1. Asal mula terjadinya perang Uhud.
Sejak kaum
musyrikin Quraisy mendapat kekalahan pada perang Badr, yang nyata-nyata
menjatuhkan kebangsaan mereka, sehingga banyak kepala-kepala dan
ketua-ketua mereka merasa lebih baik mati daripada hidup terhina, maka
perasaan dendam makin lama makin
berkobar di hati sanubari mereka. Oleh karena itu, mereka tiada
henti-hentinya berusaha dengan berbagai cara agar dapat membalas Nabi
SAW dan tentara muslimin.
Terlebih
lagi setelah angkatan perdagangan Quraisy yang besar, sesudah perang
Badr itu dapat dikejar dan dirampas oleh tentara muslimin, sehingga
mereka kesulitan mencari jalan yang akan dilewati oleh kafilah mereka ke
negeri Syam. Maka pada suatu hari kepala-kepala dan ketua-ketua Quraisy
mengadakan rapat, dimana mereka akan memutuskan bagaimana cara
melakukan pembalasan kepada tentara muslimin. Diantara kepala-kepala
dan ketua-ketua Quraisy yang datang dalam rapat itu ialah Abu Sufyan bin
Harb, Abdullah bin Rabi’ah, ‘Ikrimah bin Abu Jahl, Shafwan bin Umayyah,
Jubair bin Muth’im, Harits bin Hisyam, Ubay bin Khalaf dan
lain-lainnya.
Dalam
rapat tersebut dihadiri juga oleh perempuan-perempuan Quraisy termasuk
Hindun binti ‘Utbah (istri Abu Sufyan). ‘Abbas bin Abdul Muththalib
paman Nabi SAW juga hadir, tetapi dalam rapat tersebut dia selalu
menentang apa yang akan dilakukan kaum Quraisy. Beliau beralasan dengan
akibat-akibat seperti yang telah terjadi di Badr. Tetapi dalam rapat
tersebut beliau kalah suara, namun beliau tetap tidak mau tunduk kepada
keputusan rapat kaum Quraisy tersebut, dan beliau tidak akan ikut
menjadi tentara Quraisy.
Setelah terjadi perbincangan panjang lebar dalam rapat itu akhirnya diputuskan bahwa :
1. Angkatan
perdagangan Quraisy ke negeri Syam yang dikepalai oleh Abu Sufyan (yang
menyebabkan terjadinya perang Badr ketika itu) yang telah dapat
terlepas dari kejaran tentara Muhammad
dan dapat selamat dari bahaya itu, keuntungan dari angkatan perdagangan
tersebut harus dikeluarkan oleh masing-masing orang yang ketika itu
ikut mengirim dagangannya ke negeri Syam, kemudian harta keuntungan tadi
dikumpulkan untuk dana membalas memerangi Muhammad dan tentaranya,
serta menghancurkan kota Madinah.
2. Dari qabilah-qabilah Tihamah, Kinanah dan lain-lain dari qabilah-qabilah Arab yang berdekatan dengan kota Makkah
perlu diadakan perjanjian dengan kaum Quraisy. Yakni qabilah-qabilah
itu harus membantu kaum Quraisy untuk memerangi Muhammad dan tentaranya.
3. Perempuan-perempuan
Quraisy terutama yang kematian kaum keluarganya di Badr, harus ikut
berangkat ke peperangan, jika sewaktu-waktu kaum lelakinya jadi
memerangi Muhammad dan tentaranya.
Demikianlah keputusan rapat kaum Quraisy waktu itu. Dan keputusan ini segera akan dilaksanakan dengan sepenuhnya.
Menurut riwayat, bahwa harta benda dari keuntungan perdagangan tersebut sebanyak 50.000 dinar.
Harta tersebut akan digunakan untuk membiayai pasukannya yang akan
melakukan pembalasan memerangi Nabi SAW dan tentara muslimin. Berkenaan
dengan hal itu Allah menurunkan wahyu kepada Nabi SAW :
اِنَّ
الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوْا عَنْ
سَبِيْلِ اللهِ فَسَيُنْفِقُوْنَهَا ثُمَّ تَكُوْنُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً
ثُمَّ يُغْلَبُوْنَ، وَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا اِلى جَهَنَّمَ يُحْشَرُوْنَ.
الانفال:36
Sesungguhnya
orang-orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi
(orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian
menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam
neraka Jahannam lah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan. [QS. Al-Anfaal : 36]
Dengan
ayat ini berarti bahwa harta benda yang mereka belanjakan untuk
menghalang-halangi agama Allah, akibatnya akan menjadikan sesalan bagi
mereka sendiri. Kemudian di masa mereka hidup di dunia akan dikalahkan,
dan kelak di hari kemudian mereka akan dihalau dan dihimpun ke neraka
jahannam.
2. Angkatan tentara kaum musyrikin
Selanjutnya,
kepala-kepala Quraisy mengadakan persiapan untuk berangkat memerangi
Nabi SAW dan tentara muslimin. Mereka mengumpulkan tentaranya, lalu
dihitung dan ternyata lebih dari 3.000 orang, diantaranya 200 orang yang
berkuda dengan bersenjata lengkap sebagai pahlawan-pahlawan mereka. Dan
yang lain semuanya berkendaraan unta, dan 700 orang memakai baju besi.
Kepala dan ketua-ketua Quraisy ketika itu tidak ada yang ketinggalan.
Angkatan tentara mereka dikepalai oleh Abu Sufyan. Budak-budak mereka
pun disuruh keluar oleh majikannya supaya ikut serta menjadi tentara
dengan dikepalai oleh Abu ‘Amir Ar-Rahib, Al-Ausi yang datang dari Madinah
karena benci kepada Rasulullah SAW. Dan juga diikuti oleh kepala-kepala
perempuan Quraisy, diantaranya Hindun binti ‘Utbah (istri Abu Sufyan),
dan dialah yang menjadi kepalanya, Ummu Hakim (isteri ‘Ikrimah), Barzah
binti Mas’ud (isteri Shafwan bin Umayyah), Fathimah binti Walid (isteri
Harist bin Hisyam), Raithah binti Munabbih (isteri ‘Amr bin ‘Ash).
Pendek kata waktu itu barisan tentara musyrikin lebih dari 3.000 orang
banyaknya.
Diantara
barisan musyrikin ada seorang budak belian bangsa Habsyi bernama Wahsyi
(ahli lempar lembing dan jarang sekali meleset), diberi janji oleh
majikannya,“Jika kamu dapat membunuh Hamzah paman Muhammad, nanti kamu akan kami merdekakan”.
Dan ada pula penyair yang terkenal bernama Abu ‘Azzah (‘Amr bin
‘Abdillah), yang ia ketika tertawan oleh tentara muslimin di Badar lalu
dibebaskan oleh Nabi SAW dengan tidak membayar tebusan sepeser pun.
Tetapi ia berjanji tidak akan mengganggu Islam dan tidak akan memerangi
kaum muslimin. Ia diminta oleh Shafwan bin Umayyah supaya ikut berangkat
memerangi kaum muslimin, dan supaya membuat syair-syair yang berisi
ejekan kepada tentara Islam dan menggirangkan kaum Quraisy. Ketika itu
ia menjawab, “Saya sudah berjanji tidak akan memusuhi Muhammad dan kaumnya, maka dari itu jika saya tertawan lagi, tentu saya dibunuh”.
Ia
terus-menerus diminta oleh Shafwan supaya ikut berangkat, maka akhirnya
ia berangkat dan dijadikan tukang sya’ir bagi tentara musyrikin.
Kemudian
tentara musyrikin sebanyak 3.000 orang lebih, berangkat menuju ke
Madinah dengan dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Ketika itu mereka
tidak lupa membawa tuhan mereka yang paling besar ialah berhala Hubal,
dan tidak lupa dengan diiringkan oleh perempuan-perempuan penyanyi,
perempuan-perempuan ronggeng dan perem-puan-perempuan penghibur, untuk
memberikan semangat kepada mereka, dan juga membawa bunyi-bunyian
seperti tambur dan lain sebagainya. Dan minuman keraspun dibawa
sebanyak-banyaknya.
3. Abbas bin Abdul Muththalib mengirim surat kepada Nabi SAW
Kemudian
Abbas bin Abdul Muththalib mengirim sepucuk surat kepada Nabi SAW di
Madinah dengan perantaraan seorang dari Banu Ghifar yang sanggup membawa
surat dengan cepat, dengan upah yang secukupnya, asal surat itu dapat
sampai kepada Nabi SAW dalam waktu paling lambat tiga malam. Dalam surat
tersebut beliau mengkhabarkan kepada Nabi SAW tentang segala apa yang
akan dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap Nabi dan kaum muslimin.
Dengan
secepatnya, utusan ‘Abbas tersebut dalam waktu tiga hari tiga malam
telah sampai di Quba’. Dan kebetulan waktu itu Nabi SAW sedang
berjalan-jalan di sana dengan berkendaraan keledai dan tengah berhenti
di muka pintu masjid Quba’.
Setelah
menerima surat, lalu Nabi SAW segera memberikan kepada shahabat Ubay bin
Ka’ab RA supaya dibacakannya. Setelah surat itu dibaca oleh Ubay, Nabi
SAW berpesan kepadanya, “Supaya isi surat itu dirahasiakan dulu, dan
jangan disiarkan kepada orang lain”.
4. Persiapan tentara kaum muslimin
Setelah
menerima surat dari pamannya (‘Abbas) tersebut, maka Nabi SAW segera
kembali dari Quba’. Pada malam harinya, dalam tidurnya Nabi SAW bermimpi
demikian : Seekor lembu disembelih, ujung pedang beliau sumbing, pedang
beliau yang bernama Dzulfaqar terlepas dari sarungnya, tangan beliau
dimasukkan ke dalam baju besinya yang kokoh, dan beliau mengiringkan
seekor kibasy.
Kemudian keesokan harinya beliau menceritakan mimpi itu serta menerangkan kepada kaum muslimin yang ada di hadapannya.
Dan ketika beliau menceritakan mimpi tersebut, ada sebagian dari shahabat-shahabat yang hadir bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana ta’wil mimpi tuan itu ?”.
Nabi SAW lalu menerangkan, “Lembu
yang disembelih itu, ialah sebagaian dari shahabatku akan terbunuh.
Ujung pedangku sumbing ialah seorang dari keluargaku akan terbunuh.
Pedangku Dzulfaqar terlepas dari sarungnya ialah akan adanya dua perkara
yang hebat. Tanganku kumasukkan ke dalam baju besi yang kokoh itu ialah
kita harus di dalam kota Madinah, jangan sampai kita keluar dari
Madinah, dan jika ada musuh yang datang dari luar, haruslah kita hadapi
dan kita perangi di dalamnya (Madinah), adapun kibasy yang kuiringkan
itu, ialah aku akan membunuh seorang pembesar kaum”.
Demikianlah
ta’wil beliau terhadap impiannya, kemudian beliau mengadakan rapat
dengan kaum Muslimin, terutama ketua-ketua shahabatnya, seperti Abu
Bakar, Umar dan lain-lainnya untuk menghadapi musuh yang akan datang
menyerang itu. Apakah akan keluar dari Madinah ataukah tidak.
Dalam
rapat itu, Nabi SAW mengemukakan pendapatnya yaitu tidak usah keluar
dari Madinah. Lebih baik berjaga-jaga dan bersiaga di dalam kota saja.
Karena di sekeliling kota Madinah sudah penuh gunung-gunung dan
bukit-bukit laksana benteng yang kokoh, dan tidak mudah diserang oleh
musuh. Maka jika musuh datang dari luar lalu berhenti tidak menyerang,
biarlah mereka berhenti dengan sejelek-jeleknya, dan jika mereka terus
menerus menyerang maka tentara muslimin harus menolak serangan mereka
dengan sehebat-hebatnya.
Pendapat
Nabi SAW yang demikian ini sama dengan pendapatnya ‘Abdullah bin Ubay
bin Salul (kepala munafiqin) dan didukung para shahabat angkatan tua.
Tetapi oleh sebagian besar dari shahabat angkatan muda yang dipimpin
oleh shahabat Hamzah RA menolak pendapat itu dengan
mengemukakan berbagai alasan yang kuat dan bagus. Maka dalam rapat itu
terjadi dua pendapat.
Pihak pertama, berpendapat bahwa tidak usah keluar, mereka berkata, “Sebaiknya
kita tidak usah keluar, kita bertahan saja di dalam kota, menunggu
sampai musuh datang dan masuk, kemudian mereka itu baru kita serang.
Pendapat ini dikuatkan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang
pembesar kaum munafiq yang sudah banyak pengalamannya tentang berperang
mempertahankan kota Madinah. Dia berkata, “Pengalaman memberi pengajaran
kepada kami, bahwa untuk mempertahankan kota ini sebaiknya kita
bersikap menanti di dalam, karena setiap kami bertahan di dalam selalu
mendapat kemenangan, sebaliknya setiap kami keluar menghadapi musuh di
luar kota, kami selalu mendapat kekalahan”.
Selanjutnya ia berkata, “Sesungguhnya
keadaan sekeliling kota ini merupakan tembok yang sangat kokoh kuat
sebagai benteng, dan inilah kota pertahanan yang sangat baik. Selain
dari itu, kalau kita berperang di dalam kota, para perempuan kita dan
anak-anak kita dapat membantu, di jalan-jalan kita berkelahi dengan
senjata, dan jika perlu kita bertempur, sedang dari atas rumah kita
masing-masing para perempuan dan anak-anak kita dapat menolong melempari
batu kepada fihak musuh. Demikian inilah cara peperangan yang telah
kita kuasai turun-temurun dari orang-orang tua kita untuk mempertahankan
kota ini, dan dengan pembelaan secara demikian inilah kami senantiasa
mendapat kemenangan. Maka saya harap sekali lagi ya Rasulullah,
mudah-mudahan engkau mau mendengarkan pendapat dan pertimbangan saya
yang telah saya kemukakan ini” :
Pendapat kedua dari angkatan muda yang dipimpin oleh Hamzah yang memilih menyongsong musuh di luar kota, mereka berkata : Kita
hendaklah keluar dari kota untuk menyambut dan menyongsong kedatangan
musuh. Karena kita tidak ingin melihat tentara Quraisy nanti pulang
dengan membuka mulut besar dan mengatakan, “Kami telah mendatangi dan
mengepung tentara Muhammad di dalam rumah, sehingga tidak berani
keluar”. Karena telah menjadi kebiasaan bagi mereka itu congkak dan
sombong, dan suka bermulut besar.
Selanjutnya Hamzah berkata, “Sekarang
mereka telah menginjak-injak tanah perkebunan kita yang ada di
sekeliling kota ini, dan sudah menunjukkan kesombongan mereka. Mereka
sudah setahun lebih mengumpulkan kekuatan dan senjata untuk menyerang
kita. Para kawan sekutu mereka dari seluruh pelosok tanah ini telah
mereka tarik sebanyak-banyaknya, bahkan budak-budak, binatang unta dan
kuda mereka semua telah dikerahkan kemari, ke tanah perkebunan kita.
Oleh sebab itu, apakah segala perbuatan congkak dan sombong dari mereka
itu akan kita biarkan dan kita diamkan saja, ya Rasulullah. Jika kita
bertindak sedemikian rupa, berarti kita membiarkan mereka bersikap
congkak, berkelakuan sombong dan berbuat sewenang-wenang dan tentulah
mereka itu akan bertambah manja, bertambah berani mengepung dan
menyerang kita berulang-ulang, yang selanjutnya mereka akan menghancur
binasakan kita”.
Demikianlah pihak
angkatan muda dengan semangat yang menyala-nyala dan perkataan yang
berapi-api mengemukakan pendapatnya di hadapan Nabi SAW, supaya pihak
musuh itu disambut dan disongsong di luar kota, jangan dibiarkan
mendekat atau masuk ke dalam kota. Selanjutnya mereka mengatakan sebagai
penutup uraiannya, kepada Nabi SAW, “Ya Rasulullah, apa yang kita
khawatirkan dan apa pula yang kita takutkan ?, jika kita menang, itulah
yang kita harapkan, dan jika kita kalah, kita mati sebagai syahid,
tempat kita sudah disediakan di dalam surga, di hadlirat Allah SWT”.
Oleh
karena Nabi SAW melihat suara yang menuntut supaya keluar dari kota itu
lebih banyak, padahal wahyu dari Allah yang memberitahukan tentang hal
tersebut itu tidak ada, maka beliau mengambil keputusan dalam rapat itu,
menurut suara yang terbanyak.
Memang
sudah menjadi kebiasaan bagi Nabi SAW bilamana terjadi suatu peristiwa
mengenai urusan keduniaan, padahal belum didapat keterangan dari wahyu,
maka beliau mengambil dasar untuk memutuskan dengan musyawarah yang
didatangi oleh para shahabat yang dipandang cakap dan dapat ikut
bermusyawarah. Dalam musyawarah itu jika timbul suatu perselisihan
pendapat, maka suara terbanyak yang dipakai sesudah dibicarakan dengan
baik. Akhirnya keputusan diambil dengan suara bulat bahwa kaum muslimin
akan keluar dari kota Madinah untuk menghadapi dan menyongsong musuh di
luar kota.
Sehabis
shalat Jum’at (tanggal 10 Syawwal tahun ke-3 Hijrah) dan pimpinan ummat
Islam di Madinah telah diserahkan kepada ‘Abdullah bin Ummi Maktum, lalu
beliau pergi sebentar menshalatkan jenazah shahabat Anshar bernama
Malik bin ‘Amr yang meninggal pada hari itu.
Sehabis
shalat ‘Ashar bersama shahabat, beliau masuk ke rumahnya untuk memakai
pakaian perang. Kemudian beliau keluar dengan menyandang pedang dan
perisai. Sementara itu di kalangan shahabat terjadi keributan tentang
jadi keluar kota atau bertahan di dalam kota.
Waktu itu
orang ramai membicarakannya kembali, dan ada yang takut kalau-kalau hal
tersebut melanggar suatu ketentuan dari Allah. Oleh karena itu diantara
mereka ada yang berkata, “Mengapa kalian memaksa Rasulullah supaya
keluar dari kota Madinah untuk menyongsong musuh, dan mengapa kalian
menolak pendapat beliau ?”. Sebagian lagi ada yang berkata, “Alangkah baiknya tentang hal ini kita serahkan saja pada beliau, dan kita tinggal menthaatinya”. Ada shahabat yang berkata kepada Rasulullah SAW, “Ya
Rasulullah, kami tidak memaksa engkau. Kami tidak akan menyalahi
perintah engkau. Berbuatlah mana yang engkau kehendaki, dan kami akan
thaat kepada engkau”.
Pada waktu itu beliau menjawab, “Tidak
pantas bagi seorang Nabi yang telah menyandang pakaian perangnya akan
meletakkannya kembali sehingga Allah memberikan keputusan antaranya dan
antara musuh-musuhnya”. Kemudian Nabi SAW menyerahkan tiga bendera
kepada tiga orang shahabat, yaitu bendera Islam dari kaum Muhajirin
diserahkan kepada Mus’ab bin ‘Umair, bendera tentara Islam golongan ‘Aus
diserahkan kepada Usaid bin Hudlair dan bendera tentara Islam golongan
Khazraj diserahkan kepada Hubbab bin Mundzir.
Nabi SAW
keluar dari Madinah bersama 1.000 orang kaum muslimin, yang berjalan di
depan beliau adalah shahabat Sa’ad bin ‘Ubadah, dan diantara mereka yang
berkuda hanya 2 orang, dan yang memakai baju besi sebanyak 100 orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar