11. Perselisihan Diantara Para Pembesar Quraisy
Setelah peristiwa rusaknya shahifah undang-undang pemboikotan, maka antara
para pembesar musyrikin Quraisy timbul perselisihan dan pertengkaran.
Karena sebagian berpendapat bahwa rusaknya itu adalah karena disihir
oleh Nabi Muhammad
SAW. Sebagian lagi berpendapat bahwa rusaknya itu karena lamanya,
sehingga sebaiknya kertasnya diganti dengan kertas yang baru dan
pemboikotan harus diteruskan. Dan sebagian lainnya lagi berpendapat
bahwa undang-undang pemboikotan itu harus dihapuskan dan pemboikotan
harus dihentikan, karena nyata-nyata bahwa pemboikotan itu telah sangat
menganiaya, maka tidaklah sepatutnya perbuatan yang semacam itu
dilanjutkan.
Timbulnya
perselisihan pendapat diantara mereka itu menyebabkan timbulnya
pertikaian dan percekcokan diantara mereka, dan dari hari ke hari timbul
pertengkaran yang hebat, yang sangat membahayakan, dan timbullah
permusuhan diantara mereka sendiri, sehingga hampir saja timbul
pertumpahan darah.
Menurut riwayat bahwa yang mula-mula menganjurkan supaya undang-undang pemboikotan itu dihapuskan adalah Hisyam bin 'Amr. Ketika itu dia menemui Zuhair bin Umayyah dan berkata : "Hai Zuhair ! Apakah engkau telah puas dan senang, jika engkau memakan makanan yang enak-enak dan berpakaian
yang baik-baik, dan berkawin dengan orang-orang perem-puan, sedang
engkau mengetahui bahwa saudara-saudaramu dari Bani Hasyim dan
Muththalib mengalami kesulitan, menderita kelaparan dan kekurangan
pakaian, dan tidak boleh mengadakan hubungan perkawinan sebagaimana
mestinya ?"
Zuhair menjawab : "Bagaimana cara kita hendak menghapuskan hal ini, sedang aku tidak berkawan ? Sudah barang tentu aku tidak senang melihat perbuatan yang sekejam itu. Seandainya aku ada kawan seorang saja, tentu aku berani merobek-robek naskah undang-undang pemboikotan itu".
Hisyam bin 'Amr berkata : "Aku sanggup menjadi kawanmu !"
Zuhair berkata : "Ya, kalau begitu, sekarang sebaiknya kita mencari kawan seorang lagi. Jadi kita nanti bertiga".
Hisyam berkata : "Ya sebaiknya begitu, kalau bisa".
Kemudian Hisyam dan Zuhair pergi ke rumah Mutha'im bin 'Ady. Setelah mereka bertemu dengan Mutha'im lalu berkata : "Hai Mutha'im ! Apakah engkau senang dan sampai hati merusak orang-orang dari keturunan 'Abdu Manaf ?"
Mutha'im menjawab : "Tentu saja tidak. Tetapi apa boleh buat, sebetulnya aku ingin menolong tapi aku tidak ada kawan".
Hisyam dan Zuhair berkata : "Kami sanggup menjadi kawanmu, jikalau kamu sungguh-sungguh akan menolong mereka".
Mutha'im berkata : "Betulkah perkataanmu berdua itu ? Jika demikian mari kita bekerja bersama-sama ! Tetapi kalau dapat, mari kita mencari kawan seorang lagi, jadi nanti kita berempat".
Hisyam dan Zuhair berkata : "Ya, kalau dapat mari kita coba ! Sebab lebih banyak lebih baik".
Kemudian
Hisyam, Zuhair dan Mutha'im pergi bersama-sama ke rumah Abul Bukhturiy.
Setelah mereka bertemu dengan Abul Bukhturiy, mereka menyampaikan maksud
kedatangan mereka. Akhirnya
Abul Bukhturiy pun sependapat dengan kehendak mereka. Hanya saja ia
meminta supaya kalau dapat mencari kawan seorang lagi, agar menjadi lebih kuat.
Ketiga
orang itu menyetujui pendapat Abul Bukhturiy untuk pergi bersama-sama ke
rumah Zam'ah bin Al-Aswad. Setelah mereka bertemu dengan Zam'ah, lalu
mereka menuturkan kehendak mereka seperti di atas.
Kemudian
Zam'ah setuju pula dengan kehendak mereka. Sehingga ada lima orang dari
pembesar-pembesar Quraisy yang kenamaan yang akan menghapuskan
undang-undang pemboikotan itu. Dan lagi pula mereka masing-masing
mempunyai pengikut.
12. Undang-undang Pemboikotan Dicabut
Setelah
lima orang tokoh Quraisy itu seia-sekata, yaitu : Hisyam bin 'Amr,
Zuhair bin Abi Umayyah, Al-Mutha'im bin 'Ady, Abul Bukhturiy bin
Hisyam dan Zam'ah bin Al-Aswad, maka pada suatu hari mereka mengadakan
pertemuan di rumah Hisyam bin 'Amr. Pertemuan itu diadakan untuk membuat
suatu perjanjian yang kokoh diantara mereka, dan untuk merundingkan,
bagaimana caranya menghapuskan undang-undang pemboikotan itu, untuk
membebaskan kaum keluarga Bani Hasyim dan Bani Muththalib dari
pemboikotan yang amat menyengsarakan itu.
Di dalam
pertemuan rahasia itu, setelah mereka memperbincangkan masak-masak, maka
akhirnya dengan sepakat dan bersumpah mereka memutuskan, bahwa besok
pagi mereka akan pergi bersama-sama ke Masjidil Haram dengan membawa
kaum-pengikut mereka masing-masing. Sesampainya mereka di Masjidil
Haram, mereka lalu masuk ke dalam Ka'bah dan bersama-sama mengambil
naskah undang-undang pemboikotan itu, kemudian mereka robek-robek
bersama. Sesudah itu mereka pergi ke Syi'ib banu Hasyim dan Muththalib
untuk membebaskan kaum Bani Hasyim dan Bani Muththalib dari pemboikotan
yang kejam itu.
Kemudian pada keesokan harinya lima
orang tersebut keluar dari rumah mereka masing-masing dengan diiringi
oleh kaum mereka masing-masing dengan bersenjata. Adapun yang mengepalai
seluruh barisan ialah Zuhair bin Umaiyyah. Setelah Zuhair tiba di
masjid lalu mengerjakan thawaf. Setelah itu ia berpidato dihadapan
kelima kaum itu, dan pidato itu ditujukan kepada kaum Quraisy semuanya.
Dalam pidato itu Zuhair berkata : "Hai sekalian penduduk Makkah, hai
saudaraku kaum Quraisy khususnya ! Apakah kamu semua sampai hati memakan
makanan yang enak-enak dan memakai pakaian yang bermacam-macam serta
kamu semua dapat menikah dengan wanita sesukamu masing-masing, sedangkan
kamu semua telah melihat bahwa kaum keluarga Bani Hasyim dan Bani
Muththalib mengalami bermacam-macam kesulitan, kekurangan pakaian dan
menderita kelaparan, dan yang telah dewasa baik laki-laki maupun
perempuan tidak dapat menikah sebagaimana mestinya ? Apakah kamu semua
senang melihat hal semacam itu ?"
Kelima kaum itu menjawab bersama-sama dengan suara yang sekeras-kerasnya : "Kami tidak senang ! Kami tidak sampai hati ! Dan kami tidak akan rela selama-lamanya !"
Lalu Zuhair berkata lagi : "Demi Allah ! Kita duduk, tidak akan pergi dari sini selama-lamanya, jika naskah undang-undang pemboikotan yang nyata-nyata menganiaya dan menyiksa sesama kita itu tidak dirobek-robek dan pemboikotan yang kejam itu tidak dihapuskan !"
Di waktu itu Abu Jahal menyahut : "Zuhair ! Engkau berdusta ! Demi Al-Lata dan Al-Uzza ! Jangan engkau robek naskah itu !"
Lalu dijawab oleh Zam'ah : "Engkau
yang lebih dusta, wahai Abul Hakam ! Demi Allah ! Aku ketika ikut
menulis naskah undang-undang itu, hatiku sama sekali tidak senang !"
Abul Bukhturiy menyahut dengan berteriak : "Engkaulah yang benar, hai Zam'ah !"
Mutha'im ikut menyahut dengan suara keras tertuju kepada Zam'ah dan Abul Bukhturiy : "Kamu berdualah yang benar ! Demi Allah ! Barangsiapa yang mengatakan selain itu, dialah yang paling dusta dan paling jahat!".
Hisyam berkata dengan suara keras tertuju kepada empat orang kawannya yaitu : Zuhair, Zam'ah, Abul Bukhturiy dan Mutha'im : "Kalianlah
yang benar ! Barangsiapa yang mengatakan selainnya, dialah yang paling
dusta dan yang berkhianat kepada bangsanya sendiri, dan paling jahat
kepada sesama manusia !"
Lantas Mutha'im masuk ke dalam Ka'bah, mengambil naskah undang-undang itu, lalu dibawa keluar dan dirobek-robek di muka orang banyak dan diperlihatkan kepada segenap yang hadlir.
Kemudian Abu Jahal mencaci maki ke lima orang tersebut, dan akhirnya ia diam dengan perasaan mendongkol.
Kemudian
Hisyam, Zuhair, Mutha'im, Zam'ah dan Abul Bukhturiy keluar dari masjid
dengan diiringkan oleh kaum mereka, lalu mereka bersama-sama pergi
menuju ke Syi'ib bani Hasyim dan bani Muththalib. Setelah mereka sampai
di sana, mereka berteriak-teriak, memanggil-manggil dengan suara
sekeras-kerasnya, menyuruh orang-orang yang berada di dalam Syi'ib
supaya keluar dari kampung itu.
Maka Nabi
SAW dan pengikut-pengikutnya serta semua keluarga bani Hasyim dan bani
Muththalib keluar dari Syi'ib tersebut dan kembali ke kota Makkah.
Dengan demikian, bebaslah mereka dari perbuatan yang kejam itu.
13. Abu Bakar RA Bertemu Dengan Ibnud Dughunnah
Abu Bakar
RA sekalipun ia termasuk orang besar dan hartawan yang terkenal, tetapi
oleh karena ia pencinta Nabi SAW dan da'wahnya, maka tidaklah terluput
dari bahaya penganiayaan fihak Musyrikin Quraisy.
Maka pada
waktu itu setelah Abu Bakar RA mendapat idzin dari Nabi SAW, dengan
diam-diam ia berangkat berhijrah ke negeri Habsyi, menghikuti shahabat
lainnya yang telah pergi ke sana. Beliau berangkat dari Makkah sendirian
akan menuju ke negeri Habsyi. Tetapi oleh karena beliau seorang
keturunan Quraisy yang terkenal dan tergolong bangsawan serta hartawan,
terkenal pula sebagai seorang yang budiman, maka ketika beliau berangkat
ke Habsyi dan perjalanan baru sampai di desa "Barkul-Ghimad" (suatu desa dekat pantai Yaman yang dari kota Makkah sejauh 5 hari
perjalanan), maka tiba-tiba beliau bertemu dengan seorang kenalannya
yang menjadi kepala suku di situ bernama Ibnud Dughunnah. Ibnud
Dughunnah bertanya kepada Abu Bakar : "Engkau akan pergi ke mana, hai shahabatku ?"
Abu Bakar menjawab dengan tegas : "Bangsaku
telah mengusirku dari tanah airku, karena aku menyembah kepada Tuhanku,
maka dari itu sekarang aku akan pergi ke negeri lain, asal aku dapat
beribadat kepada Tuhanku".
Ibnud Dughunnah lalu berkata : "Orang yang seperti engkau ini
tidak boleh dikeluarkan dan tidak boleh diusir dari negerinya sendiri.
Karena engkau adalah seorang yang suka menyambung kasih sayang sesama
manusia, engkaulah orang yang suka menanggung kepayahan orang lain,
engkaulah orang yang suka menghormati tamu-tamu, engkaulah seorang yang
suka memberi dan mencarikan pekerjaan kepada orang yang tidak mempunyai
pekerjaan, dan engkaulah orang yang suka berbuat kebenaran
! Lantaran itu aku sanggup menjamin dan melindungi dirimu untuk tetap
tinggal di Makkah, melindungi dari segala macam bahaya yang
akan ditimpakan atas dirimu, maka dari itu janganlah engkau teruskan
kehendakmu, dan sebaiknya engkau kembali ke Makkah, nanti aku antarkan,
dan beribadahlah engkau di sana kepada Tuhan-mu dengan sekehendakmu, dan
akulah penjamin keselamatan dirimu di Makkah !"
Kemudian
Abu Bakar RA kembali ke kota Makkah dengan diantarkan oleh Ibnud
Dughunnah. Setelah mereka sampai di Makkah. Maka Ibnud Dughunnah lalu
berkeliling ke rumah-rumah kepala-kepala dan pembesar-pembesar Quraisy,
menerang-nerangkan tentang kelebihan Abu Bakar dan faedahnya untuk kota
Makkah, dan ia sanggup melindungi diri Abu Bakar untuk berbakti kepada
Tuhannya di kota Makkah.
Permintaan
Ibnud Dughunnah untuk melindungi diri Abu Bakar di Makkah itu diterima
baik oleh para pembesar dan kepala Quraisy. Hanya saja mereka mengajukan
perjanjian kepada Ibnud Dughunnah, untuk menjamin keamanan diri Abu
Bakar di Makkah. Perjanjian yang diminta oleh mereka itu ialah, "Abu
Bakar jika akan beribadah kepada Tuhannya, (misalnya shalat) hendaknya
jangan di masjid, ia boleh mengerjakan ibadatnya kepada Tuhannya di
rumahnya sendiri, dan jika ia hendak membaca Al-Qur'an hendaknya jangan
di masjid pula, ia boleh membaca, tetapi di rumahnya sendiri, dan jangan
pula sampai terdengar oleh orang-orang perempuan Quraisy, anak-anak
Quraisy dan budak-budak Quraisy, karena jika
bacaannya sampai terdengar oleh mereka, pasti mereka akan tertarik, dan
yang demikian itu sangat dikhawatirkan oleh pembesa-pembesar Quraisy".
Kemudian
perjanjian yang diajukan oleh pembesar-pembesar Quraisy kepada Ibnud
Dughunnah itu diterima dengan baik dan disampaikan kepada Abu Bakar.
Beliau pun menerima juga. Maka dari itu beliau lalu mendirikan masjid
sendiri di depan rumahnya dan disitulah beliau mengerjakan shalat dan
beribadat kepada Tuhan, membaca ayat-ayat Al-Qur'an, dan mengajarkannya
kepada keluarganya. Tetapi tidak disangka-sangka oleh beliau bahwa
setiap beliau sedang mengerjakan shalat atau membaca Al-Qur'an, selalu
diintai dan didengarkan oleh orang-orang perempuan Quraisy,
pemuda-pemuda mereka dan anak-anak mereka yang bertetangga
di kanan kirinya. Akhirnya banyaklah orang-orang perempuan dan
pemuda-pemuda Quraisy yang hati sanubarinya tertarik oleh bacaan
Al-Qur'an tadi.
Kejadian
itu mengejutkan kaum Musyrikin Quraisy. Karenanya, mereka lalu
memberitahukan kepada Ibnud Dughunnah tentang adanya peristiwa ini.
Setelah menerima berita ini Ibnud Dughunnah datang ke Makkah dan
memperingatkan Abu Bakar tentang segala sesuatu yang telah terjadi, yang
dianggap sangat mengkhawatirkan kaum Quraisy. Peringatan itu dijawab
beliau bahwa beliau tidak merasa sedikitpun menyalahi perjanjian yang
telah dibuat oleh kaum Quraisy, sebab beliau tetap mengerjakan shalat dan membaca ayat-ayat Al-Qur'an di halaman rumahnya sendiri. Adapun jika terjadi peristiwa semacam itu dan mereka keberatan, itu terserah mereka.
Selanjutnya, Ibnud Dughunnah tidak sanggup lagi menjamin keamanan diri Abu Bakar.
Maka dari itu ia lalu mencabut perjanjiannya dengan pembesar-pembesar
dan kepala-kepala Quraisy. Kemudian Abu Bakar berkata kepada Ibnud
Dughunnah : "Jika kamu tidak sanggup melindungi diriku, itu terserah kamu, karena selamanya aku tidak pernah minta perlindungan
kepadamu. Dan yang sudah terjadi itu, hanyalah dari kehendakmu sendiri.
Sekarang aku kembalikan perlindunganmu itu, dan aku ridla dengan
perlindungan Allah semata".
Kemudian Abu Bakar RA tetap tinggal di Makkah sebagaimana biasa dengan perlindungan Allah semata !
Ralat Tarikh ke-32
Nama shahabat yang belum tercantum :
31. Sufyan bin Ma'mar. 32. Istrinya, Hasanah Ummu Syarahbil
91. 'Ayyadl bin Zubair. 92. 'Amir bin Al-Harits
93. 'Amr bin Abdi Ghanmin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar