duduk diatas bighalnya sambil
menghadapkan mukanya kepada Nabi SAW, sedang di sampingnya duduklah
salah seorang sudaranya yang bernama Kuuz bin 'Alqamah. Dikala itu
tergelincirlah bighal yang sedang dikendarainya, lalu berkatalah Kuuz, "Celakalah yang lebih jauh !". (Yang dikehendaki dengan perkataan yang sedemikian itu ialah Nabi SAW). Maka Abu Haritsah berkata kepada saudaranya tadi, "Bahkan kamulah yang celaka !".
Kuuz bertanya, "Mengapa demikian, wahai saudaraku ?".
Jawab Abu Haritsah, "Demi Allah, sesungguhnya dia itu Nabi yang kita nanti-nantikan kedatangannya".
Lalu Kuuz berkata, "Kalau demikian, apa yang merintangi kamu mempercayai dan mengikut kepadanya, padahal kamu telah mengerti yang demikian itu ?".
Abu Haritsah berkata, "Yang
merintangi saya mempercayai kepadanya, ialah kehormatan dan kebesaran
yang telah diberikan oleh kaum pengikut saya kepada saya selama ini,
mereka itu enggan dan tidak mau mengikut kepada Nabi itu. Oleh sebab
itu, jika saya mengikut dia, tentulah segala kehormatan dan kebesaran
saya sebagaimana yang telah kamu ketahui dari mereka akan mereka cabut".
Dari
riwayat ini jelaslah bahwa pendeta Nashrani dari Najran yang senantiasa
dihormati dan dimuliakan oleh para pengikutnya bahkan yang berpangkat
raja sekalipun, dikala itu sudah mengerti bahwa Nabi SAW itu benar-benar
seorang Nabi yang diutus oleh Allah. Adapun yang menyebabkan ia tidak
mau percaya dan tidak bersedia untuk membenarkan kebenaran Nabi SAW itu
dengan tegas telah dinyatakan sendiri, karena kedudukan dan kebesaran
yang telah diperolehnya dari kaum pengikutnya, selama ia menjabat selaku
pendeta mereka.
10. Perdebatan antara pendeta-pendeta Yahudi dan pendeta-pendeta Nashrani Najran dihadapan Nabi SAW.
Diriwayatkan,
bahwa para pendeta Nashrani Najran sebelum kembali ke qabilahnya, pada
suatu hari berkumpul dihadapan Nabi SAW bersama para pendeta kaum Yahudi
yang ada di kota Madinah. Dikala itu, terjadilah perselisihan dan
perdebatan ramai antara mereka dihadapan beliau SAW, dan yang
diperdebatkan ialah tentang agama Nabi Ibrahim dan tentang ketuhanan
mereka masing-masing. Riwayatnya secara singkat demikian :
Para pendeta Yahudi berkata, "Nabi Ibrahim itu adalah seorang Yahudi".
Para pendeta Nashrani Najran berkata, "Nabi Ibrahim itu adalah seorang Nashrani".
Demikianlah, mereka bertengkar dan berdebat. Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Nabi SAW untuk menengahi perdebatan mereka :
ياَهْلَ
اْلكِتبِ لِمَ تُحَآجُّوْنَ فِيْ اِبْرهِيْمَ وَ مَآ اُنْزِلَتِ
التَّوْرـةُ وَ اْلاِنْجِيْلُ اِلاَّ مِنْ بَعْدِه، اَفَلاَ تَعْقِلُوْنَ.
هانْتُمْ هؤُلآءِ حَاجَجْتُمْ فِيْمَا لَكُمْ بِه عِلْمٌ فَلِمَ
تُحَآجُّوْنَ فِيْمَا لَيْسَ لَكُمْ به عِلْمٌ، وَ اللهُ يَعْلَمُ وَ
اَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ. مَا كَانَ اِبْرهِيْمُ يَهُوْدِيًّا وَّ لاَ
نَصْرَانِيًّا وَّ لكِنْ كَانَ حَنِيْفًا مُّسْلِمًا، وَّ مَا كَانَ مِنَ
اْلمُشْرِكِيْنَ. اِنَّ اَوْلَى النَّاسِ بِاِبْرهِيْمَ لَلَّذِيْنَ
اتَّبَعُوْهُ وَ هذَا النَّبِيُّ وَ الَّذِيْنَ امَنُوْا، وَ اللهُ وَلِيُّ
اْلمُؤْمِنِيْنَ . ال عمران:65-68
Hai
Ahli Kitab, mengapa kamu bantah-membantah tentang hal Ibrahim, padahal
Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim, apakah kamu
tidak berpikir ?" Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah
membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah
membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui ?. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui. Ibrahim itu bukan seorang Yahudi dan bukan
(pula) seorang Nashrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi
berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk
golongan orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling dekat
kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini
(Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah
adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. [QS. Ali Imran : 65-68]
Demikianlah
wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW yang dengan tegas
menjelaskan kesalahan-kesalahan mereka (kedua belah pihak) yang saling
berbantah-bantahan tentang Nabi Ibrahim.
Selanjutnya
dikala itu perbantahan mereka mengenai ketuhanan, dijelaskan dan
diselesaikan pula oleh wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW.
Dengan demikian, maka merupakan satu kesempatan bagi Nabi SAW untuk
mengajak kepada kedua belah pihak supaya kembali kepada tauhid yang
benar dan beribadah kepada Allah Yang Maha Esa, karena tidak ada Tuhan
melainkan Allah.
Kaum
Yahudi mempercayai dan menganggap bahwa 'Uzair itu putera Allah, dan
kaum Nashrani mempercayai dan menganggap bahwa 'Isa itu putera Allah,
tetapi Nabi Muhammad SAW dengan tegas menyatakan kepada mereka (Yahudi
dan Nashrani), bahwa kepercayaan yang demikian itu tidak benar. Dan
beliau menyeru kepada mereka dengan wahyu yang telah diterima :
قُلْ
ياَهْلَ اْلكِتبِ تَعَالَوْا اِلى كَلِمَةٍ سَوَآءٍ بَيْنَنَا وَ
بَيْنَكُمْ اَلاَّ نَعْبُدَ اِلاَّ اللهَ وَ لاَ نُشْرِكَ بِه شَيْئًا وَّ
لاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مّنْ دُوْنِ اللهِ، فَاِنْ
تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ. ال عمران:64
Katakanlah,
"Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan)
yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita
sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun
dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada
mereka, "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri
(kepada Allah)". [QS. Ali Imran : 64]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar