6. Utusan Quraisy Kembali Ke Makkah Dengan Tangan Hampa
Sehubungan hasutan-hasutan utusan Quraisy kepada kaum
Muslimin yang dikemukakan kepada baginda raja Habsyi, maka shahabat
Ja'far memohon kepada baginda raja, untuk menanya kepada mereka.
Ja'far berkata : "Hai baginda raja, tanyakanlah kepada kedua (utusan Quraisy) itu, apakah kami ini
hamba sahaya ataukah orang-orang merdeka ? Maka jika kami ini hamba
sahaya, adakah kami melarikan diri dari tuan-tuan kami. Maka jika memang
demikian, kami mohon baginda mengembalikan kami kepada mereka".
Kemudian
kedua utusan Quriasy itu lalu ditanya oleh baginda raja sebagaimana
permohonan Ja'far bin Abu Thalib tsb. Maka kedua utusan Quraisy itupun
menyatakan bahwa kaum Muslimin tersebut adalah orang - orang merdeka.
Kemudian Ja'far berkata lagi : "Tanyakanlah
wahai baginda raja kepada mereka berdua, apakah kami pernah menumpahkan
darah secara tidak benar sehingga ia boleh menuntut balas dari kami dan apakah kami mengambil harta benda orang banyak secara tidak benar, lalu kami wajib membayarnya ?"
Oleh baginda raja mereka itu ditanya pula, dan mereka pun menjawab : "Tidak !"
Ja'far bertanya lagi : "Adakah kami mempunyai hutang kepada mereka, yang wajib kami bayar ?"
Oleh baginda raja mereka itu ditanya pula dan mereka menjawab : "Tidak !"
Setelah
selesai tanya jawab antara shahabat Ja'far bin Abu Thalib dan utusan
Quraisy dengan perantaraan raja Habsyi, maka baginda raja lalu berpaling
kepada utusan Quraisy seraya berkata : "Pergilah kamu keduanya dari
sini ! Demi Allah, kami tidak akan menyerahkan mereka itu kepadamu
selama-lamanya, walaupun kamu memberikan gunung emas kepadaku !"
Lantas baginda raja berkata kepada para prajurit yang ada disampingnya : "Kembalikanlah kepada keduanya hadiah-hadiah yang mereka bawa karena kami tidak butuh kepada hadiah-hadiah itu !"
Kemudian semua hadiah dari dua orang utusan Quraisy itu oleh para prajurit dan pengawal raja dikembalikan kepada mereka.
Maka
setelah kedua orang utusan Quraisy itu mendengar perkataan raja Habsyi
demikian itu, mereka masing-masing merasa amat kecewa, karena semua
perkataan mereka yang berisi hasutan itu tidak dihiraukan dan tidak
berguna sama sekali. Dan akhirnya mereka pulang ke Makkah dengan tangan hampa dan tidak membawa hasil sedikitpun.
7. Wahyu Allah Yang Turun Berkenaan Dengan Peristiwa Tersebut
Menurut suatu riwayat sebelum raja Najasyi melahirkan ke Islamannya, baginda raja bertanya juga kepada Ja'far bin Abu Thalib : "Apa kata shahabatmu (Muhammad) tentang anak Maryam ?"
Ja'far menjawab : "Beliau
mengatakan bahwa anak Maryam itu Ruh Allah dan Kalimah-Nya, Allah telah
mengeluarkannya dari gadis perawan (Maryam) yang belum pernah didekati
oleh seorang manusiapun"
Dengan jawaban yang singkat ini, mengertilah baginda raja dan sekalian pendeta yang ada
dihadapannya, dan seketika itu juga mereka lalu mengikut Islam. Dan
berkenaan dengan terjadinya peristiwa tersebut, pada waktu itu Allah
menurunkan wahyu-Nya kepada Nabi SAW surat Al-Maidah ayat 82 s/d 86 yang
artinya :
Sesungguhnya
kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap
orang-orang Mukmin ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik. Dan
sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan
orang-orang Mukmin ialah orang-orang yang berkata : "Sesungguhnya kami
ini orang Nashrani". Yang demikian itu disebabkan karena di antara
mereka terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, dan karena sesungguhnya
mereka tidak menyombongkan diri.
Dan
apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul Muhammad),
kamu lihat air mata mereka bercucuran disebabkan kebenaran (Al-Qur'an)
yang telah mereka ketahui seraya berkata : "Ya Tuhan kami, kami telah
beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas
kebenarannya).
Mengapa
kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang
kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami
ke dalam golongan orang-orang yang shaleh ?"
Maka
Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan,
(yaitu) surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka
kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat
kebaikan.
Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni neraka. [Al-Maidah : 82 - 86]
8. Nama-nama Kaum Muslimin Yang Hijrah Ke Habsyi Pada Kali Yang Kedua
Adapun nama-nama kaum Muslimin yang berhijrah ke Habsyi yang ke dua kali tersebut adalah sebagai berikut :
1. Ja'far
bin Abu Thalib, 2. Isterinya, Asmaa' binti 'Amis, 3. 'Utsman bin
'Affan, 4. Isterinya, Ruqayyah binti Muhammad Rasulullah, 5. Abu
Salamah, Abdullah bin Abdul Asad, 6. Isterinya, Hindun Ummu Salamah, 7.
Abu Sabrah bin Abi Rahmi, 8. Isterinya, Ummu Kultsum binti Suhail, 9.
Khalid bin Sa'id, 10. Isterinya, Umainah binti Khalaf, 11. 'Amr bin
Sa'id, 12. Isterinya, Fathimah binti Shafwan, 13. Qais bin 'Abdullah,
14. Isterinya, Barakah binti Yasar, 15. Jahm bin Qais, 16. Isterinya,
Ummu Harmalah, 17. 'Amir bin Rabi'ah, 18 Isterinya, Laila binti Abu
Hatsamah, 19. Abu Hudzaifah bin 'Uthbah, 20. Istrinya Sahlah binti
Suhail, 21. Muththalib bin Azhar, 22. Isterinya, Ramlah binti Abu 'Auf,
23. Harits bin Khalid, 24. Isterinya, Raithah binti Harits, 25.
Khaththab bin Al-Harits, 26. Isterinya, Fukaihah binti Yasar, 27. Hathib
bin Al-Harits, 28. Isterinya, Fathimah binti Mujallal, 29. Malik bin
Zam'ah, 30. Isterinya, 'Amrah binti As-Sa'diy, 33. Sakran bin 'Amr, 34.
Isterinya, Saudah binti Zam'ah, 35. 'Ubaidullah bin Jahsy, 36.
Isterinya, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, 37. Abdullah bin Jahasy, 38.
Mu'aiqib bin Abu Fathimah, 39. Zubair bin Al-Awwam, 40. 'Utbah bin
Ghazwan, 41. Al-Aswad bin Naufal, 42. Yazid bin Zam'ah, 43. Miqdad bin
Al-Aswad, 44. Mush'ab bin 'Umair, 45. Thulaib bin 'Umair, 46. Suwaibith
bin Harmalah, 47. Abur-Rum bin 'Umair, 48. Firas bin Nadlar, 49.
'Abdurrahman bin 'Auf, 50. 'Amir bin Abi Waqqash, 51. 'Abdullah bin
Mas'ud, 52. 'Utbah bin Mas'ud, 53. 'Umar bin Umayyah, 54. 'Amr bin
'Utsman, 55. Syammas bin Utsman, 56. Habbar bin Sufyan, 57. Mu'attib bin
'Auf, 58. 'Utsman bin Madh'un, 59.Qudamah bin Madh'un, 60. Sa'ib bin
Ustman, 61. Abdullah bin Madh'un, 62. Muhammad bin Hathib, 63. Harits
bin Hathib, 64. Junadah bin Sufyan, 65. Jabir bin Sufyan, 66. Utsman bin
Rabi'ah, 67. Abdullah bin Harits, 68. Khunais bin Hudzafah, 69. Qais
bin Hudzafah, 70. Abdullah bin Hudzafah, 71. Harits bin Qais, 72. Ma'mar
bin Al-Harits, 73. Bisyr bin Harits, 74. Abu Qais bin Al-Harits, 75.
Sa'id bin 'Amr, 76. Sa'id bin Muhasysyim, 77. Mahmiyah bin Jaz-in, 78.
Sa'id bin Harits, 79. 'Umair bin Ri-ab, 80. Ma'mar bin Abdullah, 81.
Urwah bin Abdul 'Uzza, 82. 'Ady bin Nadllah, 83. Abdullah bin Makhramah,
84. 'Abdullah bin Suhail, 85. Salith bin 'Amr, 86. Hathib bin 'Amr, 87.
Sa'ad bin Khaulah, 88. Abu 'Ubaidah Amir bin Al-Jarrah, 89. Suhail bin
Baidla', 90. 'Utsman bin Abdi Ghanmin, 94. Sa'ad bin Abdi Qais, 95.
Harits bin Abdi Qais, 96. Abdullah bin Sufyan, 97. Hisyam bin Abi
Hudzaifah, 98. Salamah bin Hisyam, 99. Syurahbil bin Hasanah, 100.
'Ammar bin Yasir, 101. Ummu Aiman Al-Habasyiyyah, dia mengikuti Ruqayyah
binti Muhammad (isteri Utsman bin Affan).
Jumlah
kaum Muslimin dan Muslimat yang berhijrah ke Habsyi kali ke dua tersebut
berjumlah 101 orang, lebih banyak dari jumlah yang tinggal di Makkah
bersama Nabi SAW. Adapun yang tidak ikut berhijrah, menurut riwayat
adalah 52 orang lelaki dan 29 orang perempuan.
9. Keadaan Nabi SAW Selama Diboikot
Menurut
riwayat, pemboikotan itu berlangsung selama kurang lebih tiga tahun.
Selama itu Nabi SAW dan kaum keluarganya serta kaum Muslimin yang tidak
ikut berhijrah ke negeri Habsyi, begitu pula segenap keluarga kaum bani
Hasyim dan bani Muththalib, menanggung bermacam-macam kesulitan dan
kesengsaraan dalam hidupnya. Dalam masa selama itu putuslah hubungan
mereka dengan segenap qabilah-qabilah Arab umumnya dan dengan kaum
Quraisy penduduk Makkah khususnya. Mereka tidak dapat lagi bertemu dan
berhubungan dengan siapapun, selain di dalam bulan-bulan Haram
(Muharram, Rajab, Dzulqo'dah, Dzulhijjah), bulan-bulan yang dihormati,
dimuliakan dan disucikan oleh segenap bangsa Arab, karena dalam
bulan-bulan tersebut segala permusuhan dan rasa dendam peperangan dan
balas dendam harus dilupakan dan diberhentikan. Di masa pemboikotan itu
semua orang yang tinggal di dalam Syi'ib yang letaknya di sebuah celah
bukit di luar kota Makkah, sampai makan daun-daun dan kulit-kulit pohon
yang tipis, karena tidak mendapatkan bahan makanan dari luar.
Namun
demikian, masih ada sebagian diantara orang-orang Quraisy yang masih ada
hubungan famili atau kerabat dengan orang-orang yang diboikot tersebut
yang masih punya perikemanusiaan. Mereka itu tidak tega melihat
penderitaan orang-orang yang diboikot tersebut.
Golongan
inilah yang sewaktu-waktu mengirimkan makanan dan sebagainya dengan
sembunyi-sembunyi pada waktu tengah malam kepada mereka yang sedang
terpisah dan terboikot di dalam Syi'ib itu. Karena mereka takut
kalau-kalau perbuatan mereka itu sampai diketahui oleh mata-mata kaum
Quraisy.
Inilah
suatu macam kesengsaraan dan kemiskinan yang diderita oleh Nabi SAW dan
kaum Muslimin pada masa itu. Meskipun demikian, Nabi SAW dan segenap
kaum Muslimin tetap tenang serta teguh mengerjakan perintah-perintah
Allah dengan sepenuhnya.
Selama
terjadi pemboikotan itu, Nabi SAW menyiarkan agama Islam, hanya di dalam
Syi'ib saja. Tentu saja penyiaran atau da'wah itu hanya tertuju kepada
orang-orang yang ikut terboikot tersebut, kecuali pada bulan-bulan
Haram. Pada masa itu Nabi SAW dapat menyiarkan Islam atau berda'wah di
luar Syi'ib, kepada orang banyak, baik kepada penduduk Makkah maupun
kepada orang-orang yang datang dari luar kota, karena telah ditetapkan
oleh undang-undang bangsa Quraisy sendiri, bahwa pada bulan-bulan Haram,
tidaklah diperkenankan bagi siapapun melakukan perbuatan menganiaya.
Maka selama kurang lebih tiga tahun itu, terutama pada musim Hajji Nabi
SAW dan pengikut-pengikutnya terbebas dari penganiayaan dan kekejaman
kaum musyrikin Quraisy. Sebab itu dapatlah Nabi SAW menyiarkan da'wahnya
kepada orang-orang yang sama mengerjakan 'ibadah Hajji baik kepada
bangsa Quraisy maupun kepada bangsa-bangsa Arab lainnya.
Sekalipun
demikian, namun Abu Lahab dan kawan-kawannya sedikitpun tidak senang
melihat Nabi SAW dapat leluasa berda'wah pada tiap-tiap musim Hajji itu.
Lantaran itu, bilamana Nabi SAW berdakwah kepada orang banyak dan
khalayak ramai tentang agama yang dibawa oleh beliau, Abu Lahab selalu
mengikuti di belakang beliau seraya memfitnah kepada beliau dengan
cara-cara yang sangat bengis dan kejam.
10. Rusaknya Shohifah (Naskah Undang-Undang Pemboikotan)
Pada
suatu waktu, ketika Nabi SAW sedang tidur, beliau bermimpi; Allah
memberitahukan kepada beliau, bahwa naskah undang-undang pemboikotan,
yang digantungkan di dalam Ka'bah, telah rusak dan hancur dimakan rayap,
kecuali kertas yang ada tulisan yang berbunyi :
بِـاسْمِكَ اللّـهُمَّ (Atas nama Engkau, ya Allah !)
Oleh sebab itu Nabi SAW lalu memberitahukan hal tersebut kepada paman beliau yang tercinta, yaitu Abu Thalib.
Paman beliau sangat terkejut ketika mendengar apa yang beliau nyatakan. Lantas bertanya kepada beliau : "Apakah Tuhanmu telah memberitahukan kepadamu tentang hal itu ?"
Nabi SAW menjawab : "Ya"
Abu Thalib bertanya lagi : "Sungguhkah perkataanmu itu ? Tidak berdustakah engkau kepadaku ?"
Nabi SAW menjawab : "Ya, demi Allah ! Sungguh dapat dibuktikan".
Lalu pada
suatu hari Abu Thalib mengajak sebagian orang dan keluarga bani Hasyim
dan bani Muththalib yang gagah berani mendatangi kepala-kepala dan
pembesar-pembesar bangsa Quraisy di Masjid.
Setelah
Abu Thalib datang, mereka menyangka bahwa kedatangannya itu akan
menyerahkan Muhammad untuk dibunuh. Karena mereka mengetahui bahwa Abu
Thalib dan orang-oang yang ikut diboikot telah sama menderita kelaparan
dan menanggung kesengsaraan dalam hidupnya masing-masing.
Kemudian Abu Thalib meyatakan maksud kedatangannya kepada mereka itu sebagai berikut : "Demi
Allah ! kami keluar dari Syi'ib kemari ini bukanlah untuk menyerahkan
keponakan saya (Muhammad), dan bukanlah kami akan minta ampun kepadamu
semua, tetapi kami akan memberitahukan kepada kalian akan suatu hal yang
amat penting, yang barangkali dapat mendatangkan perdamaian antara kami
dan kamu semua. Yakni : Muhammad telah menyampaikan suatu berita
kepadaku, dan perkataannya itu disertai sumpah didepanku dan aku
percaya, bahwa dia tidak akan berdusta kepadaku. Memang dia sejak kecil
adalah seorang yang tidak pernah berdusta, sebagaimana kamu semua telah
maklum. Adapun perkataannya demikian : "Tuhan telah menyuruh anai-anai
(rayap) ke dalam Ka'bah, supaya memakan kertas yang berisi naskah
undang-undang pemboikotan kalian terhadap kami. Lantaran itu sekarang
surat (naskah) undang-undang pemboikotan itu telah rusak dan hancur
dimakan anai-anai, kecuali kertas yang tertulis lafadh yang berbunyi : "Bismika Alloohumma !" Demikianlah
kata Muhammad. Oleh sebab itu, marilah sekarang kita lihat naskah
undang-undang itu untuk membuktikan perkataan Muhammad itu ! Jikalau
perkataan Muhammad itu tidak benar, maka kami rela menyerahkan Muhammad
kepada kamu semua, dan perbuatlah sekehendakmu kepadanya. Tetapi,
jikalau perkataan Muhammad itu terbukti, maka hal itu benar-benar
menunjukkan, bahwa undang-undang pemboikotan itu tidak diperkenankan
oleh Tuhan sekalian alam, bahkan boleh jadi orang-orang yang membuatnya
terkutuk dan dimurkai-Nya".
Setelah
pembesar-pembesar dan ketua-ketua bangsa Quraisy mendengar perkataan Abu
Thalib yang demikian itu, maka mereka ingin membuktikan kebenaran hal
yang dikatakannya. Mereka lalu masuk ke dalam Ka'bah. Akhirnya mereka
masing-masing melihat dengan mata kepala, bahwa naskah undang-undang
pemboikotan itu benar-benar telah rusak, kecuali kertas yang
bertuliskan "Bismika Alloohumma !" yang tidak dimakan rayap.
Oleh sebab itu Abu Thalib lalu berkata kepada mereka : "Mengapa
kamu semua senang mengepung dan memboikot kami ? Sedangkan perbuatan
kamu yang demikian itu nyata-nyata menganiaya dan menyiksa kami yang
akhirnya dapat pula memutuskan persaudaraan antara kami dan kamu semua
?".
Salah seorang dari mereka menjawab : "Abu Thalib ! Hal ini adalah karena sihir keponakanmu semata, dan tidak akan terjadi kalau tidak karena sihir itu".
Mendengar
jawaban mereka semacam itu, Abu Thalib tersenyum. Kemudian bersama-sama
dengan orang-orang yang mengiringkannya memohon kepada Allah :"Ya
Allah ! Berilah kami pertolongan ~untuk mengalahkan~ orang-orang yang
telah menganiaya kami dan memutuskan kasih sayang kami, dan yang telah
menghalalkan barang yang diharamkan atas kami".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar