Teguran Allah SWT kepada Nabi SAW mengenai tawanan Badr.
Setelah Nabi SAW melepaskan para tawanan Badr, kemudian Allah SWT menurunkan wahyu kepada beliau :
مَا
كَانَ لِنَبِيّ اَنْ يَّكُوْنَ لَه اَسْرى حَتّى يُثْخِنَ فِى اْلاَرْضِ،
تُرِيْدُوْنَ عَرَضَ الدُّنْيَا، وَ اللهُ يُرِيْدُ اْلاخِرَةَ، وَ اللهُ
عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ. لَوْ لاَ كِتبٌ مّنَ اللهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيْمَآ
اَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ. فَكُلُوْا مِمَّا غَنِمْتُمْ حَللاً طَيّبًا
وَّ اتَّقُوا اللهَ، اِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. الانفال:67-69
Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda
duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (67). Kalau sekiranya tidak ada
ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan
yang besar karena tebusan yang kamu ambil (68). Maka makanlah dari
sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang
halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (69). [QS. Al-Anfaal]
Sehubungan
dengan diturunkannya ayat-ayat tersebut, maka ketika itu Nabi SAW dan
Abu Bakar menangis, karena ayat-ayat itu mengandung teguran keras
terhadap Nabi SAW dan kaum muslimin yang tidak menyetujui pendapat ‘Umar bin Khaththab. Dan dikala itu Nabi SAW bersabda :
اِنْ كَادَ لَيَمَسُّنَا فِى خِلاَفِ ابْنِ اْلخَطَّابِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ. وَ لَوْ نَزَلَ اْلعَذَابُ مَا اَفْلَتَ اِلاَّ عُمَرُ
Hampir
saja kita kena adzab yang besar karena menyalahi pendapat Ibnul
Khaththab, dan jika turun adzab, niscaya tidak ada yang terlepas dari
adzab itu melainkan ‘Umar sendiri.
Di dalam riwayat Muslim disebutkan :
فَلَمَّا
كَانَ مِنَ اْلغَدِ جِئْتُ فَاِذَا رَسُوْلُ اللهِ ص وَ اَبُوْ بَكْرٍ
قَاعِدَيْنِ يَبْكِيَانِ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَخْبِرْنِى مِنْ
أَيِّ شَيْءٍ تَبْكِى اَنْتَ وَ صَاحِبُكَ، فَاِنْ وَجَدْتُ بُكَاءً
بَكَيْتُ. وَ اِنْ لَمْ اَجِدْ بُكَاءً تَبَاكَيْتُ لِبُكَائِكُمَا.
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَبْكِى لِلَّذِى عَرَضَ عَلَيَّ اَصْحَابُكَ
مِنْ اَخْذِهِمُ اْلفِدَاءَ. لَقَدْ عُرِضَ عَلَيَّ عَذَابُهُمْ اَدْنَى
مِنْ هذِهِ الشَّجَرَةِ. (شَجَرَةٍ قَرِيْنَةٍ مِنْ نَبِيِّ اللهِ ص) وَ
اَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ { مَا كَانَ لِنَبِيّ اَنْ يَّكُوْنَ لَه
اَسْرى حَتّى يُثْخِنَ فِى اْلاَرْضِ ... الى قوله: فَكُلُوْا مِمَّا
غَنِمْتُمْ حَللاً طَيّبًا،. الانفال:67-69 } فَاَحَلَّ اللهُ
اْلغَنِيْمَةَ لَهُمْ. مسلم
(‘Umar bin
Khaththab berkata) : Kemudian di suatu pagi aku datang kepada
Rasulullah SAW, maka ketika itu Rasulullah SAW dan Abu Bakar sedang
duduk menangis. Aku bertanya, “Ya Rasulullah, tolong ceritakan kepadaku
apa yang membuat engkau dan sahabatmu menangis seperti itu ? Kalau aku
mendapati hal-hal yang perlu untuk ditangisi maka aku pun akan ikut
menangis, dan kalau tidak mendapati hal-hal yang perlu ditangisi
sekalipun, aku akan berpura-pura menangis karena tangis kalian berdua”.
Rasulullah SAW bersabda, “Aku menangis karena shahabat-shahabatmu
menawarkan kepadaku supaya mengambil tebusan dari mereka. Sungguh
siksaan mereka diperlihatkan kepadaku di dekat pohon ini
(yaitu pohon yang berada di dekat Nabi SAW)”. Kemudian Allah ‘Azza wa
Jalla menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Tidak patut bagi seorang
Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka
bumi” .... (hingga firman-Nya), “Maka makanlah dari sebagian rampasan
perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik,
dan bertakwalah kepada Allah”. [QS. Al-Anfaal : 67-69]. Maka akhirnya
Allah menghalalkan rampasan perang (tebusan yang telah diambil) kepada
mereka. [HR. Muslim]
Dengan
riwayat ini kita memperoleh pelajaran bahwa meskipun pendapat ‘Umar yang
dikuatkan oleh Sa’ad bin Mu’adz pada mulanya dikalahkan oleh pendapat
kebanyakan shahabat, dan Nabi rupanya mengambil keputusan dari suara
yang terbanyak, namun kebenaran yang dibenarkan oleh Allah adalah dari
pendapat kedua shabahat tersebut, yang oleh kebanyakan para shahabat
dipandang “Pendapat yang terlalu keras”. Dan dengan ini pula
kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa tidak semua pendapat yang
dipandang keras oleh kebanyakan orang itu lalu dianggap salah oleh
Allah. Dan tidak mesti suara yang terbanyak itu benar dan dibenarkan
oleh Allah.
Kemudian Allah menurunkan lagi wahyu kepada Nabi SAW :
ياَيُّهَا
النَّبِيُّ قُلْ لّمَنْ فِيْ اَيْدِيْكُمْ مّنَ اْلاَسْرى اِنْ يَّعْلَمِ
اللهُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ خَيْرًا يُّؤْتِكُمْ خَيْرًا مّمَّآ اُخِذَ
مِنْكُمْ وَ يَغْفِرْ لَكُمْ، وَ اللهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. وَ اِنْ
يُّرِيْدُوْا خِيَانَتَكَ فَقَدْ خَانُوا اللهَ مِنْ قَبْلُ فَاَمْكَنَ
مِنْهُمْ، وَ اللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ. الانفال: 70-71
Hai
Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu, “Jika
Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan
kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari padamu dan Dia
akan mengampuni kamu”. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Akan tetapi jika mereka (tawanan-tawanan itu) bermaksud hendak
berkhianat kepadamu, maka sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada
Allah sebelum ini, lalu Allah menjadikan(mu) berkuasa terhadap mereka.
Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [Al-Anfal : 70-71]
26. Kegoncangan kaum Yahudi di Madinah
Sehubungan
dengan kemenangan yang diperoleh kaum Muslimin di Badr, maka tidak saja
kemenangan itu merupakan tamparan keras kepada kaum musyrikin Quraisy
di Makkah, tetapi juga merupakan pukulan yang dahsyat kepada kaum Yahudi
di Madinah dan di sekelilingnya. Bahkan dapat pula dikatakan, bahwa
waktu itu kegoncangan kaum musyrikin Quraisy di Makkah terhadap Nabi SAW
menjalar juga kepada kaum Yahudi di Madinah. Oleh sebab itu,
kedengkian, dan dendam kaum Yahudi dan kaum musyrikin Arab di kota
Madinah terhadap kamu Muslimin sedikit demi sedikit mulai tampak, yang
semula hanya tersimpan dalam hati mereka masing-masing semenjak
kedatangan Nabi SAW di Madinah.
Walaupun
ketika tahun ke-I Hijrah, kaum Yahudi Banu Quraidlah, Banu Nadhir dan
Banu Qainuqa’ telah mengadakan perjanjian damai dengan Nabi SAW dan kaum
Muslimin, mereka masing-masing tidak akan saling mengganggu tentang
urusan keagamaan dan sebagainya, tetapi setelah terjadi peperangan Badr,
mereka sengaja hendak merusak perjanjian mereka sendiri, sehingga
mereka menganggap kepada Nabi SAW dan para pengikutnya dengan anggapan
yang salah. Mereka mengatakan, “Orang laki-laki (Muhammad) itu pelarian dari Makkah sekarang agaknya hendak menguasai dan merajai Madinah”.
Kemudian
orang-orang Yahudi itu mengadakan rapat. Dalam permusyawaratan itu
diputuskan bahwa perjanjian perdamaian dengan Nabi akan diputus dan
dilanggar, dan Muhammad beserta pengikutnya perlu dimusuhi.
Setelah keputusan yang demikian itu, maka dari hari ke hari mulai tampak sifat permusuhan mereka kepada Nabi dan kaum Muslimin.
27. Timbulnya gerakan kaum munafiqin di Madinah
Sepanjang
sejarah yang tercatat dalam tarikh Islam, timbulnya gerakan kaum
munafiqin pertama kali ialah pada permulaan Islam berkembang di kota
Madinah, yaitu sehabis perang Badar Qubra yang terjadi pada tahun ke-II
Hijrah.
Pada masa
itu penduduk kota Madinah ada dua golongan yang mempunyai pengaruh
besar di masyarakat, yaitu kaum Yahudi dan kaum muslimin.
Di masa
sebelum Nabi Muhammad SAW dan Islam datang di Madinah, kaum Yahudilah
yang berpengaruh besar dan memegang peranan penting di kota itu dan di
sekelilingnya. Di masa itu segolongan kamu musyrikin bangsa Arab di
Madinah, telah memutuskan dengan kata sepakat, mencalonkan seorang dari
mereka yang bernama Abdullah bin Ubaiy bin Salul untuk diangkat menjadi
ketua mereka. Tetapi sebelum pengangkatan ketua itu berlangsung, yakni
Abdullah bin Ubaiy belum sampai ditetapkan sebagai ketua mereka,
datanglah Nabi Muhammad SAW dengan membawa dan mengembangkan agama Islam
di kota Madinah. Oleh karena sebagian dari penduduk kota itu sudah
tertarik dan mengikut agama Islam yang dibawa oleh Nabi SAW, dengan
demikian menyebabkan pengangkatan atas diri Abdullah bin Ubaiy bin Salul
gagal, dan harapannya untuk menjadi ketua kaum menjadi lenyap.
Lebih-lebih
lagi setelah sebagiaan besar penduduk kota Madinah dari golongan Al-Aus
dan Al-Khazraj mengikut dan berfihak kepada Nabi SAW dan agama Islam
dalam waktu sebentar saja telah memperoleh kemajuan pesat, maka harapan
Abdullah bin Ubaiy bin Salul untuk menjadi ketua kaum menjadi
sirna. Oleh sebab itu, maka timbullah perasaan benci dan dendam dalam
hati Abdullah bin Ubaiy terhadap Nabi SAW dan para pengikutnya. Karena
beliaulah yang dianggap olehnya seorang yang memerosotkan pengaruhnya
dan yang melenyapkan kekuasaan yang akan diperolehnya dari masyarakat
kaumnya.
Kemudian
setelah kaum muslimin memperoleh kemenangan gilang gemilang di Badr dan
masyarakat Islam kelihatan bertambah kuat, danNabi SAW di kala itupun
telah mengeluarkan perintah dengan tegas “Tiap-tiap orang yang
tinggal di koita Madinah dan di sekelilingnya harus menetapkan
pendiriannya di dalam urusan agama yang dipeluknya”, maka dikala itulah kaum Abdullah bin Ubaiy bertambah susah dan terdesak.
Oleh
sebab itu, maka Abdullah bin Ubaiy dengan kaum pengikutnya yang masih
mencintainya kira-kira 300 orang itu bersikap menunggu dan mencari
kesempatan untuk melenyapkan pengaruh Nabi SAW, ‘Abdullah bin Ubaiy bin
Salul dan pengikutnya tidak berani melawanIslam dengan terang-terangan,
maka akhirnya mereka terpaksa masuk Islam, tetapi selalu menyimpan
kebencian dan dendam kepada Nabi SAW. Mereka bersikap munafiq, di
luarnya menampakkan iman, tetapi dihatinya tetap kafir, apabila bersama
orang-orang Islam selalu menampakkan keislamannya, namun dengan tujuan
akan merobohkan Islam dan kaum pengikutnya, terutama kepada Nabi SAW.
Juga mereka merencanakan, “Biarlah
sekarang terpaksa tunduk di bawah Muhammad dan agamanya, tetapi nanti
di belakang hari (jika ada kesempatan baik), rahasia-rahasia Muhammad
dan kekuatan agamanya perlu dijual kepada kaum Yahudi yang sudah dari
dulu berdiam di Madinah, atau jika memang perlu dijual juga kepada kaum
musyrikin Arab yang ada di kota Makkah”.
Dengan
rencana sedemikian itulah mereka (Abdullah bin Ubaiy dan para
pengikutnya) bergaul rapat dengan Nabi SAW dan kaum Muslimin, dan mereka
pun sama melakukan shalat di masjid. Tetapi mereka selalu memikirkan
upaya mencari jalan untuk merobohkan Islam.
Demikianlah
awwal mula timbulnya kaum munafiq di Madinah. Berkenaan dengan
peristiwa tersebut, maka Allah menurunkan wahyu sebagai berikut :
وَ
مِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ امَنَّا بِاللهِ وَ بِاْليَوْمِ اْلاخِرِ وَ
مَاهُمْ بِمُؤْمِنِيْنَ(8) يُخَادِعُوْنَ اللهَ وَ الَّذِيْنَ امَنُوْا وَ
مَا يَخْدَعُوْنَ اِلاَّ اَنْفُسَهُمْ وَ مَا يَشْعُرُوْنَ(9) فِيْ
قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللهُ مَرَضًا، وَ لَهُمْ عَذَابٌ
اَلِيْمٌ بِمَا كَانُوْا يَكْذِبُوْنَ(10) وَ اِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَ
تُفْسِدُوْا فِى اْلاَرْضِ قاَلُوْا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ(11)
اَلاَ اِنَّهُمْ هُمُ اْلمُفْسِدُوْنَ وَلكِنْ لاَّ يَشْعُرُوْنَ(12) وَ
اِذَا قِيْلَ لَهُمْ امِنُوْا كَمَا امَنَ النَّاسُ قَالُوْا اَنُؤْمِنُ
كَمَا امَنَ السُّفَهَآءُ اِلاَ اِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَآءُ وَ لكِنْ لاَّ
يَعْلَمُوْنَ(13) وَ اِذَا لَقُوا الَّذِيْنَ امَنُوْا قَالُوْا امَنَّا
وَ اِذَا خَلَوْا اِلى شَيطِيْنِهِمْ قَالُوْا اِنَّا مَعَكُمْ اِنَّمَا
نَحْنُ مُسْتَهْزِءُوْنَ(14) اَللهُ يَسْتَهْزِئُ بِهِمْ وَ يَمُدُّهُمْ
فِيْ تُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ(15) اُولئِكَ الَّذِيْنَ اشْتَرَوُا
الضّللَةَ بِاْلهُدى، فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَ مَا كَانُوْا
مُهْتَدِيْنَ(16) مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِى اسْتَوْقَدَ نَارًا،
فَلَمَّا اَضَاءَتْ مَا حَوْلَه ذَهَبَ اللهُ بِنُوْرِهِمْ وَ تَرَكَهُمْ
فِيْ ظُلُمَاتٍ لاَّ يُبْصِرُوْنَ(17) صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لاَ
يَرْجِعُوْنَ(18) اَوْ كَصَيّبٍ مّنَ السَّمَآءِ فِيْهِ ظُلُمتٌ وَّ رَعْدٌ
وَّ بَرْقٌ يَجْعَلُوْنَ اَصَابِعَهُمْ فِيْ اذَانِهِمْ مّنَ الصَّوَاعِقِ
حَذَرَ اْلمَوْتِ، وَ اللهُ مُحِيْطٌ بِاْلكفِرِيْنَ(19) يَكَادُ
اْلبَرْقُ، يَخْطَفُ اَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا اَضَاءَ لَهُمْ مَّشَوْا
فِيْهِ وَ اِذَا اَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوْا، وَ لَوْ شَآءَ اللهُ
لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَ اَبْصَارِهِمْ، اِنَّ اللهَ عَلى كُلّ شَيْءٍ
قَدِيْرٌ(20). البقرة:8-20
Diantara
manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan Hari
kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang
beriman” (8). Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman,
padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar
(9). Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya dan
bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta (10). Dan bila
dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi”. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan
perbaikan”. (11). Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang
membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar (12). Apabila dikatakan
kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah
beriman”. Mereka menjawab, “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang
yang bodoh itu telah beriman ?”. Ingatlah sesungguhnya merekalah
orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu (13). Dan apabila
mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan,
“Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada syaithan-syaithan
mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu,
kami hanyalah berolok-olok” (14). Allah akan (membalas) olok-olokan
mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka
(15). Mereka itulah orang yang memberli kesesatan dengan petunjuk, maka
tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mererka mendapat petunjuk
(16). Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka
setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang
menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat
melihat (17). Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan
kembali (ke jalan yang benar) (18). atau seperti (orang-orang yang
ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat,
mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar
suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang
kafir (19). Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka.
Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar
itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah
menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka.
Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu (20). [QS. Al-Baqarah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar