Terbunuhnya Ka’ab bin Al-Asyraaf tokoh Yahudi
Ka’ab
bin Al-Asraaf adalah seorang pemuka kaum Yahudi yang sudah lama
berbuat jahat terhadap agama yang dibawa oleh Nabi SAW dan amat benci
terhadap beliau. Di waktu kaum Muslimin memperoleh kemenangan pada
perang Badr, setelah ia mendengar berita kemenangan itu, maka dengan
sombongnya ia berkata,“Mereka (orang-orang Quraisy) itu adalah
orang-orang Arab yang terhormat dan raja-raja manusia, tidak mungkin
kalau mereka sampai dikalahkan oleh Muhammad”. Kemudian ia berkata :
وَ اللهِ لَئِنْ كَانَ مُحَمَّدٌ اَصَابَ هؤُلآءِ اْلقَوْمَ لَبَطْنُ اْلاَرْضِ خَيْرٌ مِنْ ظَهْرِهَا
“Demi Allah, jika benar-benar Muhammad berhasil mengalahkan mereka, maka perut bumi lebih baik daripada punggungnya”.
Kemudian
ia pergi ke Mekkah untuk bertemu dengan kepala-kepala dan ketua-ketua
Quraisy yang masih hidup, dan untuk meratapi kepala-kepala Quraisy yang
terbunuh di Badr, serta untuk menghina dan mencaci Nabi SAW di muka
mereka. Berbulan-bulan ia berada di Makkah, sampai puas mencaci Nabi dan kaum muslimin. Kemudian setelah ia kembali pulang ke Madinah,
terus menerus berbuat bermacam-macam penghinaan dan cercaan kepada kaum
Muslimin dan Nabi SAW, serta menghasut kaum musyrikin supaya menentang
dan memusuhi Nabi dan kaum muslimin.
Kemudian
pada suatu hari seorang sahabat Anshar yang bernama Muhammad bin
Maslamah datang kepada Nabi SAW untuk mohon izin membunuh Ka’ab bin
Asyraaf, dan beliau mengizinkannya.
Setelah
kembali dari hadapan Nabi SAW, lalu Muhammad bin Maslamah dengan empat
orang yang semuanya dari golongan Anshar, yaitu : 1. Silkan bin Salamah,
2. ‘Abbad bin Bisyr, 3. Al-Harits bin Aus, dan 4. Abu ‘Absin bin Jabr, pada waktu yang telah ditentukan mereka berlima berangkat ke rumah Ka’ab.
Setelah
tiba di rumah Ka’ab, mereka lalu bercakap-cakap dengan Ka’ab sampai jauh
malam. Dan akhirnya Ka’ab diajak keluar rumah dan diajak
berjalan-jalan, karena malam itu kebetulan terang bulan.
Setelah
berjalan bersama-sama, dan sudah jauh dari rumah Ka’ab, dan sudah
menjelang fajar, maka barulah Ka’ab bin Asyraaf dibunuh dengan pedang,
dan ketika itu ia berteriak sekeras-kerasnya, dan melayanglah jiwanya.
Kejadian ini terjadi pada malam 14 Rabi’ul Awwal tahun ketiga Hijrah.
Menurut
riwayat yang lain tentang terbunuhnya Ka’ab bin Asyraaf itu demikian :
Muhammad bin Maslamah setelah mendapat perkenan dari Nabi SAW lalu
datang menemui Ka’ab bin Asyraaf, untuk berusaha mencari cara agar
dapat membunuhnya. Setelah Muhammad bin Maslamah datang ke rumah Ka’ab
lalu bercakap-cakap, dan antara lain membicarakan tentang keadaan
pribadi Nabi SAW. Muhammad bin Maslamah pura-pura mencaci-maki Nabi dan
menjelek-jelekannya (hal ini telah diizinkan oleh Nabi SAW). Dengan
demikian, maka Ka’ab merasa senang dan penuh percaya kepadanya,
lebih-lebih mengingat bahwa yang datang (Muhammad bin Maslamah) itu
seorang yang pernah bergaul rapat dengan orang yang sangat dibenci
olehnya. Kemudian Muhammad bin Maslamah meminta bantuan kepada Ka’ab
supaya mau meminjami uang sekedar untuk mencukupi kebutuhan
para kawannya yang sefaham dan sependirian dengannya. Sebagai
tanggungan ia dan para kawannya akan menyerahkan baju besi mereka
masing-masing, atau lainnya yang kiranya dapat diterima oleh Ka’ab. Di
kala itu Ka’ab tidak merasa curiga dan bersedia akan meminjamkan uangnya
berapa saja yang mereka butuhkan. Kemudian pada suatu malam yang telah
ditentukan datanglah Muhammad bin Maslamah dan Abu Nailah (Silkan bin
Salamah) ke rumah Ka’ab. padahal Ka’ab baru saja menjadi pengantin baru.
Kecurigaan bagi Ka’ab sedikitpun tidak ada, karena yang datang itu
adalah orang-orang yang masih dekat kefamilian dengannya. Abu Nailah
masih saudara sesusu dan Muhammad bin Maslamah adalah anak saudaranya
perempuan. Kedatangan dua orang ini tentu saja diterima dengan baik
serta gembira oleh Ka’ab. Iapun turun dan keluar untuk menerima
kedatangan mereka itu. Sedangkan istrinya yang masih baru dikala itu
sudah ada rasa kecurigaan, lalu menghalang-halanginya keluar pada tengah
malam itu. Tetapi Ka’ab tidak mempedulikan peringatan istrinya. Ia
tetap keluar dan menuruti apa yang diinginkan oleh kedua orang yang
dipandang sefaham dan sependirian itu. Kemudian ia keluar dari rumahnya
bersama dua orang tadi lalu berjalan-jalan sambil bercakap-cakap
membicarakan tentang keadaan pribadi Nabi dengan penuh kegembiraan.
Akhirnya setelah berjalan jauh dari rumah Ka’ab, maka ia dibunuh oleh
dua orang sahabat Nabi tersebut.
Dalam Kitab Muslim Juz III hal. 1425, tentang terbunuhnya Ka’ab bin ‘Asyraaf diantaranya disebutkan demikian :
Bersumber
dari ‘Amr, dia berkata : Aku pernah mendengar Jabir berkata :
Rasulullah SAW bertanya kepada para shahabatnya, ”Siapa yang bersedia
membunuh Ka’ab bin Al-Asyraaf ? Karena dia benar-benar telah berani
menyakiti Allah dan Rasul-Nya”. Maka berkatalah Muhammad bin Maslamah,
“Wahai Rasulullah, apakah engkau suka apabila aku yang akan membunuhnya
?”. Rasulullah SAW menjawab, “Ya”. Muhammad bin Maslamah berkata,
“Tetapi izinkan aku mengatakan sesuatu kepadanya tentang diriku dan
dirimu yang kuanggap baik dilakukan ?”. Rasulullah SAW bersabda,
“Silakan”.
Pada
suatu hari dia menemui Ka’ab dan berkata, “Aku ingin kamu memberikan
suatu pinjaman padaku”. Ka’ab bertanya, “Lalu apa yang hendak kamu
gadaikan kepadaku?”. Muhammad bin Maslamah menjawab, “Apa yang kamu
inginkan ?” Ka’ab mengatakan, “Aku ingin kamu menggadaikan kepadaku
perempuan-perempuanmu”. Muhammad bin Maslamah berkata, “Kamu adalah
orang Arab yang terkenal paling ganteng. Apakah pantas kami menggadaikan
perempuan-perempuan kami kepadamu ?”. Ka’ab berkata kepada Muhammad bin
Maslamah, “Kalau begitu kamu gadaikan saja anak-anakmu kepadaku”.
Muhammad bin Maslamah berkata, “Itu tidak mungkin kami lakukan. Begini
saja, kami akan menggadaikan senjata kami kepadamu”. Ka’ab berkata,
“Baiklah aku setuju”.
Muhammad
bin Maslamah lalu berjanji kepada Ka’ab bahwa dia akan datang kepadanya
dengan ditemani Al-Harits, Abu ‘Absin bin Jabr dan ‘Abbad bin Bisyr.
Mereka berempat mendatangi Ka’ab pada waktu malam. Lalu mereka
memanggilnya. Isteri Ka’ab berkata kepada suaminya, “Sesungguhnya aku
mendengar seperti suara orang penumpah darah (pembunuh)”. Mendengar
ucapan isterinya itu Ka’ab berkata, “Tidak. Sesungguhnya mereka ini
hanya Muhammad bin Maslamah dan saudara sepesusuannya, Abu Nailah
(Silkan bin Salamah). Sebagai orang yang baik meskipun malam-malam
begini kalau ada tamu, akupun harus menemuinya”.
Muhammad
bin Maslamah berkata kepada rekannya, “Nanti apabila dia keluar akan
kutarik kepalanya, lalu bagian kamu semua untuk membunuhnya”. Maka
begitu Ka’ab keluar dengan berselempang pedang, mereka berkata, “Kami
mencium bau harum padamu”. Ka’ab menjawab, “Ya memang, sebab isteriku
Fulanah adalah wanita Arab yang paling pesolek”. Muhammad bin Maslamah
berkata, “Ijinkan aku untuk mencium bau harum yang ada padamu itu”.
Ka’ab berkata, “Silakan”. Maka Muhammad bin Maslamah pun menciumnya.
Kemudian dia berkata lagi, “Kalau boleh aku mengulangi sekali lagi”.
Ka’ab rupanya tidak keberatan. Kembali dia menyorongkan kepalanya kepada
Muhammad bin Maslamah. Pada saat itulah Muhammad bin Maslamah
mengomando kawan-kawannya dan merekapun membunuh Ka’ab.
Terbunuhnya Abu Rafi’ bin Huqaiq tokoh Yahudi
Ibnu
Ishak meriwayatkan dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik,bahwa kedua
golongan orang Anshar dari Aus dan Anshar dari Khazraj selalu berlomba
dalam setiap kebaikan demi Islam. Ketika kaum
Aus dapat membunuh Ka’ab bin Asyraaf, maka kaum Khazraj berkata, “Kaum
Aus dapat membunuh Ka’ab sehingga mereka dapat kemulyaan di sisi Nabi”.
Setelah itu mereka meminta izin kepada Nabi untuk membunuh musuh Islam
yang terbesar yang bernama Abu Rafi’ bin Abu Huqaiq. Setelah mereka
diizinkan oleh beliau untuk membunuhnya maka ada lima shahabat terkemuka
dari Khazraj yaitu Abdullah bin ‘Atiik, Mas’ud bin Sinan, Abdullah bin
Unais, Abu Qatadah (Al-Harits bin Rib’iy) dan Khuza’iy bin Aswad.
Untuk menjalankan tugas suci ini, Nabi memilih sebagai pimpinan adalah Abdullah bin ‘Atiik.
Setelah
sampai di Khaibar, mereka langsung menuju ke rumah Abu Rafi’. Abu Rafi’
tinggal di rumah yang bertingkat tinggi dan terpisah dari tetangganya.
Ketika mereka sampai di hadapan pintu Abu Rafi’, mereka minta izin untuk
masuk. Isteri Abu Rafi’ membukakan pintu dan menyilakan mereka masuk,
lalu mereka menutup pintu dari dalam agar tidak diketahui orang luar
setelah itu mereka membunuh Abu Rafi’ yang sedang terbaring di tempat
tidur.
‘Abdullah
bin ‘Unais menikam dengan pedangnya pada lambungnya sehingga mati.
Setelah itu mereka turun dan keluar meninggalkan tempat, namun sayang,
Abdullah bin ‘Atiik terjatuh dari atas, sehingga kakinya retak. Kemudian
para tetangga Abu Rafi’ mengadakan pengejaran terhadap kaum Muslimin
itu, namun mereka telah terlambat. Sedangkan kelima orang itu
bersembunyi untuk meyakinkan, apakah Abu Rafi’ benar-benar telah tewas
?.
Ketika
itu, Abdullah bin ‘Atiik menyelidiki dengan jalan menyelinap ke dalam
sampai tahu benar, bahwa Abu Rafi’ telah meninggal.
Kemudian
mereka datang kepada Nabi dan memberitahukan tentang kematian Abu Rafi’
dan mereka masing-masing mengaku dialah yang membunuhnya. Jawab Nabi
SAW, “Tunjukkan pedangmu masing-masing !”.
Setelah
semua pedang itu ditunjukkan pada Nabi, beliau bersabda, “Pedang inilah
yang menyebabkan kematian musuh Allah itu”, sambil menunjuk pada pedang
Abdullah bin Unais.
Terbunuhnya Ibnu Sunainah
Sehubungan
dengan perbuatan-perbuatan sebagian dari para ketua dan pemuka Yahudi
yang sengaja menunjukkan sikap permusuhan kepada Islam dan Nabi Muhammad
SAW dan mereka pada umumnya sudah tidak memperdulikan perjanjian yang
pernah diadakan dengan Nabi, maka Nabi SAW di kala itu senantiasa
mengawasi gerak-gerik mereka.
Pada suatu ketika Nabi SAW bersabda, “Siapa saja dari orang laki-laki Yahudi yang kamu jumpai, maka bunuhlah dia”.
Di kala
itu di antara orang yang mendengar sabda Nabi SAW yang sedemikian itu
ialah seorang sahabat yang bernama Muhayyishah bin Mas’ud.
Muhayyishah
setelah mendengar sabda Nabi SAW yang sedemikian itu lalu keluar dan
menjumpai seorang Yahudi yang bernama Ibnu Sunainah, seorang pedagang
besar dari bangsa Yahudi. Ia segera menjumpai Ibnu Sunainah karena
Muhayyishah telah mengetahui kejahatan dan rencana Ibnu Sunainah yang
bertujuan akan menghancurkan Islam. Dan ketika itu juga ia berhasil
membunuh Ibnu Sunainah.
Setelah
tindakan Muhayyishah ini didengar oleh kakaknya yang bernama
Huwayyishah, yang ketika itu belum mengikut Islam, maka Huwayyishah
datang kepadanya dan menegor perbuatannya. Kata Huwayyishah, “Betulkah
kamu membunuh Ibnu Sunainah ? Apakah kamu tidak ingat akan budi baiknya
kepadamu ?”.
Muhayyishah
menjawab, “Saya membunuh Ibnu Sunainah, karena menurut perintah Nabi
SAW supaya membunuhnya. Demi Allah, jika sekiranya orang yang
memerintahkan saya untuk membunuhnya itu memerintahkan agar saya
membunuhmu, tentu saya penggal lehermu juga”.
Mendengar
jawaban Muhayyishah yang sedemikian itu Huwaiyyishah bertanya lagi,
“Jadi andaikata Muhammad memerintahkan kamu supaya kamu membunuhku, kamu
membunuhku juga ?”.
Jawab
Muhayyishah, “Ya, demi Allah, jika sekiranya Muhammad memerintah saya
supaya saya memenggal lehermu, niscaya saya enggal lehermu juga”.
Mendengar
jawaban yang demikian tegasnya ini, terharulah hati Huwayyishah, lalu
ia berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ini adalah agama yang sebenarnya”.
Kemudian ia datang kepada Nabi SAW menyatakan masuk Islam.
Nabi SAW menikahkan Ummi Kultsum dengan ‘Utsman bin ‘Affan
Diriwayatkan,
bahwa ketika bulan Rabi’ul Awwal tahun ketiga Hijrah, Nabi SAW
menikahkan seorang puterinya yang bernama Ummi Kultsum dengan shahabat
‘Utsman bin ‘Affan RA. Ummi Kultsum seorang putri Nabi yang ketiga, dan
yang pernah dinikahkan dengan anak Abu Lahab yang bernama ‘Utaibah.
Shahabat
‘Utsman RA setelah ditinggal wafat oleh isterinya (Ruqayyah), lalu
diminta oleh Nabi SAW supaya menikah dengan Ummi Kultsum (adik
Ruqayyah). Oleh sebab itu, terjadilah shahabat ‘Utsman RA menikah dengan
Ummi Kultsum.
Menurut
riwayat, Ruqayyah adalah putri Nabi SAW yang kedua, setelah dewasa
dikawinkan dengan seorang pemuda bangsa Quraisy anak Abu Lahab yang
bernama ‘Utbah. Karena memang sebelum Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul
Pesuruh Allah. Hubungan beliau dengan Abu Lahab sangat baik, disebabkan
Abu Lahab adalah seorang dari paman beliau. Maka kedua putri Nabi SAW
yang bernama Ruqayyah dan Ummi Kultsum dikawinkan dengan kedua anak Abu
Lahab, yang satu bernama ‘Utbah dan satunya lagi bernama ‘Utaibah.
‘Utbah menjadi suami Ruqayyah dan ’Utaibah menjadi suami Ummi Kultsum.
Akan tetapi setelah Nabi Muhammad SAW menjadi rasul, sedangkan keadaan
Abu Lahab terus-menerus menjadi musuh Islam yang terkenal, maka kedua
putri beliau lalu diminta supaya diceraikan.
Kemudian
Ruqayyah dikawinkan dengan shahabat ‘Utsman bin ‘Affan RA. Ketika
shahabat ‘Utsman berangkat hijrah ke Habsyi, ia juga ikut berhijrah
sehingga dua kali beliau (Ruqayyah) ikut hijrah ke Habsyi karena
mengikuti suaminya yang amat setia kepada Islam itu. Dan akhirnya ketika
shahabat ‘Utsman berangkat hijrah ke Madinah, ia juga ikut dengan
setia.
Kemudian
ketika Nabi SAW berangkat ke Badar, Ruqayyah sedang menderita sakit,
hingga menyebabkan suaminya ‘Utsman tidak dapat ikut ke Badr, karena
merawat sakitnya. Kemudian sewaktu Nabi SAW beserta tentara Islam
kembali dari Badr, Ruqayyah sudah wafat, dan dikubur ketika suruhan Nabi
yang membawa khabar kemenangan sampai di Madinah. Jadi Nabi SAW ketika
tiba di Madinah Ruqayyah telah dikubur.
Dengan
demikian, ‘Utsman bin ‘Affan adalah shahabat Nabi SAW yang menjadi
menantu beliau dua kali, yaitu menjadi suami Ruqayyah dan Ummu Kultsum.
Dan sebelum Nabi SAW menikahkan Ummu Kultsum dengan ‘Utsman bin ‘Affan
tersebut, beliau juga telah menikahkan putri beliau Fathimah dengan
shahabat ‘Ali RA, yaitu pada bulan Dzulhijjah tahun kedua Hijrah. Ketika
itu Fathimah berusia kira-kira 15 tahun, sedangkan ‘Ali RA berusia
kira-kira 21 tahun.
Perkawinan Nabi SAW dengan Siti Hafshah
Diriwayatkan, ketika bulan Sya’ban tahun ketiga Hijrah, Nabi SAW menikah dengan Hafshah putri shahabat ‘Umar bin Khaththab RA.
Hafshah
sebelumnya adalah isteri seorang shahabat bernama Khunais bin Hudzaifah
As-Sahmiy. Shahabat Khunais ketika terjadi perang di Badr juga ikut
menjadi tentara Muslimin. Namun sekembali dari Badr setelah sampai di
Madinah, Khunais meninggal dunia.
Kemudian
Hafshah dinikah oleh Nabi SAW. Jadi waktu itu Nabi SAW mempunyai isteri
tiga orang, yaitu ‘Aisyah, Saudah, dan Hafshah. Dengan demikian pada
saat itu empat orang shahabat Nabi yang terbesar telah terikat oleh tali
persatuan yang amat kokohnya, yakni : shahabat Abu Bakar RA dan
shahabat Umar RA kedua-duanya telah menjadi mertua Nabi SAW,sedangkan
‘Utsman bin ‘Affan RA dan shahabat ‘Ali RA kedua-duanya telah menjadi
menantu Nabi SAW.
Fathimah melahirkan seorang putera laki-laki
Diriwayatkan,
bahwa ketika pertengahan bulan Ramadlan tahun ketiga Hijrah, Fathimah
puteri Nabi SAW (isteri shahabat ‘Ali RA) melahirkan seorang putra yang
kemudian diberi nama “Hasan” oleh Nabi SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar