Kegoncangan Kaum Quraisy di Makkah
Tentara Quraisy yang pertama kali tiba di Makkah
dari Badr ialah seorang yang bernama Haisuman bin ‘Abdillah
Al-Khuza’iy. Setelah ia sampai di Makkah sudah tentu mendapat beberapa
pertanyaan oleh orang-orang yang tinggal di Makkah terutama ketua-ketua
Quraisy yang tidak ikut ke Badr. Ketika itu ia menjawab dengan
sebenarnya, “Bahwa tentara Quraisy hancur luluh dikalahkan oleh tentara Muhammad,
kepala-kepala dan pahlawan-pahlawan Quraisy binasa. Abu Jahl, ‘Utbah
bin Rabi’ah, Abul Bakhtari, Walid bin ‘Utbah, Syaibah bin Rabi’ah dan
Umayyah bin Khalaf, Zam’ah bin Aswad, Nubaih bin Hajjaj dan Munabbih bin
Hajjaj terbunuh, dan barisan tentara Quaisy kocar-kacir”. Demikianlah Haisuman menerangkan kekalahan tentara Quraisy di Badr.
Kemudian
setelah Haisuman, datanglah tentara Quraisy yang dapat melarikan diri
bersama-sama ke Makkah, lalu masing-masing sebelum mendapat pertanyaan
dari ketua dan kepala-kepala Quraisy, sudah menceritakan kepada penduduk
Makkah, bahwa tentara Quraisy dikalahkan oleh tentara Muhammad. Oleh
sebab itu banyak orang-orang Quraisy di Makkah yang menangis, dan waktu
itu juga Abu Lahab jatuh sakit.
Diriwayatkan,
tentang kematian Abu Lahab adalah demikian. Tatkala tentara Quraisy
pulang ke Makkah sebagai tentara yang kalah, dan banyak diantara para
ketua mereka yang mati dalam pertempuran tersebut, maka Abu Sofyan bin
Harits dibawa ke suatu tempat dekat sumur Zam-zam. Ketika itu datanglah
Abu Lahab dan terus bertanya kepada Abu Sufyan bin Harits, “Bagaimana khabarnya ?”.
Abu Sufyan tentu saja menjawab apa adanya. Dikala itu orang banyak pun
datang di tempat itu dan mengelilingi Abu Sufyan. Setelah Abu Lahab
mendapat keterangan yang jelas dari Abu Sofyan bin Harits, ia jatuh
pingsan. Sebelumnya ia sempat memukul dengan keras pada Abu Rafi’ (budak
‘Abbas bin Abdul Muththalib), karena Abu Rafi’ dianggap menghina kepada
dirinya. Setelah itu Abu Lahab jatuh sakit, karena dalam hatinya merasa
terpukul lantaran kekalahan tentaranya yang tidak disangka-sangka.
Dan tujuh hari kemudian ia meninggal. Setelah itu, kaum Quraisy mengadakan permusyawaratan dengan segera. Dalam permusyawaran tersebut mereka memutuskan :
1. Bahwa
kaum Quraisy tidak diperkenankan meratapi pada orang-orang yang telah
mati terbunuh di Badr. Sebab jika meratapi bisa mengkhawatirkan,
kalau-kalau sampai didengar oleh Muhammad dan pengikut-pengikutnya lalu
mereka mencerca dan bertambah sombong terhadap kaum Quraisy.
2. Bahwa
kaum Quraisy semuanya jangan tergesa-gesa menyuruh orang supaya menebus
pada orang-orang yang tertawan. Karena kalau tergesa-gesa dikhawatirkan
tebusan dibikin mahal oleh Muhammad dan pengikut-pengikutnya.
3. Bahwa
mereka yang tertawan biarlah mereka terpenjara, dan kaum Quraisy
hendaklah tahan menerima cobaan yang hebat itu pada sementara waktu,
hingga nanti datang suatu kesempatan yang lapang dan baik untuk
keperluan menebus kepada mereka yang tertawan.
Demikian
keputusan permusyawaratan kaum Quraisy waktu itu. Tetapi bagi kaum
perempuan Quraisy yang ditinggal mati oleh suaminya, sekalipun sudah ada
keputusan tersebut, mereka tetap meratapinya lebih dari satu bulan.
Waktu itu seorang perempuan Quraisy yang tidak meratap hanya seorang
yang bernama Hindun (isteri Abu Sufyan) anak perempuan ’Utbah. Padahal
ketika itu ia kematian bapaknya dan seorang anaknya.
Hindun, apabila kedatangan kawan-kawannya perempuan Quraisy dan ditanya, “Mengapa kamu tidak meratapi orang tuamu, saudaramu laki-laki dan pamanmu?”. Ia menjawab dengan congkak, “Buat
apa saya menangisi mereka ? Kalau saya menangisi mereka lalu kedengaran
oleh Muhammad dan pengikut-pengikutnya, tentu mereka akan mencerca
saya, dan kaum perempuan dari Banu Khazraj juga mengejek kita. Demi
Allah, jikalau rasa susah dari dadaku dapat lenyap dengan tangis,
niscaya aku akan menangis. Tetapi kesusahan itu tidak mau lenyap dari
dadaku, maka aku tidak perlu menangis. Demi Allah, haram bagi diriku
berhias dengan minyak wangi selama aku belum memerangi Muhammad dan
pengikut-pengikutnya”.
Dan
pendek kata, saat itu pahlawan atau kepala Quraisy yang tampak, tinggal
Abu Sufyan bin Harb yang nyata-nyata siang malam memusuhi Islam dan kaum
muslimin, terutama kepada Nabi SAW.
24. Islamnya ‘Umair bin Wahab Al-Jumahiy dan sebab-sebabnya
Diriwayatkan,
bahwa ketika itu diantara orang-orang Quraisy yang tertawan ada yang
bernama Wahab bin ‘Umair bin Wahab Al-Jumahiy. Ayah Wahab, yaitu ‘Umair
bin Wahab adalah seorang yang sangat memusuhi kepada Nabi SAW semenjak
di Makkah. Sesudah terjadi perang Badr, anak laki-laki Wahab yang sangat
dicintai oleh ayahnya ikut tertawan oleh tentara muslim. Oleh sebab
itu, maka ‘Umair setiap hari, siang malam selalu susah hatinya dan
bingung pikirannya, karena pikirannya selalu terbayang-bayang anaknya
yang sedang ditawan itu. Kemudian pada suatu hari ia duduk bersama
seorang kawan kepala Quraisy yang bernama Shafwan bin Umayyah. Sedang
Shafwan ketika itupun tengah menanggung sedih dan susah juga, karena
baru kematian bapaknya (Umayyah) di perang Badr.
‘Umair
dan Shafwan duduk termenung bersama-sama di suatu tempat di dekat Ka’bah
(Hijr), kedua-duanya selalu menyebut nama-nama kepala-kepala Quraisy
yang terbunuh dan dimaksukkan di dalam sumur di Badr. Shafwan ketika itu
antara lain berkata, “Demi Allah, tidak ada kehidupan yang lebih baik sesudah mereka”. Yakni, sesudah kematian pahlawan dan kepala-kepala Quraisy tersebut.
‘Umair bin Wahab menyahut, “Demi
Allah, memang begitu ! Amat benarlah ucapanmu hai Shafwan. Demi Allah,
seumpama aku tidak punya pinjaman yang banyak, yang kini aku belum dapat
membayar, dan seumpama aku tidak punya banyak anak yang selalu
kukhawatirkan makannya jika ku tinggal mati, niscaya aku akan datang
kepada Muhammad dan akan kubunuh dia, karena hatiku sangat sakit padanya
mengapa ia sampai berani menawan anak lelakiku yang kucintai ?”.
Shafwan berkata, “Ah,
kalau betul-betul kamu ada kemauan begitu, kamu betul-betul hendak
membunuh Muhammad, aku sanggup membayar lunas semua pinjamanmu. Adapun
anak-anakmu biar bersama anak-anakku dan orang-orang yang jadi
tanggunganku. Aku yang menanggung makannya selama aku hidup”.
Umair menyahut, “Betulkah begitu hai Shafwan ?”. Shafwan berkata, “Mengapa tidak ?. Kamu jangan khawatir !”.
Umair berkata, “Kalau
memang betul-betul kamu sanggup, baiklah sekarang hal ini kita
sembunyikan, dan jangan sampai ada seorangpun yang mendengar !”. Shafwan berkata, “Ya, baiklah ! Dan segeralah kamu kerjakan !”.
Kemudian
masing-masing pulang, dan sesampai di rumah, ‘Umair bin Wahb lalu
berkemas-kemas dan menyediakan alat-alat selengkapnya. Akhirnya ‘Umair
berangkat dengan membawa senjata yang amat tajam, dan diantara yang
dibawanya ialah pedangnya yang beracun.
Setelah
sampai di Madinah, ‘Umair lalu mencari rumah Nabi SAW sambil menghunus
pedangnya yang beracun tadi, dengan mata merah dan muka merah
seolah-olah orang yang sedang mabuk sambil mengendarai untanya. Setelah
sampai di Masjid, ia turun dari kendaraan dan mengikatkannya di sebuah
pintu Masjid. Kebetulan waktu itu shahabat Umar bin Khaththab RA sedang
duduk bersama-sama kaum muslimin di Masjid dan tengah bercakap-cakap
satu sama lain tentang peperangan Badr yang baru saja selesai. Setelah
‘Umar RA mengetahui ‘Umair bin Wahb datang dengan muka yang tampak merah
seraya menghunus pedangnya, maka ‘Umar lalu berkata :
هذَا اْلكَلْبُ عَدُوُّ اللهِ عُمَيْرٌ، مَا جَاءَ اِلاَّ بِشَرًّ
“Ini anjing musuh Allah si ‘Umair. Ia tidak datang melainkan bermaksud jahat”.
Ketika
itu kebetulan Nabi SAW sedang di rumah, maka seketika itu ‘Umar RA lari
ke rumah Nabi SAW, lalu masuk ke dalam sambil berkata dengan suara keras
:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، هذَا عَدُوُّ اللهِ عُمَيْرُ بْنُ وَهْبٍ، قَدْ جَاءَ مُتَوَشِّحًا سَيْفُهُ
“Ya Rasulullah ! Itulah musuh Allah si ‘Umair bin Wahab telah datang dengan menyelempangkan pedangnya”.
Nabi SAW bersabda,
فَاَدْخِلْهُ عَلَيَّ
“Suruhlah dia masuk kepadaku”.
Setelah
Nabi SAW bersabda demikian, maka ‘Umar RA tercengang dan segera
menjemput ‘Umair, dan ia memegang tali pedang ‘Umair yang diikatkan pada
lehernya. Dan karena ‘Umair tahu bahwa yang memegang tali pedangnya itu
ialah Umar bin Khaththab, maka ia diam saja tidak berani berkata
sepatahpun. Memang selamanya pahlawan-pahlawan bangsa Quraisy takut
kepada Umar RA.
Waktu itu
‘Umair diajak ‘Umar RA masuk ke rumah Nabi SAW sambil tali pedangnya
yang beracun tadi dipegangi ‘Umar RA. Maka setelah sampai di hadapan
Nabi, beliau SAW bersabda :
اَرْسِلْهُ يَا عُمَرُ، اُدْنُ يَا عُمَيْرُ
“Lepaskanlah hai Umar. Mendekatlah hai ‘Umair !”.
Shahabat Umar lalu melepaskan ‘Umair, dan ‘Umair lalu mendekat kepada Nabi SAW sambil berkata, “Selamat pagi hai Muhammad !”.
Karena penghormatan yang diucapkan ’Umair itu adalah penghormatan secara Jahiliyah, maka Nabi SAW bersabda,
قَدْ اَبْدَ لَنَا اللهُ بِتَحِيَّةٍ خَيْرٌ مِنْ تَحِيَّتِكَ يَا عُمَيْرُ، وَ هِيَ السَّلاَمُ
“Sesungguhnya
Allah telah menukar bagi kita dengan penghormatan yang lebih baik dari
pada penghormatanmu hai ‘Umair. Penghormatan itu ialah Salam”.
Keadaan kaum Muslimin yang pada waktu itu sedang duduk bersama-sama di Masjid, diantara satu dengan yang lainnya berkata, “Marilah
kita bersama-sama masuk ke rumah Rasulullah, dan kita duduk di hadapan
beliau. Orang lelaki Quraisy itu tentu hendak berbuat jahat kepada
Rasulullah !”.
Lalu
masing-masing bangkit dan segera datang ke rumah Nabi SAW kemudian masuk
ke dalam rumah sambil masing-masing mengawasi ‘Umair.
Selanjutnya Nabi SAW bertanya kepada ‘Umair, “Hai ‘Umair, sesungguhnya kamu datang kemari ini dengan maksud apa ?”. Jawab Umair, “Ya Muhammad ! Saya datang kemari ini hendak bertemu dengan anakku yang sekarang ada di tanganmu”.
Nabi SAW selanjutnya bersabda, “Tidak, yang benar saja. Kamu berdusta”.
‘Umair berkata, “Betul
ya Muhammad, sungguh saya hendak bertemu dengan anak saya, dan saya
hendak meminta kepadamu, supaya engkau berbuat baik pada anak saya itu”.
Nabi SAW bersabda, “Apa gunanya pedang yang kamu bawa itu ?”.
‘Umair menjawab, “Pedang ini tidak ada gunanya bagi saya. Mudah-mudahan Allah menjelekkan pedang ini”.
Nabi SAW bersabda, “Tidak begitu ya ‘Umair, apakah kamu membenarkan jika aku menerangkan segala apa yang kamu maksud dalam kedatanganmu ini ?”.
‘Umair berkata, “Saya tidak datang kemari melainkan untuk itu, Muhammad”.
Nabi SAW dengan tersenyum lalu berkata, “Ah,
tidak begitu. Mesti ada maksud lain yang terkandung dalam hatimu. Coba
dengarkan, maksudmu datang kemari akan saya terangkan : Pada suatu saat
yang lalu kamu duduk bersama-sama dengan Shafwan bin Umayyah di Hijr,
lalu kamu dengan Shafwan menyebut-nyebut kaum Quraisy yang terkubur di
sumur Badr, lalu kamu berkata begini dan begitu, dan Shafwan juga
berkata begini dan begitu. Lantas kamu menyahut begini dan begitu”.
‘Umair lalu bertanya, “Ya Muhammad, mengapa engkau tahu dengan jelas ? Padahal waktu itu tiada seorang pun yang tahu ?”.
Nabi SAW lalu bertanya, “Ya tentu saya tahu, karena ada yang memberitahukan kepadaku, dan betulkah semua yang saya katakan itu ?”.
‘Umair seketika itu juga berkata :
اَشْهَدُ اَنَّكَ رَسُوْلُ اللهِ
“Saya bersaksi, bahwa sesungguhnya engkau pesuruh Allah”.
“Sungguh
saya dulu mendustakan engkau Muhammad dengan segala apa yang telah
engkau datangkan dari langit dan segala apa yang diturunkan kepada
engkau. Perkara yang engkau katakan tadi, sungguh ketika saya
bercakap-cakap dengan Shafwan, tidak ada seorangpun yang tahu, melainkan
aku sendiri dan Shafwan. Sesungguhnya demi Allah saya sekarang mengerti
dan sangat percaya, bahwa segala apa yang datang kepada engkau itu
tidak lain dan tidak bukan kecuali dari Allah sendiri”.
Kemudian Nabi SAW bersabda kepada para shahabatnya :
فَقّهُوْا اَخَاكُمْ دِيْنَهُ وَ اقْرَئُوْهُ اْلقُرْآنَ وَ اَطْلِقُوْا لَهُ اَسِيْرَهُ
“Ajarkanlah
pada saudaramu ini (‘Umair) tentang agamanya, dan bacakanlah padanya
Al-Qur’an, dan lepaskanlah tawanannya (anaknya)”.
Setelah
beberapa waktu ‘Umair dan anaknya berada di Madinah, ketika itu Shofwan
selalu mengharap-harap akan kedatangannya, karena akan menanyakan khabar
tentang terbunuhnya Muhammad (Nabi SAW).
Setelah
Shafwan lama menunggu ‘Umair belum datang juga, maka pada suatu waktu
Shafwan tidak tahan lagi dan terpaksa menanyakan khabarnya ‘Umair kepada
seseorang yang acap kali pergi ke Madinah.
Maka
ketika Shafwan mendapat jawaban oleh yang ditanya, bahwa ‘Umair telah
masuk Islam, menjadi pengikut Muhamad, seketika itu Shafwan sangat
terperanjat sambil berkata, “Mengapa begitu ? Kalau ‘Umair
betul-betul telah menjadi pengikut Muhammad, saya bersumpah : Demi
Allah, selama aku hidup, tidak akan bercakap-cakap lagi dengan ‘Umair
dan tidak akan memberi sesuatu kepada 'Umair”.
Selanjutnya ‘Umair meminta izin kepada Nabi SAW untuk ke Makkah bersama anaknya, dan ia berkata, “Ya
Rasulullah ! Dulu saya seorang pembela bagi pemadam cahaya Allah,
sangat menyakitkan kepada orang-orang yang mengikuti agama Allah dan
amat menyakitkan kepada tuan yang sebenarnya tuan itu pesuruh Allah.
Oleh sebab itu saya akan pulang ke Makkah, dan saya mohon izin kepada
tuan, saya nanti di Makkah akan berseru kepada kawan-kawan saya Quraisy
supaya mereka itu ikut kepada Allah dan pesuruh-Nya, dan supaya mereka
ikut agama Islam. Mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk dari Allah. Dan
jika mereka tidak mau mengikuti, saya hendak menyakitkan mereka
sebagaimana dulu saya menyakitkan sahabat-shahabatmu”.
Ketika itu oleh Nabi SAW dibolehkan berbuat demikian itu, lalu ia berangkat pulang ke Makkah bersama anaknya.
Diriwayatkan,
bahwa ‘Umair sesampainya di Makkah, maka dengan sungguh-sungguh ia
berseru kepada kaum Musyrikin terutama kepada Shafwan. Dan pada suatu
hari ia datang kepada Shafwan dengan berkata, “Hai Shafwan, kamu ini
seorang ketua Quraisy tetapi mengapa kamu berbuat memuja dan menyembah
kepada batu-batu yang tidak berdaya itu ? Apakah begitu itu agama yang
benar ? Demi Allah, sekarang saya telah bersaksi, bahwa sesungguhnya
Muhammad itu hamba Allah dan pesuruh-Nya. Saya berseru kepadamu,
hendaklah kamu ikut kepada seruan Muhammad”.
Shafwan
ketika itu tidak menjawab sepatah katapun, karena ia sengaja menepati
janjinya (sumpahnya) sendiri. Dan dari dakwahnya ‘Umair bin Wahb ini
banyak orang masuk Islam. Selanjutnya ‘Umair tetap menjadi seorang Islam
sejati hingga wafatnya.
Demikianlah
singkatnya riwayat Islamnya ‘Umair dan sebabnya ketika itu, dan jika
mengingat akan Islamnya shahabat Umar bin Khaththab RA, maka terasalah,
bahwa Islamnya ‘Umair tersebut tidak jauh berbeda dengan riwayat
Islamnya Shahabat Umar RA, yakni permulaannya sengaja hendak membunuh
Nabi SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar