Nabi SAW bermusyawarah mengenai tawanan Badr.
Telah
menjadi kebiasaan Nabi SAW apabila hendak mengerjakan sesuatu perkara
yang penting, sedang wahyu dari Allah belum diturunkan, maka beliau SAW
mengadakan “musyawarah” dengan shahabat-shahabat beliau yang terpandang.
Yakni shahabat-shahabat yang mempunyai pengetahuan dan pandangan luas
serta berpengaruh besar di kalangan kaumnya. Terutama shahabat Abu Bakar
dan ‘Umar bin Khaththab tidak pernah beliau tinggalkan, karena kedua
shahabat ini kecuali terpandang oleh Nabi juga berpengaruh besar bagi shahabat Muhajirin. Begitu pula
shahabat Sa’ad bin Mu’adz, disamping dia terpandang oleh Nabi juga
terpandang bagi shahabat Anshar, tidak ada bedanya dengan Abu Bakar dan
‘Umar.
Pada waktu itu karena Nabi SAW belum mengetahui tentang cara-cara
memberi hukuman (keputusan) kepada orang-orang yang tertawan, maka
beliau SAW mengadakan musyawarah dengan para shahabat untuk mengambil
keputusan.
Dalam
musyawarah tersebut Nabi SAW menanyakan kepada shahabat Abu Bakar, ‘Umar
dan Sa’ad bin Mu’adz bagaimana pendapat masing-masing tentang cara
memberi hukuman bagi para tawanan. Kemudian Abu Bakar mengemukakan
pendapatnya, Abu Bakar berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka
itu adalah kaummu dan masih kerabatmu juga, maka dari itu saya
berpendapat, bahwa mereka itu lebih baik tuan kasih sayangi, sebagaimana
Allah telah berkasih sayang kepada engkau, lebih baik mereka itu kita
mintai tebusan dengan harta benda dari keluarga mereka, yang dengan
tebusan itu nanti bisa menambah kekuatan kita kaum muslimin untuk
mengalahkan orang-orang kafir. Maka dengan jalan yang demikian itu
mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk dari Allah untuk masuk Islam”.
Setelah mendengar pendapat Abu Bakar tersebut Nabi SAW diam sebentar, lalu shahabat ‘Umar RA disuruh mengemukakan pendapatnya. ‘Umar berkata, “Ya
Rasulullah, demi Allah, pendapat saya tidak seperti pendapat Abu Bakar.
Saya tidak setuju dengan pendapat Abu Bakar, sebab telah nyata-nyata
mereka itu musuh Allah dan musuh engkau, mereka pernah mendustakan
engkau, mereka pernah menganiaya engkau, mereka telah mengusir dan
memerangi engkau, maka dari itu lebih baik mereka itu dibunuh, dipotong
leher mereka. Meskipun keadaan mereka itu masih kerabat kita, masih
famili dekat dengan kita, tetapi mereka telah nyata menjadi kepala
kekufuran, ketua kemusyrikan, dan pemuka kesesatan, maka jangan sampai
mereka itu kita biarkan hidup di muka bumi ini. Bahkan saya minta, yang
membunuh itu supaya dari kita masing-masing yang nyata-nyata masih
saudara, seperti ‘Ali supaya membunuh ‘Aqil, Hamzah membunuh ‘Abbas,
begitu seterusnya. Yang demikian itu supaya tampak jelas bagi mereka,
bahwa kita sedikitpun tidak senang kepada mereka dan kepada siapasaja
yang berani menyekutukan Allah seru sekalian alam”.
Nabi SAW ketika itu diam, lalu menyuruh Sa’ad bin Mu’adz supaya mengemukakan pendapatnya. Sa’ad bin Mu’adz berkata, “Ya Rasulullah, saya setuju dengan pendapat ‘Umar, karena memang sudah tidak berguna lagi kita memberikan kasih sayang kepada mereka itu”.
Kemudian
shahabat ‘Abdullah bin Rawahah (seorang pemuka dari Anshar juga) disuruh
mengemukakan pendapatnya. ‘Abdullah bin Rawahah berkata, “Ya
Rasulullah, menurut pendapat saya, lebih baik engkau kumpulkan kayu
bakar yang banyak di suatu jurang, lalu dinyalakan api, kemudian mereka
itu kita lemparkan ke dalamnya”.
Lalu Nabi
SAW diam. Kemudian bertanya lagi kepada Abu Bakar dan ‘Umar. Abu Bakar
mengemukakan pendapatnya sebagaimana semula, dan ‘Umarpun begitu pula.
Lalu Nabi SAW bertanya kepada shahabat yang lain, dan dijawab, “Ya Rasulullah, kami setuju pendapat Abu Bakar”. Dan oleh sebagian yang lain dijawab, “Ya Rasulullah, kami setuju pendapat ‘Umar”.
Oleh karena ada
dua pendapat yang masing-masing beralasan sama kuatnya, maka waktu itu
permusyawaratan dihentikan sebentar, lalu beliau masuk ke rumah.
21. Keputusan Nabi SAW dalam musyawarah.
Kemudian Nabi SAW keluar dari rumah dan bersabda kepada para shahabat :
اِنَّ
اللهَ لَيُلَيِّنُ قُلُوْبَ اَقْوَامٍ حَتَّى تَكُوْنَ اَلْيَنَ مِنَ
اللَّبَنِ وَ اِنَّ اللهَ لَيُشَدِّدُ قُلُوْبَ اَقْوَامٍ حَتَّى تَكُوْنَ
اَشَدَّ مِنَ اْلحِجَارَةِ.
Sesungguhnya Allah telah melembutkan hati beberapa kaum
hingga keadaannya lebih lembut daripada susu. Dan sesungguhnya Allah
telah mengeraskan hati beberapa kaum sehingga keadaannya lebih keras
daripada batu.
Kemudian beliau bersabda kepada Abu Bakar, “Sesungguhnya perumpamaan-mu, hai Abu Bakar, seperti Nabi Ibrahim”. Dia berkata :
فَمَنْ تَبِعَنِيْ فَاِنَّه مِنِّيْ وَ مَنْ عَصَانِيْ فَاِنَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. ابرهيم:36
Maka
barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka sesungguhnya Engkau
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. Ibrahim : 36]
Dan juga seperti Nabi ‘Isa AS. Dia berkata :
اِنْ تُعَذّبْهُمْ فَاِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَ اِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَاِنَّكَ اَنْتَ اْلعَزِيْزُ اْلحَكِيْمُ. المائدة:118
Jika
Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu,
dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Perkasa lagi Bijaksana. [QS. Al-Maidah : 118]
Kemudian Nabi SAW bersabda kepada ‘Umar bin Khaththab, “Sesungguhnya perumpamaanmu, hai ‘Umar, adalah seperti Nabi Musa AS”. Dia berkata :
رَبَّنَا
اطْمِسْ عَلى اَمْوَالِهِمْ وَ اشْدُدْ عَلى قُلُوْبِهِمْ فَلاَ
يُؤْمِنُوْا حَتَّى يَرَوُا اْلعَذَابَ اْلاَلِيْمَ. يونس:88
Ya
Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati
mereka, maka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih. [QS. Yunus : 88]
“Dan juga seperti Nabi Nuh AS”. Dia berkata :
رَبّ لاَ تَذَرْ عَلى اْلاَرْضِ مِنَ اْلكَافِرِيْنَ دَيَّارًا. نوح:26
Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun diantara orang-orang kafir itu tinggal diatas bumi. [QS. Nuh : 26]
Kemudian Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya
kamu sekalian berkewajiban, maka janganlah kamu lewatkan seorangpun
dari mereka (yang tertawan), melainkan mereka itu harus membayar tebusan
dengan harta-benda, atau dipenggal leher mereka”.
Dengan
sabda Nabi SAW tersebut berarti para tawanan itu harus membayar tebusan
dengan harta benda, dan jika tidak dapat membayarnya akan dipenggal
leher mereka atau dibunuh. Dan sabda beliau itu mengambil kedua pendapat
di atas, karena kedua-duanya sekalipun nampaknya berselisih, tetapi
tujuannya sama. Yakni masing-masing hendak menjunjung tinggi agama Allah
dan menjatuhkan kemusyrikan atau kekufuran.
Kemudian
diputuskan pula bahwa orang-orang yang tertawan supaya dimintai tebusan,
tiap seorang yang mampu 4.000 dirham, dan yang tidak mampu
serendah-rendahnya 1.000 dirham. Dan yang tidak membayar tebusan maka
mereka dipenggal lehernya. Setelah Nabi SAW mengambil keputusan
tersebut, maka para shahabat menerimanya dengan ikhlas.
22. Nabi SAW menerima tebusan
Diriwayatkan,
bahwa sesudah ada putusan yang sedemikian tadi, lalu disiarkan kepada
mereka (yang tertawan), dan di antara mereka itu ada seorang yang
bernama ‘Amr bin Abdullah bin Utsman al-Jumahi. Ketika itu setelah ia
mendengar keputusan yang menakutkan tadi, lalu segera datang kepada Nabi
SAW sambil memohon diselamatkan dari hukuman bunuh dan minta dibebaskan
dari membayar tebusan. Ia berkata dengan menangis, “Ya Muhammad
! Sesungguhnya saya ini seorang yang sangat melarat, sedang saya
mempunyai lima anak perempuan, saya tidak dapat membayar tebusan
sedikitpun. Maka dari itu tebusan saya hendaklah engkau sedekahkan saja
kepada anak-anak saya itu. Muhammad, kasihanilah diriku. Dan aku
berjanji dengan sungguh-sungguh kepada engkau, bahwa selama hidup aku
tidak akan berkata jelek kepadamu, tidak akan memusuhimu, lebih-lebih
memerangimu dan kaummu. Aku tidak akan berani mengganggu agamamu”.
Kemudian
‘Amr dibebaskan Nabi SAW dan ia kembali ke Makkah dengan tidak diambil
tebusan sedikitpun tetapi dengan perjanjian tidak akan merintangi Islam.
Perlu
diketahui bahwa ‘Amr bin Abdullah tersebut terkenal dengan nama Abu
‘Azzah, seorang ahli syi’ir yang terkenal di Makkah. Setelah ia kembali
ke Makkah lalu menunjukkan kecongkakan dan kesombongannya lagi. Dengan
syi’irnya yang tajam, ia kembali menghina, memperolok-olok dan menyakiti
Nabi SAW. Diantaranya ketika itu ia berkata kepada kawan-kawannya, “Saya telah dapat menipu dan menyihir Muhammad dan para pengikutnya, sehingga saya terlepas dari jeratannya”.
Singkatnya ia mengulang perbuatannya yang lama, tidak menghargai
perjanjiannya sendiri dengan Nabi SAW. Maka ketika terjadi perang di
Uhud, ia menjadi tentara Quraisy untuk memerangi kaum muslimin. Dan
akhirnya ia dapat ditangkap dan ditawan oleh tentara kaum muslimin di
Uhud, lalu dibunuh oleh tentara muslimin dengan perintah Nabi SAW.
Dan di
antara mereka yang tertawan, terdapat ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib
(seorang paman Nabi sendiri). Waktu itu Nabi SAW berkata kepada beliau :
Hai paman, bagi engkau lebih baik membayar tebusan saja untukmu, untuk
anak laki-laki saudaramu (‘Aqil bin Abi Thalib saudara kandung ‘Ali bin
Abi Thalib), dan Naufal bin Harits, karena engkau seorang hartawan.
‘Abbas berkata, “Muhammad,
mengapa engkau suruh aku supaya membayar tebusan. Sedangkan saya keluar
dari Makkah ini dipaksa oleh kaum Quraisy, bukan dari kemauanku
sendiri. Dan engkau mengerti, bahwa saya ini seorang yang telah masuk
Islam”.
Nabi SAW berkata, “Hai
pamanku. Saya tahu dan mengerti, bahwa engkau keluar itu terpaksa, dan
saya mengerti juga bahwa engkau itu seorang pamanku yang telah lama
mengikut Islam, Allah sendiri yang mengetahui keislamanmu. Sedang saya
harus menjatuhkan hukum menurut dhahirnya, maka engkau tetap harus
membayar tebusan”.
‘Abbas berkata, “Muhammad,
sekarang saya sudah tidak punya uang untuk menebus, karena harta benda
saya telah saya tinggalkan untuk fakir miskin orang Quraisy. Saya tidak
dapat membayar tebusan”.
Nabi SAW bersabda, “Mana
harta bendamu yang engkau terimakan kepada istrimu Ummul Fadhl di
Makkah ketika engkau akan keluar dari rumah berangkat ke Badar. Yang
ketika itu engkau berkata kepada Ummul Fadhl : “Saya tidak tahu apa yang
akan mengenai pada diriku, maka dari itu jika datang suatu keadaan
dengan tiba-tiba (yakni mati) kepadaku, maka ini (harta) untuk engkau
Ummul Fadhl, ini untuk Abdullah, ini untuk Ubaidillah, ini untuh Fadhl
dan ini untuk Utsman”. (Nama-nama tersebut adalah nama anak-anak laki-laki ‘Abbas).
‘Abbas berkata, “Siapa yang berkata begitu Muhammad ?”. Nabi menjawab, “Engkau yang berkata begitu kepada Ummul Fadhl ketika itu”. Bahkan engkau juga berkata kepadanya, “Kalau nanti saya mati, maka saya sudah meninggalkan kamu dengan kekayaan”.
‘Abbas berkata, “Siapakah yang mengabarkan begitu kepada engkau hai Muhammad ?”. Nabi SAW menjawab, “Allah yang mengabari begitu kepada saya”.
‘Abbas berkata, “Demi Dzat yang mengutus engkau dengan benar, sungguh saya percaya benar-benar, bahwa engkau pesuruh Allah”.
Dan akhirnya ‘Abbas membayar tebusan untuk dirinya sendiri dan untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Ada lagi
di antara mereka yang tertawan, seorang pemuda Quraisy yang terkenal
bernama Abul ‘Ash. Dia adalah suami Zainab puteri Nabi SAW. Jadi ia
adalah menantu Nabi SAW. Tetapi dia tidak mau mengikuti seruan Nabi SAW
ketika beliau SAW masih di Makkah, dia pernah disuruh oleh Nabi supaya
menceraikan isterinya, sebagaimana Nabi menyuruh kedua anak laki-laki
Abu Lahab yang menjadi suami kedua puteri Nabi, tetapi Abul ‘Ash ketika
itu menolak perintah Nabi tersebut dan Zainab tetap menjadi isterinya.
Ketika ia
menjadi seorang tawanan, Nabi SAW tidak akan melepasnya jika ia tidak
membayar tebusan sebagaimana yang telah diputuskan. Oleh sebab itu, ia
lalu menyuruh seseorang kepada isterinya (Zainab) supaya mengirim harta
yang cukup untuk menebus dirinya. Maka Zainab lalu menyuruh seseorang
mengirimkan sebuah perhiasan berupa kalung emas yang mahal harganya
kepada Abul ‘Ash. Setelah kalung tadi diterimanya, lalu disampaikan
kepada Nabi SAW.
Kalung
tersebut sesungguhnya kepunyaan Zainab sendiri yang berasal dari
pemberian ibunya (Sayyidah Khadijah) ketika ia dinikahi oleh Abul ‘Ash.
Oleh sebab itu setelah kalung tersebut diterima oleh Nabi SAW maka
beliau terkejut ketika melihat kalung itu. Karena beliau mengetahui
bahwa kalung itu dari pemberian Khadijah (isteri beliau yang pertama
dan yang sangat dicintai oleh Nabi SAW). Ketika itu perasaan Nabi sangat
terharu, karena teringat akan jasa-jasa Siti Khadijah RA. Oleh sebab
itu Nabi SAW lalu bersabda kepada sahabat-sahabatnya, “Bagaimana
pendapat kamu sekalian, jika Abul ‘Ash itu dilepaskan saja dengan tidak
membayar tebusan apapun, dan kalung ini yang akan dipergunakan untuk
menebus dirinya dikembalikan saja kepada isterinya ? Tetapi ia akan kami
janji, bahwa setelah sampai di Makkah supaya segera menceraikan anakku,
lalu memberangkatkannya ke Madinah, biar ikut aku di Madinah”. Ketika itu sekalian sahabat setuju apa yang menjadi kehendak Nabi SAW.
Kemudian
Abul ‘Ash dilepaskan dari tawanan dan segera berangkat pulang ke Makkah
bersama dua orang sahabat yang disuruh oleh Nabi SAW untuk menjemput
Zainab ialah Zaid bin Haritsah dan seorang lagi dari sahabat Anshar.
Mereka supaya menjemput Zainab di luar kota Makkah dan menghantarkannya
sampai ke Madinah. Sebab itu setelah Abul ‘Ash sampai di Makkah lalu
menceraikan isterinya, dan menyuruhnya supaya lekas berangkat ke
Madinah. Ketika itu Zainab sangat gembira dan segera berangkat ke
Madinah. Selanjutnya Abul ‘Ash tetap menjadi seorang musyrik di Makkah,
dan isterinya (Zainab) mengikut ayahnya (Nabi SAW) di Madinah.
Dan
diantara mereka yang tertawan ialah seorang yang bernama Abu ‘Aziz bin
‘Umair saudaranya sahabat Mush’ab bin ‘Umair RA. Ketika itu ia ditebus
oleh ibunya dengan 4000 dirham, maka akhirnya dilepaskan oleh Nabi SAW
lalu kembali ke Makkah.
Diantara
mereka yang tertawan ada seorang pemuda Quraisy yang bernama Walid bin
Walid. Ia setelah ditebus oleh kedua saudaranya (Khalid dan Hasyim),
lalu dilepas oleh Nabi SAW dan segera kembali ke Makkah. Tetapi setelah
sampai di Makkah, dengan tidak disangka-sangka oleh kedua saudaranya, ia
mengikut Islam. Waktu itu oleh kedua saudaranya yang menebusnya
ditanya, “Mengapa kamu tidak mengikut Islam sebelum kamu ditebus ?”.
Ia menjawab, “Kalau
saya ikut Islam sebelum dilepaskan dan sebelum ditebus, saya khawatir
kalau Islam saya nanti terhitung masuk Islam karena takut ditawan atau
dibunuh”.
Oleh
sebab itu sudah barang tentu ia lalu mendapat penghinaan dan cercaan
dari saudara-saudaranya. Waktu itu ia akan berangkat hijrah ke Madinah,
tetapi oleh kedua saudaranya tadi tidak diperbolehkan berangkat ke
Madinah, ia dibiarkan mengikut Islam oleh saudara-saudaranya, dan dia
baru dapat bertemu dengan Nabi SAW pada ‘Umratul Qadla’.
Demikianlah,
masing-masing tawanan membayar tebusan kepada Nabi SAW. Adapun di
antara mereka yang dapat menulis dan membaca, padahal ia tidak dapat
membayar tebusan, oleh Nabi SAW mereka dibebaskan dari tawanan, tetapi
disuruh mengajar menulis dan membaca kepada anak-anak kaum Muslimin di
Madinah, yang demikian itu adalah sebagai gantinya tebusan mereka. Dan
tiap-tiap orang dari mereka itu disuruh mengajar 10 anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar